Kalau mau jujur, hal yang paling menyebalkan dalam berkendara motor bagiku adalah karena kita harus mengenakan helm.
Alasan yang pertama adalah helm bikin rambut lepek. Kalian tau lepek? Itu lho, rambut kamu jadi kelihatan kempes, tak mengembang seindah mbak-mbak penjaja iklan shampoo di televisi yang kita tonton sehari-hari. Aku ingat dulu jaman SMA kalau mau ngapel pacar, udah capek-capek keramas demi rambut yang lebih wangi dan indah, semuanya harus sia-sia karena rambut harus di-ungkep helm yang karena tak ikut dikeramasi jadi ya tetap bau apek, campuran keringat, kotoran dan lembabnya udara.
Alasan yang kedua, meski bagi sebagian orang dan utamanya copet dan perampok, helm bisa berfungsi sebagai kedok, tapi bagiku penyandang narsis akut, helm terutama helm cakil yang menutup wajah hampir seluruhnya adalah penghalang untuk sekadar ber “Hey, ini aku! Donny Verdian, si gagah perkasa yang sedang berkendara!” (eh iya, dulu kawan pernah bercerita ia berkawan dengan seseorang yang karena malu untuk mengakui bahwa ia belum punya mobil maka ia selalu memilih helm yang rapat dan gelap kacanya untuk menutupi kenyataan bahwa ia masih ber-motor; belum ‘bermobil’)
Tapi terkadang kenyataan memang tak meluangkan pilihan. Kenyataan bahwa kita berkepala dan resiko kalau kita jatuh terlempar dari motor apabila kita tak mengenakan helm adalah kepala kita bisa terlukai (hingga yang paling parah ya hancur berantakan) membuat kita harusnya mahfum bahwa mengenakan helm bukanlah pilihan tapi aturan dan kewajiban!
Nah, beberapa minggu lalu ketika sedang memperpanjang SIM Learner (SIM dengan kasta terendah di sini karena aku belum lagi lulus ujian nyetir meski telah empat kali mencobanya) di Kantor RTA – Roads and Traffic Authority aku menemukan poster seperti tampak foto di bawah.
Maaf kalau fotonya tak terlalu jelas tapi yang pasti, pesan yang tertulis di situ harusnya adalah “If you dont need a head, you don’t need a helmet!”
* ?? * ?? *
Kalau mau dirunut sejarah per-helm-an, aku jadi tertarik mengulas sejak jaman helm ‘cidhuk’ (sebagian menyebutnya helm ‘cethok’) diperkenankan untuk dipakai pengendara.
Cidhuk adalah bahasa Jawa yang berarti gayung; artinya helm yang hanya berbentuk seperti topi dan karena simple serta ringannya, istilah kata kalau mau kita jadikan gayung untuk mandi pun tak mengapa. Aku dulu penggemar tipe helm ini, ya karena kesimple-annya, tak memuat padding kecuali hanya plastik yang pura-pura menyamar jadi rangka yang kokoh. Oh ya satu lagi, helm jenis ini relatif tak membuat rambut jadi lepek karena daya cengkeramnya yang ‘kurang’ terhadap kepala.

Helm 'Cidhuk'
Helm ‘cidhuk’ ini adalah pilihan dari ‘helm standard’ yang meski memenuhi standard keamanan, tapi sesuai namanya, maka tampilannya ya standard-standard saja. Temanku bilang kalau kita pakai helm standard jadi kayak “pak dan ibu guru”, istilah untuk memperhalus kesan “tua” karena penampilan helm tersebut yang tidak “energik dan muda!”
Harga helm ‘cidhuk’ pun bisa dibilang sangat murah. Hanya sekitar 5000 rupiah untuk yang kualitas ‘plastik bagus’ sedangkan yang kurang bagus bahkan yang seribu perak pun dapet. Oh ya, variabel harga juga bisa dilambungkan kalau pada permukaan ‘cidhuk’ nya dihias macem-macem semisal menggunakan lukisan air-brush dan sticker warna-warni.
Tapi persoalan lantas berujung pada, seberapa tahan dan kuat helm cidhuk sanggup melindungi kepala?
Untung pemerintah, dalam hal ini polisi, tanggap untuk segera menyatakan bahwa penggunaan helm cidhuk diharamkan karena jangankan terhantam aspal, jatuh ke lantai tanpa sengaja saja kadang bisa membuat helm ini retak karena maklumlah, sebagus-bagusnya bahan, seindah-indahnya bentuk tetaplah ia hanya sebuah plastik yang kalau terkena panas-dingin terus-menerus akan lapuk dan mudah pecah.
Aturan baru lalu datang, helm cidhuk disingkirkan dan semua orang harus mengenakan helm standard SNI (Standard Nasional Indonesia) atau kena tilang! Awalnya orang mengeluh, jelas! Mulai dengan alasan berat lah, bikin rambut lepek lah, mahal lah, kayak ‘pak dan bu guru’ lah… tapi aturan adalah aturan. Untung kita punya kawan bernama produsen yang pandai mengendus bisnis dan menawarkan solusi meski narik ongkos juga. Produsen yang jeli lantas menawarkan sesuatu yang ‘cantik’, lebih cantik dari sekali lagi, helm ‘standard’ yang sesuai namanya, maka tampilannya ya standard-standard saja.
Harga helm-helm standard ‘cantik’ ini bagai bumi dan langit dibanding harga helm ‘cidhuk’ tadi. Kalau tak salah, untuk kelas yang benar-benar bagus, kisaran harga dimulai dari 200 ribu rupiah waktu itu sudah termasuk ongkos instalasi kaca pelindung dari jenis kaca film yang redup-terangnya bisa kita pilih dan padding yang tertanam di dalam helm yang tak mengungkungi kepala berlebihan sehingga tak membuat kepala pening ketika harus berlama-lama mengenakannya. Sementara kalau terbatas biaya, ya silakan menjadi ‘pak dan bu guru’ dengan memakai helm standard yang biasanya diberikan cuma-cuma setiap kita membeli (lebih tepatnya mulai mengangsur) sepeda motor dari dealer.

Helm 'Standard'
Nyatanya menggunakan helm standard ‘cantik’ itu lama-lama menyenangkan juga.
Pertama, ketika helm kita kenakan dan kaca pelindung kita tutup rapat-rapat, kita bisa nyanyi-nyanyi sendiri sementara suara kita teredam padding; tak berbaur dengan suara bising jalan raya. (aku pernah mengira bahwa samping kanan dan kiriku tak bisa mendengar suara nyanyianku, nyatanya ketika di perempatan lampu merah dan aku bernyanyi dengan volume yang lumayan, beberapa menoleh kepadaku… ah untung kacaku kaca film yang gelap). Kedua, ketika ada pemandangan menarik, entah itu mobil bagus, ataupun ‘makhluk bagus’ di samping kanan dan kiri kita, kita bisa melirik tanpa harus ketahuan yang dilirik karena kaca gelap film itu tadi.
Satu-satunya kekurangan, kalau tak mau dianggap kelebihan malah, suara-suara sekitar bisa teredam karena tebalnya padding yang menyumpal daun telinga. Hal ini tentu berbahaya karena kita sebagai pengendara diwajibkan harus selalu alert tak hanya oleh indera mata tapi juga pendengaran. Bayangkan kalau tiba-tiba di belakang ada sebuah bus yang melaju kencang dan klaksonnya mati dan satu-satunya penanda bahwa di belakang ada bus adalah suara mesin yang ‘ogrok-ogrok’ khas bis Jogja – Solo itu sementara spion juga tak terpasang dengan benar… kalau meleng tak mendengarkan derunya… bisa celaka jadinya!
* ?? * ?? *
Namun meski sudah didesain sedemikian hebatnya dan aturan semakin diperketat, ketika ditanya soal “Apa kalau sudah pake helm pasti selamat?” terkadang kita keki juga jawabnya karena nyatanya kejadian kecelakaan yang sampai menelan korban jiwa ya tetap terjadi meski si korban mengenakan helm standard yang cantik pula.
Orang-orang yang berpikir positif dan tidak biasa hidup di hutan akan menjawab bahwa setidaknya mengenakan helm adalah salah satu upaya mengurangi resiko kecelakaan di jalan, terutama kecelakaan yang berpotensi merusakkan organ kepala kita. Tapi untuk orang-orang yang berpikir skeptis dan biasa tinggal di hutan, mereka akan menyitir kata-kata bijak “Hidup mati di tangan Tuhan! Kalau saatnya celaka ya celaka meski pakai helm. Jadi apalah gunanya?!”
Mungkin karena itu juga maka salah satu kawan baikku dulu bilang “Orang kita itu gampang merasa jadi jagoan, Bung!”
“Oh, kok bisa?” tanyaku pada suatu malam padanya.
“Lha iya… lihat saja, kalau ada kampanye di jalan mereka sudah sok merasa jagoan trus nggak pake helm!”
“Hmmm..”
“Apa dipikirnya kalau sudah ikut kampanye trus kepalanya jadi lebih keras ketimbang aspal!”
“Ohh…”
“Lalu ada lagi.. kamu sering denger penggerebekan tempat-tempat hiburan malam oleh ormas-ormas yang mengatasnamakan agama tho, Bung?”
“Oh iya.. knapa pula mereka?”
“Lho, mereka itu juga nggak pake helm bung!”
“Trus yang terakhir… kalau ada iring-iringan jenasah… pembuka jalannya kan banyak yang pakai motor tho?”
“He eh..”
“Nah, liat saja, mereka juga ngga pakai helm kan kebanyakan. Apa mereka pikir karena mereka pembuka iring-iringan jenazah trus mereka nggak bisa jadi jenasah juga kalau tiba-tiba jatuh dan kepalanya terbentur aspal?”

Any comment? :)
Aku tak bisa mengelak kebenaran dari apa yang diutarakannya. Kenyataan yang diutarakan temanku tadi memang realita yang terjadi di lapangan dan kita, utamanya pihak kepolisian harus semakin ber-akal untuk menyadarkan masyarakat bahwa menggunakan helm atau tidak itu sejatinya urusan pengendara motor.
Tantangan untuk semakin ‘ber-akal’ itu menurutku cukup mendapat tanggapan dari pihak kepolisian. Kalian ingat kan pada aturan ‘kaitkan tali pengaman helm sampai bunyi “klik”‘?
Bagiku hal itu adalah sesuatu yang menarik dan pintar.
Penggunaan kata ‘klik’ adalah simbol bahwa polisi juga bisa ‘gaul’, mendekatkan aturan bukan dengan cara-cara yang konvensional nan kaku seperti “Kenakan tali pengaman helm saat berkendara!” atau “Kaitkan atau mati!” misalnya.
Tak hanya berhenti di situ, polisi konon kabarnya kerap mengadakan operasi simpatik di jalanan terkait kampanye mengaitkan tali pengaman. Beberapa polisi yang biasanya tampak garang kali itu menyetop setiap pengendara motor yang belum meng-klik tali pengamannya dengan ramah lalu membimbing si pengendara untuk memasang tali pengaman, terkadang tak jarang malah dipasangkan.
Meski aku curiganya, seiring perkembangan waktu, kalian malah pengen godain polisi dengan sengaja tak memasang tali pengaman supaya dipasangkan para polisi sambil berharap yang memasang adalah mbak-mbak polwan nan menawan selayaknya Briptu Eka misalnya?
Asal jangan kaget kalau tiba-tiba yang meng-klik-kan tali pengamanmu adalah Briptu Norman! Bisa di-chaiya-chaiya kalian.. biar tau rasa :)
Foto ‘Helm Cidhuk’ diambil dari sini.
Foto ‘Helm Standard’ diambil dari sini.
Foto ‘Helm bergambar topi dan rambut’ diambil dari sini.
Helm berpeci kuwi tukune nyang ngendi to, Mbah?
Kok yo lucu..
Etapi aku ngerti alesanmu males nganggo helm, ben jenongmu ketok to, Mbah?
*mlayu*
duh senengnya udah bisa sempet blogwalking…meskipun masih gak ada gairah mosting…heee…moco konco2 bloger ae lah…
Wah.
Helm kayak lobe. Lucu banget hahahaa…
Eh tapi beberapa waktu lalu aku nonton di TV tentang rombongan pemotor dari sebuah fraksi “pemarah” yang konvoi sambil melanggar peraturan lalu lintas plus tak berhelm juga. Saat seorang reporter bertanya, kenapa gak pakai helm, si gadis berkerudung itu berkata, “Gak takut, soalnya ini kan jihad. Jihad gak perlu takut.” Dan spontan keluar dari mulutku adalah : ngomong kok gak pakai otak.
lha iyaaa.. krn gak punya otak itulah makanya gak perlu pake helm, ga ada yg perlu dilindungi di kepala.. hehehe!
Perkembangan helm yang dijelaskan diatas secara umum juga terjadi di Bali. Sebelum tahun 2001, di Bali paling terkenal helm cedok/catok itu yang tampilan mirip helm tukang2 di proyek bangunan. Lalu di tahun 2001 itu di Bali mulai terkenal helm INK atau juga disebut helm pilot, tapi karena yg pertama muncul adalah merk INK makanya merk ini menjadi lebih dikenal sekarang, orang kadang menyebut helm INK walaupun merk-nya lain.
Jaman itu helm INK masih mahal dan kesannya elit, hanya orang2 berduit dan anak muda penuh gaya yang bisa membelinya, sehingga sering dijadikan lelucon karena banyak orang pakai helm jalan2 di mall atau ketika tidak sedang berada di atas motor, itu karena mereka takut helm-nya hilang.
Oya, tentang kegiatan tertentu yang tidak menggunakan helm, di Bali mungkin paling sering terjadi, yaitu ketika orang Bali (Hindu) keluar dengan pakaian adat, 99% mereka tidak menggunakan helm. Karena biasanya (yg lelaki) menggunakan ikat kepala (udeng), jadinya tidak bisa dipasangkan helm lagi. Saya tidak tahu bagaimana sebaiknya, karena kenyataannya menggunakan helm memang perlu (penting) tapi kenyataannya banyak yg tidak menggunakan helm ketika sedang menggunakan pakaian adat (termasuk saya).
Waktu di Surabaya, ketika ke pura saya biasa menggunakan helm, dan “udeng” baru saya pakai ketika baru tiba di pura. Tapi sepertinya ini agak aneh kalau saya lakukan di Bali, orang lain mungkin akan menganggap saya “orang aneh” kalau pergi ke pura dengan pakaian adat tapi menggunakan helm. Ya begitulah, kadang aturan dan sesuatu yang tidak/kurang baik kalau sudah dilakukan bersama-sama akan terlihat biasa dan lumrah.
*kok jadi panjang gini ya
Dulu aku juga sebel dengan dampak yang diakibatkan memakai helm. Tapi sekarang helm malah jadi satu kebutuhan untuk aksesoris ;)
helm cidhuk helm-nya pak dan ibu guru? aha, baru tahu….
Yang menarik fotomu yang pertama mas, don. helm cidhuk dulu 5rban? di jamanku itu seharga 15rban.. maklum kita kan beda generasi ya, mas…
Bwahahahahahaha!! Helm pecinya kocak abis! *ngejengkang* Anyway.. aku salah satu orang yang sangat takut kalo gak pake helm. Lebih karena takut celaka dibanding ketilangnya.. Karena aku mikir, ketika orang berkendara yang deket2 saja dan menjadi permisif untuk gak make helm di jarak tersebut.. Mereka malah biasanya kurang aware karena berada di daerah deket/ sudah hapal. That’s why menurut survey (lupa di mana..), kebanyakan kecelakaan malah terjadi di deket rumah dan sekitarnya.. Be safe all! :)
bwehehehheee…..
no comment wis, hanya langsung teringat kominya Kang Aji yang sempet ditarik dari peredaran n kemarin pas pameran buku juga sempet dirusak aja,
Gambar salah satunya kek DISINI
setuju, asline helm ki nambah konsentrasi berkendaraan,
lho jaman MP3 ngene isih ngganggo head to mas… isih ono kaset ?
Hahaha,… bener juga!
iring2an jenajah memang tak pernah pakai helm, dan memang ketakutan bukan pada mayat yang dibawa tapi pada yg ngga pakai helm.
Btw, ntuh helm Lobe jual dimana ya? :D
kebanyakan orang pakai helm sih bukan karena takut kepala cekala, tapi takut celaka kena tilang meski hanya denda sekitar rp 20 ribu :)
Hihihihi peci nya lucu..eh helmnya maksudku :))
Bener kata mas DV realitanya sih yang bikin aneh, mungkin sebenarnya bukan karena tidak sadar pentingnya helm tapi merasa sudah biasa ngak pakai helm. Kalau urusan tilangg dan surat tilang atau echemm…sogok dikiiitt biar aman ngak perlu sidang kayakna ngak mempan dan memang terbukti begitu.
Kan lebih asik kalau Polisi kena hukum kalau ada pengendara motor yang ngak pakai helm, bukan sebaliknya. In case di Indonesia aja yah. Soalnya disini polisi malah demen sih kalau ngeliat ada yang ngak pakai helm, biar bisa dapet uang tambahan..yah misalnya buat beli rendang padang hihihihi
@Arhamharyadi
Selain urusan tertentu beberapa orang malas memakai helm kalau yg dituju relatif dekat.
Tapi karena sudah pernah kehilangan 2 temanku gara-gara tidak pakai helm, jadi bagaimanapun aku pasti tetap pakai helm.
hwahwahwa… baca judulnya ngena banget!
helmnya makin waktu makin aneh” saja… tapi salut dah buat para Polisi LaLin yg masih terus melayani masyarakat walau harus sampai melayani klik segala… :)
haha, baru kepikiran.. kalo yang dateng Briptu Norman!!.
igh, om ini lucu ya :lol:
salam wordpress :)
Dulu saya pakai helm hanya karena tidak mau ketilang polisi. Tapi setelah melihat seorang teman jatuh dari motor baru saya sadar untuk selalu melindungi kepala. Karena saya butuh kepala
Helm mulai dari peralatan wajib sampai menjadi aksesoris
Dulu terpaksa, sekarang cari yang menawan
Dulu terpaksa, sekarang hilang jadi kepikiran
I agree with your Kalau kamu nggak butuh kepala, kamu nggak butuh helm — Donny Verdian, excellent post.
Kalimat di atas ngena banget Don…
Aku suka sekali.. :)
Kamu kok yo bisa saja dapat gambar helm berpeci itu, hahaha… :D
Catchy tag linenya…
Gue dulu selalu pake helm tutup Don…
Lebih aman dibandingkan helm ciduk ato helm proyek itu..
Gara2 pake helm tutup, wajah gue terselamatkan dari kemungkinan hancur pas gue terpental dari motor. Cuma butuh beberapa jahitan aja di bibir, gak kebayang kalo pake helm cidhuk.. keknya muka bisa rusak banget deh
bener mas hehe.. saya sangat setuju yang dibagian awal artikel :D