• Skip to primary navigation
  • Skip to main content

Donny Verdian

superblogger indonesia

  • Depan
  • Tentang
  • Arsip Tulisan
  • Kontak

Kabar Baik Vol. 32/2017 – Ditolak di kampung sendiri? Cobalah jadi gubernur di tempat lain!

1 Februari 2017 1 Komentar

Kabar Baik Hari Ini, 1 Februari 2017

Markus 6:1 – 6
Kemudian Yesus berangkat dari situ dan tiba di tempat asal-Nya, sedang murid-murid-Nya mengikuti Dia.

Pada hari Sabat Ia mulai mengajar di rumah ibadat dan jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia dan mereka berkata: “Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya?

Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?” Lalu mereka kecewa dan menolak Dia.

Maka Yesus berkata kepada mereka: “Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya.”

Ia tidak dapat mengadakan satu mujizatpun di sana, kecuali menyembuhkan beberapa orang sakit dengan meletakkan tangan-Nya atas mereka.

Ia merasa heran atas ketidakpercayaan mereka. Lalu Yesus berjalan keliling dari desa ke desa sambil mengajar.

Renungan

Kejadian hari ini, seperti yang ditulis Markus, menarik. Yesus yang sudah mulai dikenal di sana-sini dengan mukjizat, pengajaranNya dan caraNya bersikap melawan kaum Farisi dan para ahli taurat justru tak mendapat penghormatan selayaknya di kampungNya sendiri.

Jemaat yang hadir dalam rumah ibadat tempat Yesus mengajar mempertanyakan darimana Ia mendapatkan hikmat kebijaksanaan. Mereka tak percaya pada apa yang telah diperbuat Yesus.

Kenapa? Karena mereka, para jemaat itu, mengukur Yesus dari siapa ibuNya, bapakNya, dan saudara serta saudariNya.

Hal ini sebenarnya bisa dicegah dan tak kan pernah terjadi andai saja Yesus memutuskan untuk tak perlu menjadi manusia cukup menampakkan sisi ke-Allah-anNya saja.

Kenapa demikian? Karena manusia bisa dan biasa diukur dari latar belakang keluarganya sedangkan Allah adalah sesuatu yang tak terukur ke-maha-anNya.

Lalu kenapa Yesus harus menjelma menjadi manusia? Katekismus Gereja Katolik (KGK) nomer 461 memberi alasan bahwa Yesus menjelma menjadi manusia itu supaya dengan demikian (Ia) dapat melaksanakan keselamatan kita. Hal ini sekaligus menjadi pujian Gereja terhadap madah yang dikutip oleh Santo Paulus saat menulis surat kepada umat di Filipi,

“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, tetapi telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:5-8)

Jadi Yesus tentu sudah paham dan memaklumi sebelum kenyataan yang Ia terima terjadi. Ia memahami bahwa itu adalah salah satu konsekuensi dari ketetapan BapaNya untuk mengirim Yesus dalam wujud manusia.

Lalu bagaimana menarik Kabar Baik hari ini dalam kehidupan kita sehari-hari?

Pernahkah kalian diukur bukan dari kebisaan dan kemampuan tapi dari siapa ayah dan ibu kita?

Tetanggaku saat tinggal di Indonesia dulu adalah seorang ahli bedah syaraf ternama. Kliennya bejibun banyaknya, saat praktek, parkiran mobil pasiennya meluas hingga kemana-mana bahkan pada suatu titik ia merasa harus membeli sepetak tanah di sebelah rumahnya hanya untuk membangun lahan parkir sehingga deretan mobil tak mempersempit jalan kampung di depan rumahnya.

Suatu hari menjelang peringatan Hari Kemerdekaan, ia membuka pintu rumah lebar-lebar untuk menerima para tetangga yang hendak memeriksakan sakit, apapun sakitnya secara cuma-cuma. Waktu itu layanan BPJS seperti yang sekarang belum ada.

Tapi anehnya, yang datang ke rumahnya amatlah sedikit padahal yang sakit, terutama para senior yang tinggal di sekitar situ, cukup banyak.

Setelah kucari tahu penyebabnya, salah seorang tetangga bilang bahwa mereka tak sudi diobati oleh anak seorang mantan anggota PKI!

“Kamu masih muda, Don! Waktu peristiwa gestapu kamu belum lahir! PKI itu jahat! Jangan-jangan nanti kami dikasih obat suntik mati, apa kamu bisa menanggungnya?” demikian jawab salah satu dari yang menolak ketika kutanya, “Kenapa ia nggak mau diobati?”

Stigma ‘anak PKI’ seperti ini tentu bukan yang pertama dan bukan yang paling parah yang pernah kalian dengar dan sesuatu yang menakjubkan (dan menyedihkan) bahwa hal itu masih awam terjadi bahkan setelah lebih dari setengah abad peristiwa G/30-S terjadi.

Dokter yang ‘anak PKI’ itu ditolak di kampungnya sendiri padahal ia begitu dikenal sebagai dokter yang cerdas cendekia di luaran.

Pelajaran yang kudapat dari ingatan kejadian digabungkan dengan Kabar Baik hari ini membuatku berpikir bahwa penolakan itu bukan cerita baru. Bahkan sejak Yesus pun (dan kuyakin sebelum itu juga sudah terjadi) hal itu sudah ada.

Jadi kalau kamu ditolak di kampung sendiri, di lingkunganmu sendiri, terimalah kenyataan itu. Semata bukan karena supaya kamu tampak santun dan tetap cool, tapi lebih karena untuk menunjukkan bahwa kamu beda kelas dengan mereka.

Mereka, para penolak itu, sejatinya adalah pribadi-pribadi yang rendahan dan bodoh yang tanpa hak sudah mengukur diri kita terhadap masa lalu dan latar belakang kita seperti Yesus yang ditolak warga kampungNya sendiri karena mereka mengukur Yesus terhadap saudara-saudariNya, ibuNya, bapakNya…. padahal mereka tak tahu kuasa yang diberikan Bapa kepadaNya.

Jadi?
Ditolak di kampung sendiri? Cobalah sesekali jadi calon gubernur di propinsi lain. Eh!

Sebarluaskan!

Ditempatkan di bawah: Kabar Baik Ditag dengan:Kabar Baik

Tentang Donny Verdian

DV, Superblogger Indonesia. Ngeblog sejak Februari 2002, bertahan hingga kini. Baca profil selengkapnya di sini

Reader Interactions

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

  • Depan
  • Novena Tiga Salam Maria
  • Arsip Tulisan
  • Pengakuan
  • Privacy Policy
  • Kontak
This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish.Accept Reject Read More
Privacy & Cookies Policy

Privacy Overview

This website uses cookies to improve your experience while you navigate through the website. Out of these cookies, the cookies that are categorized as necessary are stored on your browser as they are essential for the working of basic functionalities of the website. We also use third-party cookies that help us analyze and understand how you use this website. These cookies will be stored in your browser only with your consent. You also have the option to opt-out of these cookies. But opting out of some of these cookies may have an effect on your browsing experience.
Necessary
Always Enabled
Necessary cookies are absolutely essential for the website to function properly. This category only includes cookies that ensures basic functionalities and security features of the website. These cookies do not store any personal information.
Non-necessary
Any cookies that may not be particularly necessary for the website to function and is used specifically to collect user personal data via analytics, ads, other embedded contents are termed as non-necessary cookies. It is mandatory to procure user consent prior to running these cookies on your website.
SAVE & ACCEPT