Kaos kakimu, Pa…

4 Apr 2013 | Cetusan

Pa,
bicara soal warisan yang sifatnya material, sejatinya hanya dua pasang kaos kakimu saja yang pada akhirnya ada padaku.

Waktu itu sebenarnya Mama juga menawariku untuk membawa cincin yang pernah kau pakai tapi aku memilih menolaknya. Alasanku simple, cincin itu sudah terlalu lekat denganmu dan aku tak mau merusak gambaran itu dengan memasukkan figur diriku sebagai pemakai cincin yang kutahu sangat kau sayangi itu.

Oh ya, hampir lupa.. jam juga! Mama menawariku untuk membawa jam tanganmu, tapi lagi-lagi aku menolak karena aku pikir sudah punya banyak jam tangan dan jawabanku ke istrimu waktu itu, “Suk ben dinggo bojone Chitra wae… (Nanti biar dipakai suaminya Chitra saja -jw)” Lalu apa yang ‘kutitahkan’ itupun terjadi, jam itu diberikan pada Ayok, suami Chitra yang juga sempat kau kenal sebelum engkau meninggal, kan?

Lalu kenapa hanya kaos kaki??Runutan alasannya panjang, tapi singkatnya begini, Pa;

Ada saat dimana aku begitu terpana melihatmu yang mungkin kau tak menyadarinya.?Dulu setiap pagi, waktu aku masih duduk di bangku SMP dan belum hijrah ke Jogja, ketika sedang sarapan, aku selalu memperhatikan bagaimana engkau dulu bersiap untuk berangkat kerja.

Setelah selesai bersiap dengan baju dan celana, engkau keluar kamar lalu duduk di sofa mengenakan kaos kaki yang telah disiapkan mama malam sebelumnya. Di titik itu aku melihat engkau tampak begitu serius memasukkan kakimu ke dalam kaos kaki seolah tak ingin ada satupun lipatan kaos kaki membungkus kakimu.

Sesudahnya, engkau lalu mengenakan sepatu kulit hitam kesayanganmu dan mengikat talinya secara seksama.

Aku menikmati pemandangan itu dan menganggapnya sebagai suatu keheningan, sebuah sela yang suwung yang kau ciptakan menjelang beraktivitas. Semacam memantrai hari melalui ritual singkat mengenakan kaos kaki lalu sepatu supaya kuat dan hebat menghadapi hari dan menjemput rejeki untukku, Chitra dan Mama.

Untuk itulah, ketika Mama seolah ‘mengharuskan’ ku mengambil setidaknya satu ‘warisan’ darimu, aku memilih kaos kaki itu!

Pa,
Adapun kaos kakimu itu hingga kini baru kupakai pada dua kesempatan yang menurutku ‘istimewa’. Pertama adalah ketika aku menjadi wakilmu dalam acara pernikahan Chitra. Berdampingan dengan Mama untuk memberi restu pada adik dan saudara kandungku satu-satunya itu aku merasa perlu untuk lebih ‘menghadirkanmu’, salah satunya ya lewat kaos kaki itu.

Lalu yang kedua, belum lama ini, sekitar dua bulan silam ketika aku mendapat panggilan interview pekerjaan yang baru. Bukan, bukan karena aku ingin mendapatkan kekuatan gaib dari kaos kakimu, tapi lebih karena sesaat sebelum berangkat pergi ke interview itu, aku tiba-tiba teringat kejadian yang kuceritakan di atas tadi maka akupun menciptakan ‘suwung’ beberapa saat lamanya untuk sekadar memantrai hal yang hendak kulakukan saat itu.

Dan ketika pada akhirnya aku mendapatkan pekerjaan itu, aku juga tak lantas berterima kasih kepada kaos kakimu itu, tapi dalam doa yang kudaraskan pada suatu pagi, kuselipkan rasa terima kasihku atas doa-doamu untukku yang kau kirim dari surga.

Bagiku, mendapatkan pekerjaan yang baru dengan mengenakan kaos kaki warisanmu adalah juga pemenuhan atas apa yang kuyakini selama ini.

Keyakinan apa?
Keyakinan bahwa aku boleh tak memiliki seorang Papa yang sukses dalam karirnya. Tak seperti kawan-kawanku yang barangkali punya papa yang begitu brilian dalam karir dan usahanya sementara engkau hanyalah seorang pensiunan pegawai bank, Pa.

Aku boleh tak mendapatkan ratusan juta atau milyaran rupiah aset sebagai warisan darimu sebagaimana halnya banyak kawan-kawanku yang mendapatkannya dari orang tuanya lengkap dalam bentuk beberapa rumah yang luas dan mobil yang luks, emas permata serta perusahaan.

Tapi, sejatinya kaos kaki yang kau berikan itu adalah pintu untukku mendapatkan warisanmu yang tertunda; semangat untuk mendapatkan kesejahteraan dan rejeki dari Tuhan untukku dan keluargaku yang barangkali bisa saja sampai puluhan atau bahkan ratusan milyar banyaknya.

Seperti halnya kawan-kawanku tadi tak pernah tahu bagaimana uang warisan orang tuanya bisa menguap untuk hura-hura atau untuk apapun itu, akupun tak pernah tahu bagaimana ‘warisan’ darimu yang semula hanya kaos kaki tadi dapat tertambahkan hari demi hari melalui pergumulanku dalam pekerjaan yang kucintai demi keluargaku, anak-istriku dan demi melestarikan semangat yang kupelajari darimu…

Pa, aku mengenangku melalui tulisan ini setelah dua tahun lalu kau berpulang ke Lahan Abadi, bersemayamlah dalam damai dan sukacita yang tak kan berkesudahan…

aku dan papa, desember 1984

aku dan papa, desember 1984

?Ojo wedi, Le! Padha-padha mangan sega, kowe mesti isa! (Jangan takut, Nak! Sama-sama makan nasi kok, kamu pasti bisa! -jw) –
Stanislaus Didiek Hardiono (9 Sept 1954 – 7 April 2011)

Sebarluaskan!

13 Komentar

  1. sweet post kang ^^

    Balas
  2. Dadi kangen Bapakku, Mbah.
    Untung isuk mau Bapakku nelpon..

    Oya Itu fotonya ketika aku lagi di dalam kandungan, hehehee

    Balas
  3. *mrebes mili* Langsung sms papahku bilang i love you paah

    Balas
  4. berbahagialah orang yang mengenang Papa yang sudah pergi dengan cinta, daripada yang mengingat Papa yang masih ada dengan pedih.

    thanks for sharing :)

    Balas
    • Berbahagialah setiap orang karena Tuhan memberi kebahagiaan itu sendiri-sendiri, Bro. GBU!

      Balas
  5. Ah. Kerinduan yang luar biasa. Aku bisa merasakan bagaimana kebanggaan kita pada orang tua… pada ayah, ibu…. bagaimanapun mereka, sukses atau tidak, kita tetap cinta… :)

    Balas
  6. Saya yakin ada suatu masa dimana seorang anak akan merasakan bagaimana perasaan di ayah kepadanya.

    *pengalaman

    Balas
  7. luar biasa ceritanya… terharu Don… luar biasa ritual kaos kakinya.. jadi ingat anakku yang selalu mengantarkan sepatu plus kaos kakiiku setiap pagi… nice story thank you for sharing.

    Balas
  8. aku sedih mocone…
    kowe ndak nangis, mas pas nulis iki?

    Balas
    • Ora ki, biasa wae.. hahaha tak apusi :)

      Balas
  9. dadi kelingan bapakku mas…

    Balas
    • Yup, memori tiada akhir…

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.