“Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu”
(Lukas 10:2)
Salah satu yang membuat jengah dan eneg khalayak saat ini adalah perilaku oknum-oknum yang menggunakan agama untuk melakukan tindak kekerasan dan represi terhadap sekitarnya. Mereka menganggap diri sebagai pekerja tuaian (penuai) yang dikirim untuk menuai sekitarnya.
Menganggap diri sebagai penuai tentu benar, kita memang diutus untuk itu. Hanya saja terkadang kita menuai dengan cara yang salah.
Misalnya,
saat oknum merasa bahwa umat beragama lain adalah orang-orang yang harus digiring masuk ke agamanya, apa yang dilakukan? Mereka menekan, mempersulitnya.
Saat berhadapan dengan kaum pezinah? Mereka menghukum dan membicarakannya di depan publik.
Saat berhadapan dengan kaum LGBT atau mereka yang atheis dan tidak percaya agama? Mereka mengucilkannya.
Kita boleh tidak setuju atau bahkan menentang mati-matian konsep-konsep serta ajaran orang lain yang tak sesuai dengan kita. Tapi kita tak pernah punya kuasa untuk menghukum pelaku dan penganutnya. Kenapa? Bukankah Tuhan sendiri mengajarkan kita untuk mencintai sesama kita seperti kita mencintai diri sendiri?
Lagipula, jika kita kembalikan pada analogi penuai dan tuaian, mana ada penuai yang menghajar, menghukum, menyudutkan dan mengucilkan tuaiannya? Bukankah tak ada pekerja tuai yang berbuat seperti itu kecuali mereka yang tak ingin mendapatkan upah dari pemilik ladang?
Kita seyogyanya memandang ajaran Yesus tentang relasi pekerja tuai dengan tuaian itu dari diri kita sendiri dulu. Memang benar kita ini penuai?tapi tuaian adalah talenta, anugerah dan berkat yang ada di sekitar kita. Kita harus bekerja untuk menuai dan menghasilkan buah-buah terbaik dari hal-hal tersebut bagi Tuhan dan sesama serta menjauhkan diri dari hama jahat yang membuat pohon kita tak hanya tak berbuah tapi juga layu lalu mati untuk selamanya.
Sydney, 26 Januari 2018
0 Komentar