Kabar Baik Hari Ini, 4 Februari 2017
Markus 6:30 – 34
Kemudian rasul-rasul itu kembali berkumpul dengan Yesus dan memberitahukan kepada-Nya semua yang mereka kerjakan dan ajarkan.
Lalu Ia berkata kepada mereka: “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!” Sebab memang begitu banyaknya orang yang datang dan yang pergi, sehingga makanpun mereka tidak sempat.
Maka berangkatlah mereka untuk mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi.
Tetapi pada waktu mereka bertolak banyak orang melihat mereka dan mengetahui tujuan mereka. Dengan mengambil jalan darat segeralah datang orang dari semua kota ke tempat itu sehingga mendahului mereka.
Ketika Yesus mendarat, Ia melihat sejumlah besar orang banyak, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala. Lalu mulailah Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka.
Renungan
Sebelum membahas lebih dalam tentang Kabar Baik hari ini, mari kita sadari apakah tugas utama Yesus diturunkan ke dunia ini?
Menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK) nomer 1066, tujuan Yesus diturunkan ke bumi ini ada dua, demi keselamatan dunia, dan demi kehormatan namaNya. Ia menyelamatkan kita dari dosa kekal dan sekaligus memuliakan namaNya sebagai Allah yang mencipta dan bertanggung jawab terhadap ciptaanNya. Sehingga, mengacu pada dua hal tersebut, tak heran jika dalam Kabar Baik hari ini, Yesus meski letih dan butuh beristirahat barang sejenak, memutuskan untuk melupakan keinginanNya itu dan memilih untuk mengajarkan banyak hal kepada orang-orang yang menurutnya bagai domba yang tak bergembala itu. Yesus menyatakan diri sebagai sosok yang konsisten kepada tujuan Ia diadakan.
Lalu bagaimana dengan sekarang?
Maksudnya?
Ya kejadian itu kan dulu, waktu Yesus masih ada di dunia, sekarang Dia sudah kembali ke surga. Akankah Ia juga masih melakukan tugasNya untuk melupakan keinginanNya dan memilih untuk bersama dengan kita?
Yup! Ia bahkan sudah menebus dan menyelamatkan kita dari dosa yang kekal dan kini…. kita berada di dalam pelukanNya!
Ah, masa iya? Aku kok nggak kerasa kalau dipeluk Dia??Memang tidak mudah untuk memaklumi dan mengenali keadaan bahwa kita ada di dalam pelukanNya semata karena eratnya pelukan itu, kita tak berjarak sama sekali dariNya.
Sama seperti pada suatu sore, ibu ingin membawa kita pergi ke tanah lapang untuk bermain bersama kawan lainnya. Ibu tahu di sekitar tanah lapang ada sekawanan soang yang gemar menyosor siapapun yang lewat dan ketika sosorannya itu mematuk, sakitnya minta ampun. Oleh karenanya, ibu menggendong kita. Mendekap erat di dadanya supaya kita terhindar dari sosoran dan segera bisa bermain di tanah lapang.
Pertanyaannya, ketika kita ada dalam pelukannya, dekapannya, akankah kita bisa melihat dan mengenali wajah ibu? Tentu tidak! Kita hanya bisa melihat daster batik yang ia kenakan karena kita tak berjarak darinya.
Nah, sama dengan pelukan Allah! Kamu dipeluk erat, kamu ada di dalam dekapanNya dan hal itu justru membuat kita tak bisa memandang wajahNya secara langsung sama sekali simply karena kita tak berjarak dariNya dan Ia memang tak membiarkan ada jarak sama sekali antara kamu denganNya.
Betul, Don! Makanya sesekali waktu aku ingin melonggarkan dekapan supaya aku bisa menggerakkan wajahku ke atas dan menatap wajahNya.
Jangan! Membiarkan adanya jarak antara kita denganNya itu bagai membiarkan seekor domba lemah tak bergembala seperti yang ditukas Markus di atas dan karena itu kita bisa diserobot setan lalu dijerumuskannya kepada dosa dan kematian kekal.
Jadi? Maklumi dan percayalah bahwa kita telah ada dalam dekapanNya, pada pelukanNya meski kamu tak bisa melihat wajahNya tapi kamu begitu dekat dengan degup jantungNya. Meski kamu terkadang merasakan banyak goncangan dalam hidup dan hal itu membuat kita bertanya adakah kita ini benar-benar dipelukNya? Adakah kita sejatinya ini punya gembala?
Sekali lagi percayalah!
Anggaplah goncangan itu seperti ibu yang tiba-tiba sadar hujan turun di tanah lapang lalu seketika ia menggendong kita, mendekap dan berlari cepat sehingga kita terguncang-guncang menuju ke rumah supaya kita tak kehujanan dan tak kena sosoran soang…
Ada ga ya yg tanya, kenapa Tuhan ga kasi payung atau topi aja waktu hujan biar bs tetap main? :D :D
Memang ga mudah untuk selalu percaya kita dalam dekapannya terutama guncangan yang di luar kebiasaan.
Tapi topi dan payung itu menarik.
Dalam konteks real, keduanya mungkin bisa diartikan sebagai teknologi dan tatanan pola hidup modern.
Kita kadang merasa ngeyel untuk mau dipeluk dan digendong Tuhan supaya selamat dari hujan dengan bilang bahwa kita sudah punya topi dan payung lalu sok yakin kalaupun hujan kita tak kan basah.
Mungkin kita memang tak basah tapi resiko hujan itu bisa juga berarti petir yang menyambar… gosong dong! Hehehehe…