Waktu awal-awal terjun dalam dunia web development dulu, 1999, pengembangan teknologi yang diimplementasikan belumlah sekompleks sekarang. Waktu itu kita hanya perlu design yang bisa di-convert ke HTML (bahkan belum ada css) lalu diunggah ke sebuah shared web hosting dengan domain name. Kalau perlu automatisasi atau tambahan fitur penyimpan data, tinggal pakai satu web programming language dan menghubungkannya ke satu database. Gampang!
Akibatnya, muncul fenomena superman dalam dunia web development.?Superman yang kumaksud di sini tentu bukan si Clark Kent, manusia super yang menyaru jadi jurnalis dan takut pada kryptonite itu. Superman di sini adalah orang yang berani memposisikan dirinya sebagai web designer (bahkan istilah web developer pun belum terlalu tenar) dengan kemampuan mencakup semua hal yang kusebut di atas, dari hulu ke hilir proses produksi website. Orang-orang ‘super’ ini bisa jadi adalah orang teknis yang punya passion (ataupun merasa bisa tapi kadang hasilnya nggak bagus) men-design, ataupun sebaliknya, orang design yang berani mengotori tangannya dengan coding! (dan ketika di-trace oleh anak-anak teknis, biasanya strukturnya amburadul!)
Nah, sebagai orang yang ‘lahir’ di era ‘pra-sejarah’ itu, akupun berlaku sama layaknya superman! Waktu itu aku berani mendeklarasikan diri sebagai webdesigner dengan latar belakang teknis yang punya passion di design! Lumayan menyenangkan karena secara ongkos produksi akan jadi sangat irit (dan untung kita banyak) karena tak perlu menggaji orang lain selain diri kita sendiri untuk mengerjakan proyek; mulai dari membeli domain, setup hosting, membuat design lalu implementasi ke web dan upload semua file ke server.
Tapi di sisi lain, kita tahu bahwa hal itu sebenarnya nggak bagus-bagus amat! Perkembangan teknologi yang maju kian pesat mempengaruhi permintaan klien terhadap website yang kita buat. Mereka, para client, meminta supaya websitenya memiliki kemampuan untuk bisa diadaptasikan pada batasan-batasan teknologi terkini. Belum lagi soal semakin sempitnya waktu karena tanggung jawab keluarga dan komunitas, hal-hal inilah yang akhirnya membuat kita menyerah ketimbang terus mempertahankan ke-superman-an kita padahal aslinya kita pongah!
Aku pun pernah merasakan ‘kerugian’ terkait dengan ke-superman-anku di sini.?Jadi waktu itu, setelah pindah ke Australia, November 2008, aku bersicepat untuk mencari pekerjaan. Untuk itu aku lantas membuat curriculum vitae (cv) dan kukirimkan ke agen-agen pekerjaan serta kantor yang membutuhkan pekerja. Aku menorehkan semua pengalaman kerjaku ke dalamnya mulai dari menjadi web designer di perusahaan A, menjadi web developer di perusahaan B, menjadi web manager di perusahaan B, pokoknya semua.
Bayanganku, dengan menorehkan semua itu akan menimbulkan efek ‘WOW’ pada si pembaca, tertarik, mewawancaraiku lalu menerimaku dan menggajiku dengan imbalan yang maksimal!
Tapi itu hanya bayangan, sayangnya! Kenyataannya tidaklah demikian.?Beruntung aku bertemu dengan seorang yang bekerja di agen pekerjaan. Ia memberitahu bahwa setelah membaca cv yang kukirimkan kepadanya, akan sangat sulit untuk sebuah perusahaan menerimaku bekerja bahkan untuk sekadar mengundang interview kecuali untuk high level position (management) karena kompleksitas cv-ku sendiri.
“Perusahaan tak tahu mana sisi yang paling bagus dari kamu, apakah design atau technical development. Sedangkan untuk memberimu posisi management, mereka juga pasti ragu karena kamu belum punya pengalaman bekerja di Australia (nyatanya banyak sekali aturan pekerjaan yang berbeda antara Australia dan Indonesia dan ini harus dikuasai kalau hendak naik level jadi manager –red)” tuturnya.
Tapi saat itu aku masih berusaha mengelak, “Tapi apa yang kutulis itu, semuanya membuahkan hasil yang bagus. Bukalah portfolioku. Artinya aku memang bagus di semua lini yang kutulis!”
“Yup, tapi tetap sulit karena standardnya berbeda. Lagipula bagaimana perusahaan bisa menjamin bahwa kamu tetap happy kalau kamu hanya diminta untuk mengerjakan bagian kecil dari semua bagian yang kamu rasa bisa kerjakan itu?”
Pada jawaban terakhir itu aku menyerah.
Kultur bekerja di sini memang berbeda. Ada interaksi ‘happy-not happy’ yang dihormati tinggi-tinggi antara perusahaan dan pekerja (baca tulisanku tentang pentingnya kebahagiaan di sini). Artinya, dengan latar belakangku yang bisa mengerjakan semuanya, lantas perusahaan hanya memintaku mengerjakan bagian tertentu, concern mereka adalah apakah aku akan tetap bahagia kalau hanya diminta mengerjakan sekelumit itu?
Strategi lalu kuubah. Atas saran orang tadi, aku membuat tiga cv berbeda berdasarkan bidang yang paling kukuasai saat itu yaitu web designer, web developer dan web project manager.
Dengan cv yang tajam, hasil yang kudapatkan pun berbeda. Sebulan setengah setelah pindah, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan sebagai back-end developer (baca tulisanku tentang pengalaman mendapat pekerjaan pertama kalinya di sini).?Dua tahun kemudian, selepas bekerja di perusahaan pertama dan pindah ke Fuji Xerox, aku menambah beberapa cv lagi mulai dari online campain specialist, front-end developer, back-end developer dan web designer. Cv bertajuk web developer kuhapus karena hal tersebut telah kupecah menjadi dua, front end developer dan back end developer.
Dua tahun yang lalu aku akhirnya dengan berat hati menghilangkan cv web designer karena sudah sekian lama tak mendesain lagi sehingga tak relevan untuk menganggap diriku adalah seorang web designer. Namun menambah sebuah cv untuk merangkum kemampuan dan pengalamanku di bidang technical management.
Lantas pertanyaan dari kalian mungkin jadi, “Lho, katanya cuma mengerjakan bagian tertentu tapi kok bisa bikin cv baru lagi dengan bidang yang lainnya?”
Jadi begini. Kalau kalian beruntung bekerja di perusahaan yang juga memperhatikan personal development pegawainya, kalian bisa juga belajar hal-hal lain yang menunjang pekerjaan utama kalian. Misalnya, kalian dipekerjakan sebagai web designer, lalu karena kamu tertarik pada dunia front-end development lalu kamu mengajukan usul untuk pergi ke short course belajar tentang front-end development. Proposal disetujui lalu setelah kamu menyelesaikan course itu, managermu menerjunkanmu dalam proyek dengan memposisikanmu bukan sebagai designer melainkan sebagai front-end developer. Dari situ kalian mulai dapat ‘tabungan’ untuk membuat sebuah cv baru sebagai front-end developer.
Mentalitas CAN-DO (semua bisa) juga bisa menjadi cara untuk kita mendapatkan promosi atau setidaknya mengerjakan hal yang bukan itu-itu saja. Selama kalian tak keberatan untuk mengerjakan hal-hal lain yang kita kuasai serta tak malas untuk belajar hal-hal baru, karier kalian akan berkembang dan kita berhak untuk memasukkan hal-hal seperti ini ke dalam cv kita yang baru.
Pengalamanku, ada banyak kesempatan dimana aku memperoleh peluang promosi jabatan bermula dari kebiasaanku untuk mengerjakan apa yang bisa kukerjakan dan bukan dari apa atau mana yang jadi kewajibanku dan mana yang bukan.
Pelajaran yang bisa didapat adalah, mengaku diri sebagai superman pada saat mencari kerja kadang tak selamanya menguntungkan. Lebih baik menjadi Clark Kent dulu, pas diterima kerja, pelan-pelan buka jas, dasi dan kemeja lalu tunjukkan bahwa kita sebenarnya superman yang menyaru jadi manusia biasa.
Semua tinggal masalah waktu, tinggal mengatur momen…
Aku dulu pernah jadi Superman pas dapat project pertama (freelance) dari Ekuador. Bikin mockup design sampai Drupal Templating. Imbalannya U$D 200.
Wah noted, mudah-mudahan bisa buat bekal hijrah :)