Kabar Baik Hari Ini, 25 Februari 2017
Markus 10:13 – 16
Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu.
Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.”
Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka.
Renungan
Sebenarnya sejak tadi malam aku sudah membaca Kabar Baik hari ini berulang-ulang. Tapi tak seperti biasanya, entah kenapa kali ini aku tak mudah mengerti apa yang menarik dan tak menemukan apa istimewanya tulisan Si Markus kali ini!
Hingga akhirnya apa yang kualami beberapa jam sebelum tulisan ini kurawi membuatku mengerti dan pengertian itu kudapat dari apa yang kualami sendiri.
Hari ini adalah hari lahir almarhumah Mama. Jika ia masih hidup, usianya 61 tahun. Tapi 7 Maret 2016 silam Mama dipanggil Tuhan dan Chitra, adikku, sepakat denganku untuk mengadakan doa lingkungan di Klaten, Jawa Tengah sana memperingati satu tahun wafatnya Mama malam ini. Dalam acara tersebut disatukan juga ujub peringatan enam tahun meninggalnya Papa. Dalam tradisi Jawa, peringatan hari meninggal seseorang biasanya memang diadakan sebelum tanggal meninggal yang sebenarnya. Mama meninggal 7 Maret 2016, Papa meninggal 7 April 2011, jadi disatukan saja.
Nah, karena aku tak bisa pulang ke Indonesia untuk hadir dalam acara itu, aku berusaha menggantinya dengan mengirimkan ujub doa pada saat perayaan ekaristi berbahasa Indonesia di gereja yang tak jauh dari sini malam tadi.
Kertas ujub doa sudah kuisi lalu kutitipkan pada petugas untuk diserahkan Romo yang nanti membacakan di dalam perayaan.
Tapi pada saat Doa Umat didaraskan, aku kaget karena ujub doaku tak dibacakan Romo. Fokus mengikuti perayaan pun buyar. Ada rasa bingung, ada rasa geram, kenapa tak dibacakan? Salahku apa? Jangan-jangan terselip? Jangan-jangan sengaja tak dibaca? Berbagai pikiran buruk menyeruak tak menentu.
Lalu pada saat Persembahan, seorang petugas datang menghampiriku dan berbisik, “Donny, maaf! Tadi kertasnya hilang entah kemana, sekarang baru ketemu dan saya akan minta misdinar untuk menyerahkan ke altar supaya dibacakan Romo saat Doa Syukur Agung.”
Kecewaku tak hilang meski senyum tetap kusunggingkan. Aku berusaha keras untuk kembali fokus pada jalannya perayaan tapi amarah tetap berkuasa dalam diri dan pertanyaan kekesalan di atas muncul berulang-ulang tak mau berhenti apalagi menghilang!
Lalu tiba-tiba aku jatuh dalam sesal.
Kenapa aku harus marah dan dendam toh doa itu akhirnya didaraskan juga saat Doa Syukur Agung lalu dimana salahnya? Hanya karena kurang sempurna karena tak terbaca saat Doa Umat maka aku lantas marah? Untuk apa?
Atau jangan-jangan aku marah karena ujub doaku tak disebut dan nanti tak ada orang yang menghampiri saat perayaan berakhir sambil berkata, “Donny, aku ikut mendoakan almarhum dan almarhumah orang tuamu ya!” Duh, kalau begitu, betapa aku adalah pribadi yang jahat dan buruk sekali karena bahkan ujub doa dalam perayaan ekaristi pun kujadikan mainan dan jadi landasan untuk egoku?!
Dan hal yang paling mengerikan muncul di benak, bagaimana kalau sebenarnya doa itu hendak diluluskan Tuhan tapi karena aku terpengaruh dan terkuasai emosi dan ego maka doa itu tak jadi diluluskan? Betapa sia-sianya sikapku itu bukan?!
Sepulang dari gereja, aku membuka laptop dan membaca ulang Kabar Baik hari ini dan saat itu juga aku jadi tahu kenapa Yesus menggunakan contoh anak kecil sebagai penyembah yang benar.
Kenapa? Karena Ia tak menemukan kebenaran yang hakiki pada sosok ‘orang besar’ sepertiku! Pada diri seorang anak kecil, kita menemukan keluguan, kepolosan dan kepenuhan hati dalam menyambut sementara ‘orang besar’, apa yang ditemukan selain kepura-puraan, kerapuhan, ego dan emosi yang menjadi jawara atas segalanya dan hanya serpihan hati yang digunakan untuk menyambutNya?
Anak kecil menyembah dengan benar, ‘anak besar’ yang seolah sudah menjadi orang alim sepertiku yang tak pernah meluputkan perayaan ekaristi mingguan, yang tak ragu untuk melayani Tuhan dalam acara-acara, yang tak pernah absen dalam menuliskan ‘Kabar Baik’ tapi nyatanya adalah orang yang kekanak-kanakan!
Aku menyesal atas kejadian hari ini tapi sekaligus bersyukur. Bersyukur karena aku jadi mengerti betapa sulitnya untuk menjadi seorang anak kecil tanpa harus kekanak-kanakan!
Mea culpa.. mea maxima culpa!
0 Komentar