Kabar Baik VOL. 313/2016 ? Pamrih

8 Nov 2016 | Kabar Baik

Kabar Baik hari ini, 8 November 2016

Lukas 17:7 – 10
“Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan!

Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum.

Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?

Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.”

Renungan

Kalian sebaiknya jangan meniruku karena saat harus memilih posisi, aku akan memilih menjadi hamba Allah, bukannya anak Allah.

Kenapa?
Bagiku, selaras dengan semangat perendahan diri kita di hadapan Allah, bukankah hamba itu lebih rendah dari anak?

Perkara nanti akhirnya aku diangkat jadi anakNya (dan aku akan amat sangat bersyukur karena itu), itu hak prerogatif Tuhan, bukan hak orang lain untuk menilai karena orang lain toh tak tahu dosa-dosa apa yang kusembunyikan dari mereka hanya supaya aku mendapatkan panggilan sebagai anak Allah.

Nah, salah satu hal yang ‘kusuka’ dengan menempatkan diri sebagai hamba Allah adalah, kita pada posisi yang penuh dengan tantangan dan bukankah iman itu lebih baik terus-menerus diuji supaya makin besar dan robust, bukan sebaliknya tak mau diuji karena takut mengecil lantas menghilang?

Dan tantangan itu adalah pamrih.
Hamba atau pekerja melakukan segalanya dengan pamrih. Kita bekerja bagi perusahaan orang lain, bangun pagi-pagi, kejar-kejaran dengan bus dan kereta, macet-macetan dengan mobil-mobil sesama kita sejak pagi adalah demi digaji demi diupahi.

Salahkah? Ah, jangan munafik! Memangnya kamu mau kerja tapi nggak digaji?

Tapi bekerja di ladang Tuhan, menjadi hambaNya, kita tidak boleh pamrih.

Berat amat?
Benar!
Benar-benar berat!

Bayangkan, kita berbuat baik bagi sesama sesuai ajaranNya tapi dilarang pamrih. Kita meluangkan waktu untuk pelayanan dan membantu gereja, eh, dilarang pamrih pula.

Tapi ada cara supaya kita belajar untuk tidak berpamrih terhadapNya. Yaitu dengan berpikir bahwa apa yang kita lakukan dalam perbuatan-perbuatan baik itu tak lebih besar dan tak ada apa-apanya dibandingkan dengan segala kebaikan yang telah diberikan Tuhan kepada kita.

Dalam analogi pekerjaan di dunia, Tuhan adalah perusahaan yang sudah membayar dimuka upah kita. Dua ribu tahun silam, Ia mengorbankan AnakNya untuk membayar keselamatan kita dengan tubuh dan darahNya.

Jadi, masih mau pamrih?
Masih mau melayani Tuhan di gereja dan persekutuan-persekutuan doa hanya supaya rejeki tokomu meningkat berlipat ganda? Supaya umurmu panjang? Dan supaya-supaya lainnya yang hanya semakin menelanjangi keegoisanmu?

Tapi memang enak jadi Anak Allah, Don! Kita nggak pamrih, tapi kita disayang olehNya…Jadi seperti anak-anak yang merengek, kita juga boleh merengek kepadaNya.

Really? Kamu Anak Allah? Kalau kamu menganggap dirimu sebagai Anak Allah, kamu justru harus lebih nggak pamrih dibandingkan hamba yang pamrih karena Anak Allah dulu mati disalib dan nggak mikir pamrih sama sekali dan nggak pakai merengek-rengek segala karena Ia menerima cawan derita yang disodorkan Bapa kepadaNya.

Kamu?

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.