Tulisanku tentang Robot Trading kemarin lumayan banyak dibaca orang. Barangkali memang tepat waktu saat gonjang-ganjing Robot Trading sedang mengemuka ya…
Tapi tahukah kalian, inti yang kutawarkan dari tulisanku kemarin itu sejatinya sederhana. Kutulis pada penggalan akhir tulisan dan ada baiknya ku-share lagi di sini..
Hidup ini tak mengejar kaya.
Hidup berbahagia toh tak selalu identik dengan angka.
Tapi sayangnya itu bukan sesuatu yang mudah untuk dimengerti dan dipraktekkan. Apalagi kalau kita terpapar dengan situasi sekitar yang membuat kita bingung tentang apa sih definisi kekayaan dan orang kaya itu?

Pertengahan 80an
Pertengahan tahun 1980an, Papa dan Mamaku sempat dicap orang kaya di kampung Kauman, Kebumen tempat rumah kontrakan kami berada.
Padahal kami ini bukan siapa-siapa. Waktu itu Papa membeli beberapa perkakas baru karena memang dia belum punya apa-apa dan baru saja memboyong Mama dan aku dari Klaten. Namanya juga keluarga baru, ada banyak kebutuhan yang perlu dicukupi termasuk kebutuhan perkakas-perkakas itu.
Nggak sampai seminggu tinggal di rumah itu, Papa sudah membeli tv dan video player baru. Kulkas, kompor, rice cooker, tempat penyimpan beras dan blender juga baru. Perkakas furnitur pun baru semuanya hingga meja setrika dibeli baru karena mana ada waktu itu yang jual second hand :)
Tak sampai seminggu berikutnya, tetangga sebelah ujug-ujug melakukan hal yang sama. Seolah tak mau kalah, semua jenis barang yang baru papa beli, dibelinya juga!
Mereka memang bukan miskin tapi barangkali sejak sebelum kami hadir, mereka nggak punya referensi tentang apa itu kaya. Kehadiran kami memberi definisi baru bagi mereka bahwa kaya itu ya seperti kami meski sebenarnya kami ini ya jauh dari kata… kaya!
Pertengahan 90-2000an
Pertengahan tahun 1990an hingga 2000an, kekayaan diredefinisi melalui layar kaca: sinetron lebih tepatnya. Orang kaya adalah orang yang rumahnya gedongan, punya pilar besar berwarna putih, lantai marmer, guci-guci keramik berukuran gaban, kursi-kursi leather ala eropa, mobil harus sedan kalau enggak mercedes atau BMW, jas kedodoran dan celana baggy, dasi, handphone lipat berantena, pager di sabuk celana, lipstik tebal, rambut sasak singa dan pokoknya apapun… sekali lagi apapun yang terekam di sinetron kecuali cerita-cerita super noraknya!
Jadi kalau mau kaya, di era itu, ya jadilah seperti mereka!
Era setelah 2010
Di era setelah 2010, kekayaan diredefinisi lagi melalui layar kaca tapi lebih kecil kacanya alias handphone. Bukan melalui sinetron yang hanya khayalan tapi melalui para sultan dan sultan wannabe yang pamer benar-benar kepunyaan mereka di social media.
Di Instagram dan Youtube, para sultan pamer mobil-mobil premium.
Para besan kesohor dan keluarga besarnya liburan hingga ke Turki. Tiap hari bikin video lalu dishare, “Hi guys, kita lagi mau ke Cappadocia pagi ini. Dingin banget jadi tadi sambil cari yang hangat-hangat kami mampir dulu ke butik *****. Aku beliin Papa aku sepatu baru dan sling bag ini. Cocok enggak guys? Di Jakarta belum masuk ini guys!”
Atau seorang mantan penyanyi yang beberapa tahun belakangan jadi pelawak dan sekarang berubah jadi sultan dengan rumah megah, studio musik dan koleksi mobil super keren!
Atau seorang pembawa acara yang juga sultan yang usahanya menggurita mulai dari entertainment hingga klub bola basket dan sepakbola!
Atau seorang sukses robot trading yang kemudian menjadi penyuka otomotif kelas kakap dan masih banyak lagi orang-orang sukses yang bisa kita lihat di social media untuk kita merestorasi apa definisi orang kaya.
Dari mereka, para milenial yang budiman mengerti dan meletakkan definisi tentang kaya dan kekayaan…
Pertanyaannya sekarang, apakah kekayaan itu ya memang benar-benar seperti itu?
Jawabku iya.
Nggak usah banyak cingcong dan filosofis tapi kaya itu ya banyak duit! Duit melimpah tanpa nomer seri! Mau apa saja termasuk travelling dengan siapa saja, beli ini dan itu hingga karantina mewah tinggal bayar lalu beres perkara!
Tapi pertanyaan berikutnya, apakah hidup harus dihabiskan hanya untuk mengejar hal-hal seperti itu?
Jawab sendiri-sendiri dalam hati! Nggak usah sok filosofis jawabnya. Silakan sambil ngitung uang di dompet dan di ATM. Jangan lupakan hutang hutang dan lihat sekeliling kepada para perkakas dan perhiasan, mana yang harus dijual dan ‘disekolahkan’ lebih dulu untuk hidup hari-hari ke depan yang belum juga menentu…
Salam olahraga!
0 Komentar