KABAR BAIK HARI INI, 30 JANUARI 2016
Markus 4:35 – 41
Pada hari itu, waktu hari sudah petang, Yesus berkata kepada mereka: “Marilah kita bertolak ke seberang.”
Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia.
Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air.
Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?”
Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!” Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali.
Lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”
Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?”
RENUNGAN
Apakah Tuhan memaafkan kita karena rasa takut yang kita miliki?
Pagi hari 27 Mei 2006 adalah saat yang menakutkan bagiku. Sebuah gempa yang meluluhlantakkan Jogja dan daerah-daerah sekitarnya terjadi saat hari masih pagi. 5700 orang meninggal dan puluhan ribu lainnya terluka.
Dua jam setelah kejadian, isu tsunami dari Laut Selatan membuat bergidik dan mau-tak-mau aku ikut lari tunggang langgang?
Rasa takut, rasa tak aman mendera cukup lama meski akhirnya berangsur-angsur terkikis seiring berjalannya waktu.
Ada banyak hal yang bisa kita petik dalam Kabar Baik?hari ini.
Tapi yang kuyakin tak terlalu banyak dibicarakan dan justru ingin kuangkat adalah sejauh mana kita punya titik peka terhadap rasa takut. Maksudnya begini, seperti contoh di atas, sebelum 27 Mei 2006, bukannya aku tak pernah mengalami gempa-gempa sebelumnya.
Tapi ?gempa-gempa kecil? itu kuhadapi dengan biasa, paling hanya keluar sebentar dari ruangan, lalu ketika goyangan reda, aku masuk lagi ke dalam dan melanjutkan beraktivitas.
Gempa 27 Mei 2006 itu adalah gempa yang menyentuh titik kepekaanku terhadap rasa takut yang lalu menjadi akut.
Sama seperti kisah para murid Yesus dalam Kabar Baik hari ini.
Perlu kita ingat, beberapa murid Yesus berlatar belakang nelayan yang tentu sudah terbiasa menghadapi terjangan badai topan.
Jadi ketika Yesus mengajak mereka berlayar ke seberang padahal hari sudah gelap, tentu mereka tahu resikonya. Berlayar ke seberang sudah pasti akan melalui bagian laut/danau yang terdalam. Apalagi pelayaran diadakan tengah malam dengan angin lebih kencang daripada angin siang. Tapi para murid toh menjalankannya karena mereka percaya dengan pengalaman-pengalaman berperahu mereka terdahulu.
Tapi sampailah mereka pada kejadian dimana badai topan menghempas begitu keras dan titik peka mereka terhadap rasa takut tampak dalam frase ?sehingga perahu itu mulai penuh dengan air.?
Rupanya mereka sadar, sebesar apapun pengalaman mereka menghadapi lautan, air yang memenuhi perahu adalah sesuatu yang sangat menakutkan karena akan berujung pada tenggelamnya perahu dan terancamnya jiwa mereka malam itu.
Di titik itu, mereka membangunkan Yesus.?Lalu seperti yang kita tahu, angin badai diredakanNya begitu saja.
Dari kisah gempa dan Kabar Baik hari ini, menurutku Yesus mengijinkan kita untuk merasa takut karena takut adalah bagian dari kemanusiaan kita.
Tapi Yesus meminta kita untuk tidak begitu takut (Simak pada bagian Kabar Baik di atas, “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”) dan cara untuk mengatasi rasa takut adalah menimbulkan rasa percaya.
Orang-orang yang tidak percaya Tuhan, ketika menyentuh titik kepekaan rasa takut, mereka memilih untuk menjadi lebih takut lagi atau mencari solusi-solusi yang sifatnya menghibur diri dan menutupi rasa takutnya untuk sementara waktu atau? bunuh diri.
Kita percaya pada Tuhan. Ketika mencapai titik peka rasa takut, kita punya Tuhan yang sanggup menolong. Kita menyapaNya lewat doa memohon pertolongan dan dari situ timbul rasa percaya untuk bangkit menghadapi keterpurukan.
Bagaimana kalau kita lantas takut lagi?
Manusiawi, tapi setidaknya dari pengalaman sebelumnya kita bisa lebih menaruh titik peka rasa takut itu makin jauh artinya, kita akan jadi manusia yang semakin kokoh.
Sama seperti para murid.?Selepas kejadian itu, bahkan setelah mereka tahu siapakah Yesus sebenarnya, bukan berarti mereka bebas dari rasa takut.
Coba kutanya, siapa yang melarikan diri saat Yesus ditangkap di Getsmani?
Siapa yang saking ketakutannya sampai menyangkal tiga kali bahwa ia mengenal Yesus?
Siapa pula yang tak berani datang ke salib Yesus saat Ia dihukum mati di Kalvari? Tercatat hanya Bunda Maria, Maria Magdalena dan Yohanes, murid yang dikasihiNya.
Tapi apakah hilang rasa kasih Allah pada mereka yang tetap ketakutan? Tidak!
Jadi, jangan takut untuk memiliki rasa takut. Tapi takutlah ketika kamu tak bisa menemukan Wajah Yesus di saat puncak ketakutanmu tiba karena hanya Dia yang bisa membuatmu kembali percaya…
0 Komentar