Sayangnya, tak semua blog pada akhirnya ditujukan untuk pembagian informasi oleh pemiliknya. Mula-mulanya sih barangkali demikian, bahkan bisa dibilang hampir semua (barangkali?), namun seiring berjalannya waktu, sesuai semboyan “Go monetize your blog” mereka lambat laun berubah menjadi zombie penghisap uang dengan cara-cara yang sebenarnya halal namun kerap agak sedikit kurang berkenan bagi mereka yang membaca. Tapi tenang, kamu yang sedang membaca tulisan ini pasti bukan bagian dari kawanan zombie-zombie itu karena kalian adalah kawanku yang baik :)
Mungkin kalian kaget kenapa tiba-tiba aku meracau demikian sepagi ini di awal tulisan?
Tak apa-apa sebenarnya, hanya saja akhir-akhir ini agak sedikit merasa overwhelmed…muak dengan besutan review produk-produk yang dilakukan beramai-ramai di blog mereka masing-masing dalam waktu yang hampir bersamaan. Itu belum sampai titik yang puncaknya, karena yang paling memuakkan adalah ketika kita temui cara review produk yang terkesan sangat ‘menghamba’ kepentingan produk yang direview, seolah-olah ia adalah produk yang turun dari surga, tanpa cacat dan cela.
“Ehmmm… siapakah mereka itu, Don?”
“Ah mau tau aja :) Ya rahasia!”
Yang pasti, sekali lagi, bukan kalian, karena kalian, sekali lagi, adalah kawanku yang baik :)
“…namun seiring berjalannya waktu, sesuai semboyan “Go monetize your blog” mereka lambat laun berubah menjadi zombie penghisap uang…”
Review produk di blog itu sendiri sebenarnya penting. Ia bisa menjadi petunjuk bagi para pencari tahu yang tak puas dengan penjelasan resmi dari situs web produsen. Aku sendiri beberapa kali sering menambatkan hati pada review produk di blog ketika tertarik untuk mencari tahu informasi tentang sebuah produk. Namun ketika harus membuat perbandingan kualitas produk, termasuk mencari hal-hal yang menjadi kelemahannya, blog dengan review produk nyatanya tak pernah memuaskanku. Untuk yang seperti itu, forum diskusi-forum diskusi di internet lebih ‘berani’ mengutarakan fakta yang sesungguhnya tentang produk.
Lalu bagaimana baiknya mereview produk? Beberapa kali teman memintaku untuk mereview produk mereka secara cuma-cuma di blog ini, tapi itupun kupikir bukan contoh terbaik. Oleh karenanya, poin-poin di bawah ini bukanlah saranaku untuk menggurui kalian, tapi lebih sebagai teriakan seorang blogwalker terhadap keadaan pe-review produk yang sedang menggejala akhir-akhir ini…
Lengkapi foto produk
Ya! Lengkapi reviewmu dengan foto produk, bukan malah tulisan dan tulisan melulu. Orang bilang kan “No pic.. HOAX!” Setidaknya, berikan pandangan pada pembaca tentang penampilan produk. Tak perlu dari banyak sisi, tapi kalian kan tahu dari sisi mana produk itu tampak seperti aslinya; tak menutupi kelemahan tapi juga tak terlalu menonjolkan keunggulannya.
Eh, tapi juga malah jangan terlalu banyak menampilkan foto bagaimana kalian meliput acara itu karena kami tak butuh melihat tampangmu :) Kami butuh tampang SPG-SPG… eh, maksudku, kami butuh foto produk yang kamu review!
Sajikan spesifikasi
Kalian tahu bedanya spesifikasi dan deskripsi?
Spesifikasi adalah fakta-fakta obyektif yang biasanya berurusan dengan angka pasti. Katakanlah kalian me-review produk mobil, maka yang kumaksud dengan spesifikasi adalah fakta-fakta seputar ukuran rangka mesin, tebal kaca, kapasitas tangki, detail kulit pelapis kursi penumpang, ABS nya seperti apa, dan segala tetek bengeknya… kalau itu berurusan dengan review mobil.
Jangan malah “Ouch, membayangkanmu duduk di kursi empuk mobil ini lalu membawamu jalan-jalan keliling kota alangkah indahnya”, bagiku ini info menyesatkan karena empuk itu takarannya apa, dan eh kalau naik mobil masak harus ‘jalan-jalan’? Jalan kaki? Kan pake mobil?
Hadirkan benchmark
Me-review produk, menurutku, harus memiliki landasan berpikir.
Maksudku, me-review produk harus memiliki ekspektasi awal mula terhadap ranah produk sebelum menuliskannya. Misal, kamu mau nulis review tentang produk pemutih kulit, kamu punya ekspektasi misalnya “Apakah produk ini bisa memutihkan kulitku seputih tembok pada minggu ketiga?” Lalu dalam pendalaman materi, ternyata kalian mendapati kenyataan bahwa produk pemutih itu bekerja lebih cepat dari ekspetasi… dari bencmark kalian yang tiga minggu itu.
Nah, lalu di akhir tulisan kalian akan menjawab ekspektasi itu dengan, “Wah, bener lho tuips! Ternyata dengan memakai produk ini, kita seputih tembok dalam hitungan menit!”
Bersikap fair terhadap produk
“Bersikap fair terhadap produk bukan pula berarti kita harus menjelek-jelekkan produk lho. Hal itu lebih ke jangan hanya pamer keunggulan produk…”
Produsen membayar untuk di-review produknya? Benar dan itu kan yang kalian cari? Tak mengapa, tapi bukan berarti lantas kalian harus tunduk oleh karena uangnya. Jadilah pe-review yang tak mau disuap dengan uang untuk mengatakan bahwa tai kucing itu cokelat bersalut gula dan caramel, karena selain kamu meracuni opini masyarakat, secara tak langsung kamu telah menjadi kutu busuk yang gemuk karena kebohongan yang kamu tulis!
Bersikap fair terhadap produk bukan pula berarti kita harus menjelek-jelekkan produk lho. Hal itu lebih ke jangan hanya pamer keunggulan produk tapi kita juga perlu melihat hal-hal buruk dari produk tersebut. Dalam pembahasaan tentu kita bisa mengantisipasi hal tersebut dengan memperhalus bahasa menjadi “Hal-hal yang perlu dibenahi untuk produk versi berikutnya” ketimbang “Produk ini buruk sekali!” ya mirip seperti bagaimana dulu guru wali kelasmu bicara dengan orang tuamu mengevaluasi prestasi belajarmu. “Anak bapak tidak bodoh, hanya saja barangkali perlu pendalaman setahun lagi di kelas ini!” Kan lebih halus hehehe…
Sebagai penutup, aku akan bercerita tentang seorang kawan lama, pe-review produk dari surat kabar terutama di Indonesia. Ia adalah pe-review gadget-gadget mulai dari komputer mainframe industrial hingga laptop, dari mobile phone hingga usb flash disk.
Bagiku ia adalah pe-review yang baik karena ia tak mau tunduk pada kemauan produsen meski tawaran ‘yang macam-macam’ disiapkan baginya hanya demi sebuah review yang muncul di surat kabar tempat ia bekerja. Tapi ia bersikukuh terhadap kejujurannya, “Gue ngga butuh yang macem-macem. Gue udah dapet semuanya dari company tempat gw bekerja, Don!” tukasnya suatu waktu.
Ia berprinsip bahwa kalau produsen membuat produk yang bagus, produsen tak perlu membayarnya dengan ongkos ekstra karena baginya menyebarkan berita bagus adalah tugasnya.
Semula tak banyak produsen yang mengerti prinsipnya tersebut, namun lambat laun mau-tak-mau, produsenlah yang harus mengikuti alur kerjanya.
Maka jadilah hingga saat ini, hampir setiap minggu ia menerima protoype produk terbaru dari produsen yang siap mengantri untuk di-review. “Keputusan final tentang akan jadi/tidaknya direview, tetap keputusan gue dong, heheheh!” Ia, yang kerap kupanggil dengan sebutan “Om” itu menyeringai menampakkan gigi rapinya.
Teman-teman…
Jadilah raja atas apa yang setidaknya kau miliki saat ini. Kau adalah blogger, jadilah raja atas blogmu karena itu milikmu dan jangan sekalipun memberi kesempatan kepada siapapun termasuk kapitalis untuk menguasai apa yang harusnya kau kuasai itu hanya demi segepok uang. Percayalah, uang itu melenakan namun kuasanya harusnya tak sampai bisa menjengkali harga dirimu.
Foule esclave, debout, debout (Enslaved masses, stand up, stand up! -eng)
The Internationale (Eug?ne Pottier, 1871)
apakah saya pun akan demikian jika satu hari nanti saya me-monetize blog saya? Hehehe
ga tau juga deh, soalnya sampai hari ini blom mengarah ke sana
tapi idealnya sih, kepengen seperti yang mas Don bilang, lebih objektif terhadap produk yang akan di-review.
jangan2 saya berpikir begini karena saya blum ngerasain cring cring dari blog sendiri hehehe
sampai sekarang masih belum mengerti monetize dan belum pernah mendapat job buat mereview produk.. jadi menulis-menulis aja sih…
saya baru berencana pengein kasana :D
BETUL Mas! sebagai bentuk kesadaran manusia, semestinya blog tidak terpengaruh “gurita” industri (kapitalisme). Dan saya sebagai orang yang punya prinsip Indie alias melawan juga gak bakal menjual blog saya. masih ada banyak cara lain mencari uang. kalo mau gampanng gak usah dari blog, jadi DPR aja enak tuh! tinggal bobok dapet duit! mau?
wah banyak saran bagus, thx mas don..
wah iki mesti tulisan nggo aku.. *keplak
Ho’o, aku barang yo keno iki.
huahahaha *ikut ketawa*
Keren masbro tulisan sampean ini…idealisme untuk menghadirkan informasi yang dibutuhkan pembaca, dengan obyektif dan ‘tak berpihak’ memang sangat diperlukan.
Hiks hiks hiks jadi malu saya, belum mampu untuk menampilkan dan menyajikan apa yang dibutuhkan pembaca/penikmat blog saya dengan maksimal.
salam
Kenapa harus malu?! Tak perlu malu selama kamu tak nyolong beras kan? :)
Yang dibutuhkan dari seorang blogger adalah menulis dan menulis.. perkara dinikmati atau tidak oleh pembaca itu urusan nomer dua… :)
Hmm menarik Don :)
Aku jarang BW jadi gak terlalu tau blog lain cara mereviewnya pd gimana, tapi kalau aku, aku review yg aku suka dan cocok buat aku (dibayar atau tidak, klo emang bagus walo gak dibayar tetep aku tulis krn itu informatif. Bisa tebak gak yg mana? ;).) Kalo gak sreg sama produknya, aku gak mau. Nanti gak dari hati dan info dari review itu bisa menyesatkan.
Tapi soal review mereview ini, tiap org pasti punya gaya masing2 dr sudut pandang yg berbeda Don. Ada yg mereview dr sisi teknis tp ada juga yg dari sisi style atau feels waktu experience itu.
Anw this post is a nice input :)
+ seket ewu
juaraaa tak tambahi sangangatusewu maneh, cek genap sak juta :D
eh kurang seket ewu maneh ding :D
Aku sepakat bulat denganmu, Ka… dan memang seperti itulah idealnya seorang pe-review, menurutku :)
Soal sisi teknis atau tidak, jangan salah tangkap.. aku juga akan pusing ketika melihat review yang penuh dengan angka… Tapi kalau kamu pernah amati brosur mobil misalnya, di bagian awal-awalnya full of description in words, tapi di akhirnya biasanya diimbuhkan sebuah table berisi spesifikasi teknis. Nah, maksudku begitu… jadi selain pembaca ngeh melalui pilihan kata pe-review, ia juga punya sesuatu yang exact, yaitu angka-angka teknis tersebut.
lha iki apek iki
Don, iklan dalam bentuk blogpost itu -setahuku- tidak semuanya berbentuk “review” dalam arti diminta mencoba suatu produk atau layanan. Ada juga dalam versi “advertorial”. Hanya saja, seringkali semuanya disamaratakan dgn istilah “job review”.
Mengenai spesifikasi yg detail dari sebuah produk yg diiklannya dalam bentuk blogpost, menurut aku, itu tidak harus ditampilkan secara detail. Tergantung dari minat blogger itu sendiri. Contohnya, jika yg disodorkan utk dicoba itu adalah mobil, membahas spesifikasi kemungkinan besar menjadi menarik di mata blogger yg suka otomotif. Berbeda jika produsen mobilnya ingin mengetahui sudut pandang dari blogger yg suka jalan-jalan, misalnya. Akan terasa aneh jika dia juga membahas spesifikasi mobil secara detail.
Oh ya, membandingkan blogger secara umum dgn penguji di surat kabar ternama sepertinya kurang pas, Don. Sikonnya berbeda :)
Ben, skali lagi ini soal “selera”… Sperti kutulis bahwa, idealnya menurutku demikian….
Tp penjelasanmu memperkaya konten ini. Ini adalah komentar terpanjangmu hahaha…
Eh, iya. Tumben aku komen panjang di sini…. *merasa kena jebakan betmen*
*ketawa sampe nyembur*
huahaha kerasa banget ya mas Ben tulisannya om Donny
saya sepakat, tapi kepentingan untuk mendapat bantuan dari dunia maya kan sayang untuk disia-siakan ya mas?
Ulasannya menarik dan informatif sekali, Mas! Blogger2 yang suka dapet tawaran mereview produk mesti baca ini dulu ya :D
Soal sisi hukum di Indonesia yang nggak jelas juga jadi faktor. Hukum tidak melindungi seorang penulis yang menuliskan [kejujurannya] terhadap citra negatif sebuah brand. Prita, contoh nyata. Dia [dianggap] menjelekkan sebuah brand [tanpa niat] saja berujung bui.
Belum lama, kasus Warung Makan berujung gugatan pada blogger [meski berujung damai] juga terjadi.
Berharap akan ada yang me-review sebebas-bebasnya? Merdeka? Saya pikir agak berat.
Point-point di atas memang seyogyanya dilakukan. Setuju itu. Tapi stttt, kalo mau jujur, bayaran untuk melakukan review sedetail dan seberat itu, akan lain. Segi materiil dan non-materiil menuliskannya [kayak tuntutan perdata aja] bisa jadi nominalnya sangat besar. Dan, pihak brand sendiri [bisa jadi] tidak terlalu mengharapkan brand-nya direview sedetail itu.
Jawaban singkatku: Jadi kenapa harus mereview? Hahahaha..
Sorry bercanda…
Aku sepakat denganmu soal ketidakjelasan hukum yang tidak melindungi penulis meski aku tak tahu apakah “niat” Prita menulis tentang sebuah brand itu untuk menjelekkan atau tidak? (Kalo gw sih, gw kecewa dengan layanan perusahaan, kalo gw nekat nulis ya pasti niat gw protes dan menjelekkan.. smoga Prita ga seperti gw :D )
Seperti yang kutulis di atas, menulis dengan fair (istilahmu ‘merdeka’) tak harus mengemukakan sesuatu dengan frontal kok.. bisa dengan kata-kata yang diperhalus dan tulisan yang konstruktif (ingat kan beda ‘gelas separuh penuh gelas separuh kosong’).
Ini bukan saran, tapi idealnya, sekeras-kerasnya hukum, mutlak hukumnya bagi penulis untuk tidak lembek melawannya, meski juga tak harus frontal.. jadilah air yang meski cair tapi dorongannya mampu mendobrak, meski kalau perlu meliuk di antara jerat hukum tersebut.
aku ngeblog memang karena review dan uang, kalau ndak ada uang pasti saya ndak bisa nulis dengan tenang, dan negarapun kureview sekarep wudel saya sendiri je…
duh gek kepiye iki :lol:
tapi memang sorotan ke konten itu penting, karena seakan blogger itu banyak yang menjadi sejenis bot, yah begitulah.. bisa di on kan atau di off kan
#mdrcct
” jadilah raja atas blogmu karena itu milikmu ”
teman2 blogger pasti akan tetap menjadi raja untuk blognya mas, mereka akan tetap pilah-pilih review mas, mana yg layak mana yg gak, mana yg cocok mana yg gak, mulai dari produk yg akan direview sampai pada bayarannya :D
*lari ke hutan*
aku suka postingan ini. mencerahkan… tapi jadi kesikut. aku ya mau review-an, walau teteup ogah twit berbayar. piye kuwi, kang? #mdrcct juga, kan? suwun…asik banget
ahhhh, sebelumnya sih saya sudah mencapai kesimpulan bahwa segala keberatan di blogosphere mengenai job-job review di blog –terutama job review otomotif– adalah karena sajen foto SPG yang kurang memadai. jika dirasa sajennya tidak memadai, silakan ke sini saja: http://j.mp/oq2LST
seriously, dude, you don’t have to read every blog post. kalo judulnya sudah mencerminkan job review, paragraf pertama apalagi, & udah jelas2 ditulis sebagai advertorial, kalo masih nekat baca & gak suka kenyataan bahwa tulisan itu adalah advertorial, ya salah sendiri. ini bukan cuma di blog, tapi juga di media lain.
contoh review produk di koran itu beda dengan kebanyakan ‘job review’ di blog. review2 di koran/majalah itu biasanya pengulas punya kebebasan redaksional untuk ngomong apa saja. sifatnya beda dengan advertorial yang lebih terikat. untuk blog kayanya jarang yang udah mencapai tingkatan sebagai pengulas.
soal monetizing ini juga aneh. kenapa kok blog gak boleh monetize? at least kenapa harus ada resistensi macam2? sampai2 harus keluar ‘swear words’ semacam ‘kapitalis’ yang menurut saya di sini gak ada artinya sama sekali selain untuk melabeli sesuatu sebagai ‘sesuatu yang buruk’. kenapa misalnya tukang kebun, guru, petani, hakim, pelukis boleh cari duit, tapi blogger gak boleh?
Pertamax, aku ngerasa terhormat banget dapet tanggapan darimu dengan sangat gamblang, detail dan jelas pointnya.
Keduax, thanks untuk link ke foto-foto SPGnya.. ngga terlalu cantik-cantik, lebih cantik design galeri dan caramu meliput event itu yang at least lebih ‘serius’ dan ‘detail’ ketimbang lainnya (karena ada foto2 SPG nya itu juga sih).
Sepakat untuk pendapat bahwa i dont have to read every blog post. Dan persoalannya memang bukan ke perkara membaca atau tidak membaca sih, lebih ke bagaimana menulis dan tidak menulis suatu review secara ideal. Bayangin deh Bro, kalau review ditulis dengan ideal, dibaca atau nggak dibaca, konten itu toh sudah jadi sangat kuat… kalau udah gini, siapa yang diuntungkan? Kan blogger dan produsen pembayar.. ngga rugi kan? :)
Soal monetizing, aku tak menyayangkan dan menganggap aneh kok, dan pilihan kata ‘kapitalis’ tidak diarahkan untuk swearing meski akan jadi pisau bermata dua ketika monetizing lantas dijadikan tameng untuk menipis dan hilangnya idealisme seseorang.
Kupikir dalam tataran ini, dalam ‘profesi’ lainnya pun, ketika uang menjadi raja, bukan hal baik yang terjadi dan justru sebaliknya.
Maka, kalau pelukis, hakim, guru, petani dan tukang kebun bisa tetap mencari uang sembari tidak mengesampingkan idealisme dan nilai-nilai humanis baik lainnya, kenapa blogger ga bisa? :)
nah, kenapa ‘paid review’ harus dianggap mengesampingkan idealisme?
Tak semua ‘paid review’ kok :) Paid review yang ‘menghamba’ ke produsen itu yang iya… beda kalo memang dari awal ngeblog idealisme nya adlh menghamba pada produsen :)
Untuk kasus tersebut tentu ngga ada pengesampingan idealisme.
Lainnya ini bisa diperjelas, Om? :lol:
Udah jelas kupikir… krn tanpa foto SPG *eh :)
:lol: :lol:
Saya hampir tidak pernah membuat review sebuah produk. Pernah sekali, itupun sebuah project CMS yang dibuat oleh teman-teman yang tergabung dalam sebuah startup.
Kalau produk2 yang bermerk, saya belum pernah, tapi kalaupun suatu saat nanti ada tulisan macam itu di blog saya, akan saya ingat2 lagi tulisan ini :-)
wah gak pengen jual dulu ,krn dah cinta am blog ak dan penuh perjuagnan ,berisi ilmu yg bergun he3 slm kenal
wohoooo, tulisan yg sangat powerful, menyerang sesuatu dengan argumen yg tepat dan bukan asal tembak.
saya sih gak keberatan dengan paid review, segala argumenmu sudah saya pikirkan sebelumnya namun ketika job review itu datang, cenderung saya kesampingkan. Okay, saya memang harus belajar lagi.
dan tulisan ini memberi banyak perenungan. thanks bro :D
Saya nggak menyerang, Brad…
Saya hanya mengutarakan maksud untuk bagaimana baik dan idealnya menurut kaca mata saya :)
Thanks commentnya dan happy kalo tulisan saya berkenan heheh…
Great post as always mas. IMHO, wajar-wajar saja kalo seseorang dibayar untuk mereview sebuah produk ataupun menulis dalam rangka melebarkan awareness orang-orang tentang brand tertentu. Betul yang mas Donny bilang di atas, kadang penulis blog betul2 menuhankan si brand, padahal brand sendiri SERINGNYA tidak meminta dibagus-bagusin. Di sini juga brand harus diberi knowledge, kalo membayar blogger untuk menulis, tentukan jadwal yang smooth. Jangan dalam 2 hari, yang nulis ada 10 blogger, dan itu semua yang tenar2. Waduh.. Hihihi.. Gak cuma jadwal yang smooth aja, tapi juga tema yang diangkat harus sesuai dengan karakter blogger.
Aku sempat juga dibayar untuk melakukan review. Namun semuanya yang merupakan passion aku. Misalnya di bidang traveling, green volunteering, bahkan badminton. Kadang kan ada tuh blogger yang dikenal pake laptop Mac, hape Iphone.. eh iklaninnya Nexian.. *eh nyebut merk boleh lah ya..* Jadinya kurang smooth gitu lho.. Hehe.. Ya pokoknya intinya dua belah pihak harus diberi knowledge dan saling kasih masukan yang mana yang cocok untuk pembaca. Sekian dan terima side job nulis. x)
Commentmu aku suka, nyaris punya ‘soul’ yang sama dengan komen si @CeritaEka di atas…
Go Go Go!
postingan tajam dan bernas, mas.
bisa menangkap kritikan tp juga menawarkan solusi yg mencerahkan.
itu menghamba2 mgkn krn ga enak, kl nulis jelek, ga dapat proyek lg.
opomaneh wong jowo, sungkan pekiwuhan itu is in the blood xD huahahaha *satir mode on*
Makasih, Jeng…:)
Aku gak yakin mereka takut nulis hal2 negatif karena takut gak dapet proyek… teman baikku, @isnuansa, di atas menyebut barangkali kecenderungan menulis yang baik2 itu karena belum ada kepastian hukum yang memayungi penulis :)
mmmmm….tulisanku? ada gak ya iklan2 gini?
rasanya hampir gak pernah nah bikin review, ada sih buku aja :D
atau aku dah lupa ya mas hehehehe…
btw, nice…i like it!
bikin blog kuncinya… c3MUn6uUDdHHh!!! :p ga kayak gue, tinggal draft doankk.. ga jadi publish melulu.. hahahaha!!!
Waduw…nusuk banget ini postingannya, kyakakak… :lol:
Kalo saya sih beberapa kali mereview produk.
Hanya saja, memang ada beberapa yang dibayar dan saya jor-joran pamerinnya, wkwkwkw… :lol:
Tapi emang sih, harus bener2 objektif kalo mereview sebuah produk agar konsumen pun gak jatuh ke dalam lubang penipuan :D
Saya mungkin tak terlalu peduli pada kualitas review seorang blogger, apalagi kalo ybs temen saya, toh nantinya saya lebih sering komen bercanda ketimbang berbincang serius soal produk/pengalaman yang seringnya tak terjangkau/butuh itu. Tapi poin yang dikatakan Titiw itu penting, agak lesu saja kalo blogwalking ke sekian teman2 dan semua lagi review hal yang sama. Mo komen template juga serba salah. Haha~
Itu dia yg kurasain dan jadi dasar tulisan ini muncul :)
Wah apalagi pas ada putri yang menghilang itu ya *ihik
Sebagai yang pernah jadi pe-review jujur yang ngak kusuka adalah ngak boleh nyebutin brand / produk lain sebagai komparasi. … Mungkin mas DV pernah baca seputar bung ijo ..itu kan review juga … tapi asistenku yang nulis.. juga kubuatkan akun tersendiri jadi tidak ‘menciderai personalku’.
Nice tips, Bro.. Thanks for sharing!
Dan untungnya saya tak pernah me-riview produk. Kalau mau pajang banner dan biarlah pembaca yang menilai, bukan kita. Riview itu seperti mengemban tugas berat, dan lebih berat dari 7 karung beras diatas pundak.
Saya setuju Mas DV, kalaupun ada yg meminta review dan postingan yang akan saya buat adalah kejujuran. Bukan kotoran berlapis coklat. Senang atau tidak nantinya, itu urusan kelanjutan :D
Saya sih ngga ngeliat review itu jadi beban berat selama kita jujur… Jujurnya itu yang memang berat… :)
Antara kesentil dan tidak. Ulasannya saya sangat suka. Menarik, lengkap dan telak menyentil publisher. Saya senang punya teman yang idealis begini. Sama-sama, maaf gila (ha..ha..ha..) karena tidak butuh dengan uang. :D
Saya persilahkan mampir ke blog saya. Di blog saya kritik dan advertorial bersanding dengan amat mesra. Ada artikel kritik dan advertorial bercampur aduk jadi satu. Saya pernah mengkritik brand Telkomsel yang ironinya pernah saya tulis advertorialnya. Bisa dibaca artikelnya disini Telkomsel Diam-diam Curang Dalam Paket Promo simPATI Gratis Internet Berjam-jam
Waduh, anda salah menilai kalau saya tak butuh uang..:)
Kalo ada produsen bayar saya untuk nulis review asal harganya cocok akan saya ambil kok asal mereka pasrah dengan cara nulis dan cara me-review di blog ini :)
Saya hanya tak sudi jadi hamba uang. Itu sudah :)
Oh, masih butuh duit, toh? Saya salah dong. Hi…Hi… Saya pikir Mas DV seperti pelukis Rustamadji yang tersohor itu. Hanya butuh idealis, tak butuh duit.
Kalau saya boleh jujur tetap butuh duit dari ngeblog tapi tanpa menjual idealis. Jika produsen (advertiser) tak bener (ngapusi) konsumen meski dia pernah memberi uang ke saya, ya tetap saya kritik. Masalah setelah itu dia terus sakit hati dan tidak memberi job review itu sudah resiko. Kebenaran tetap harus diungkapkan. Hanya, kalau dalam satu job review ditulis kelebihan dan kekurangan sekaligus, bahkan kritik ini tak lazim di dunia periklanan. Boleh Mas DV kapan-kapan memberi contoh job review seperti itu. Tapi saya tak yakin ada produsen yang mau diperlakukan begitu.
Satu lagi, jika ada orang yang tidak bisa membedakan mana postingan jual kecap dan mana review murni itu salah sendiri. Wong di blog saya di bawah judulnya sudah ada label gede berbunyi Advertorialnya, kok gak ngerti.
Tapi saya lihat umumnya publisher, terutama yang dari IBN tak mau melabeli review berbayarnya dengan tanda kalau itu adalah iklan. Jadi, sedikit mengutip apa yang pernah dikatakan wartawan senior dari Pantau Andreas Harsono, sulit membedakan wartawan kita itu orang kreatif apa kuli yang menjual idealis demi uang sama seperti blogger kita karena mencampuradukkan muatan redaksional dengan iklan. :)
Hehe, setiap manusia yang hidup tetap butuh duit, menurut saya sih :)
Ketika saya bilang saya butuh duit, bukan berarti saya butuh duit dari blog lho :)
Itu dua hal yang menurut saya berbeda, Mas.
Saya nggak bisa ngasih contoh review yang menuliskan kelebihan sekaligus kritik karena itu memang tak lazim. Yang saya maksudkan itu justru seperti yang anda bilang, ‘kebenaran tetap harus diungkap’…
Ketika kita mengungkap kebenaran kan tak harus dengan kritik pedas.. cukup tampilkan apa yang dianggap sebagai produk baik dan kita toh nantinya tak perlu mengkritik sesuatu yang sudah baik :)
Pada akhirnya tulisanmu ini menjadi sangat serius..sangat khas DV.
Review produk? Apa blogku juga termasuk ya..soalnya kahir-akhir ini isinya melulu makanan…maklum sering saat buka puasa masih nyasar ada dimana..juga gara-gara kantornya di dekat Mal, jadi tulisannya makan melulu.
kalau repiu disuruh mengelu2kan prodaknya dan dapat ipad piye mas :D
Aku menolak beberapa tawaran reviu Don.
Sejujurnya aku tak suka memoneytize blogku yg sekarang karena dia terlalu bagus untuk tulisan2 reviu.
Akan tetapi untuk hal-hal yang memang aku suka dan aku diminta menulis as a user experience, I’ll take itu. Tapi aku tak mau semuanya diterima. Itu namanya menjual diri, bukan jual blog lagi.
Aku baru mau menulis juga tentang ini juga, DOn. :)
Ulasan yang menarik, memperkaya wawasan dan membantu buat menulis posting
Tentang isi, saya menyimak dulu deh, termasuk komentar teman-teman yang tak kalah menarik
Habis baca sampai tuntas termasuk komentar yang ada, malah jadi bingung mau komen apa hehehe
Tapi sing jelas, saya senang tulisan sampeyan ini. Menambah pencerahan.
“Teman-teman?
Jadilah raja atas apa yang setidaknya kau miliki saat ini. Kau adalah blogger, jadilah raja atas blogmu karena itu milikmu dan jangan sekalipun memberi kesempatan kepada siapapun termasuk kapitalis untuk menguasai”
Kalimat pada alinea terakhir lumayan menyemangati MasDab…
Akan tetapi bagaimana kalo kita yang kebanyakan masih menggunakan engine tumpangan dalam ngeblog (bukan berbayar) misalnya dengan WordPress, Mulitiply, blogspot pun yang lainnya.
Ketika kita mau mereview bukan saja hanya sebuah produck akan tetapi lebih dari itu adalah “kinerja seseorang/organisasi/team” lalu dihadapkan pada satu “kekuasaan lebih” pada kinerja seseorang tersebut, sebagai contoh real misalnya yang berhubungan dengan engine…? Rasa fair bakal tak terjadi disini karena yang saya lihat (meskipun subyektif) adalah bagaikan melawan “anak kecil” akan tetapi anak kecil tersebut “sudah dipersenjatai lebih”
Rasa kekhawatiran adalah hal yang tak bisa dihindari dalam menyuarakan semuanya, karena bukan tidak mungkin hukum disini hanya permainan belaka. Yang masih banyak kita jumpai adalah justru orang yang benar bisa menjadi salah dimuka hukum sementara yang benar adalah mereka yang memang sedari awal memiliki badan hukum dan yang terpenting bisa membayar semuanya. Okelah Prita Mulyasari bisa melalui hal itu, tapi mohon kesampingkan dulu case Prita karena saya masih melihatnya dia adalah satu yang beruntung diantara seribu yang masih terkatung.
Dan memang tindakan terbaik adalah meninggalkan engine tersebut dengan beralih menggunakan engine lain, bahkan kalo bisa yang berbayar sekalian. Namun saya rasa Kang Donny n temen2 lain disini tak akan memberikan jawaban semacam itu khan..?
Thanks then…
Menarik dan mungkin tulisan dan komen di sini bisa jadi pertimbangan kalo satu hari nanti aku mau mereview satu produk
Buset mengena sekali pak, mantab tulisannya
review produk di blog emang mengganggu banget, dan ngaruhnya ke blogwalker.
don, aku setuju dengan tulisanmu ini. memang sih kadang malas kalau pas BW “kesasar” ke blog pereview. kalau reviewnya bagus, ya nggak apa2. tapi kalau jelek, ya … maaf, nggak akan sering2 main ke sana deh. kadang kupikir akan membantu kalau di bagian depan atau atas ditulis bahwa tulisan itu advertorial. hahaha. vulgar ya?
aku sendiri juga agak ragu mau posting protes suatu produk/layanan jasa. akhirnya kemudian kadang rada pakai berkelit sedikit. nggak langsung gitu deh. atau pakai tanda ** untuk menyamarkan nama produk.
Kayaknya aku tau nih sapa yang dimaksud, anyway…sebelum ini kalo tidak salah dulu di Twitter (dan ampe sekarang sih) ada #TwitBerbayar (Lah Twitter kan juga microBLOG). Dan kalau tidak salah #TwitBerbayar ini juga menghebohkan, karena dianggep sebagai pemicu kiriman peti mati ke berbagai media yang lalu itu hihihi :))
Idealnya sich saya pikir memang begitu,tetapi terkadang karena keterbatasan waktu review biasanya cuman di ulas dari hal-hal yang umum saja tak terspesifik,klo spesifik juga kan harus memerlukan kerja ekstra untuk menilai produk tersebut dari luar dan dalam.Selama masih di setujui dan tidak memberikan informasi yang membohongi publik,i think it’s ok :D
don, carane nge-review ki piye to? *bingung.com
wah kak blogwalker ini bisa juga buat judul seru. ngomong soal review. review terkadang membingungkan. satu blog bilang bagus, tapi blogger lain bilang buruk. lainnya lagi bilang pas-pasan. itu yang bikin bingung aku.
ya. mau gimana lagi sekali buku dicetak salah maka tujuh turunan akan salah dalam mempelajarinya. kwkawkak.
(nyambung gak sih).
yang jelas salam kenal deh mas.
Baru baca artikel ini dari link di Bukik. Betul, setuju, merdeka. Buat aku blog itu ya tempat aku nulis tanpa harus ditunggangi (alah…bahasaku) dari pihak-pihak luar. Aku menjauhkan diri dari blog-blog yang terlihat gamblang membuat artikel untuk iklan. Kalau review mah harusnya membandingkan produk A dengan B dan pasti akan ada lebih dan kurangnya, nah kalau isi artikel “review”nya hanyalah penghambaan kepada produk ya malas banget bacanya. Aku suka artikel ini :)
tulisannya nonjok banget … ihiks
btw, sy setuju dengan kalimat ini: Kami butuh tampang SPG-SPG? hahaha
Tidak ada yang sempurna di alam ini… Realistis dan idealis… Salam!!!
Wah aku baru aja ngejadiin blogku utk review hehe.. tapi sepanjang sejarah mereview, baru 1 deh review produk yang berbayar. itupun aku taruh plus minus. Terserah pembaca. Sisanya, LIFE REVIEW. Mereview apa yang aku liat dan alami. Pun review produk (gadget) yg aku tulis karena emang aku pegang dan punya. Bukan dibayar duit.
Sebuah tulisan yang menarik, mengingatkanku kepada blogger-blogger Indonesia yang mengandalkan blognya sebagai media sumber penghasilannya selama ini. Saya sendiri sudah pernah dua kali mendapat job review cuma itu kulakukan secara profesional. Btw, tipsnya sungguh menarik. Salam kenal dari borneo…
seharusnya sy baca dlu posting ini sebelum saya menulis blog biar tidak trjebak o/ materi & popularitas.
trima kasih mas postingnya inspiring :)
bookmark buat jadi petunjuk ketika mau review :)
kalo review produk untuk kuis? uda pernah belom?
bagus sekali penjelsananya menambah, wawasan saya menenai brand blog yang akan saya kelola….
Saya pernah menolak beberapa produk yang terkesan setengah memaksakan apa maunya. Untuk sebuah produk yang sedang bersengketa merek misalnya, berhubung saya nggak sreg ya nggak akan saya terima, selesaikan dulu sengketamu, kalau sudah jelas baru akan saya review. Atau, kapan hari saya mendapat request untuk mereview sebuah produk kosmetik dengan syarat saya harus memosting khasiat kosmetik itu selama 15 hari berturut-turut di blog! Hmmppffft!
Mending nggak usah… :|
buzzer itu per-review product toh… baru tahu. Kirain tukang buzz, alias cerewet ngomong hahaha (pembanjir TL)
digretongan mah sussyee haha.. melanggar tos
ini jadi pembelajaran buat newbie dan blogger lainnya . termasuk saya!
semua artikelnya sangat bermanfaat… keren