Kabar Baik VOL. 270/2016 ? Musuh kita dan keberpihakan mereka

26 Sep 2016 | Kabar Baik

Kabar Baik hari ini, 26 September 2016

Lukas 9:46 – 50
Maka timbullah pertengkaran di antara murid-murid Yesus tentang siapakah yang terbesar di antara mereka.

Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka. Karena itu Ia mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di samping-Nya, dan berkata kepada mereka: “Barangsiapa menyambut anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku; dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia, yang mengutus Aku. Karena yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar.”

Yohanes berkata: “Guru, kami lihat seorang mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.”

Yesus berkata kepadanya: “Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu.”

Renungan

Yesus memberi petunjuk pada Yohanes, “Jika seseorang tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.”

Beruntung Ia tak mengatakan, “Jika seseorang tak sejalan dengan kita, ia musuh kita!”

Lho apa bedanya? Bedanya? Jauh!

Mari kita analisa…

Petunjuk “Jika seseorang tak sejalan dengan kita, ia musuh kita” memberi fokus pada perilaku orang lain. Adakah mereka sejalan atau tak sejalan. Dalam bahasa sekarang kita kenal sebagai ‘kepo’. Kita mengamati orang lain seolah kita adalah yang paling benar dan mereka cenderung pasti salah.

Apa yang dikatakan Yesus, “Jika seseorang tidak melawan kita, ia ada di pihak kita” memberikan fokus pada apa yang kita kerjakan, bukan pada orang lain. Kita baru bereaksi ketika kita dilawan oleh mereka. Jika tidak? Ia ada di pihak kita tak peduli apapun agama, keyakinan dan suku bangsanya.

Tapi bagaimana jika lantas seseorang melawan kita? Apa reaksi kita? Sudah pasti ia tidak ada di pihak kita.

Apakah berarti mereka adalah musuh kita? Tidak! Tapi yang pasti mereka memusuhi kita, karena telah melawan kita. Lalu bagaimana? Kita tetap harus mengasihi dan mendoakan siapa saja termasuk orang yang memusuhi kita. Itu sudah jelas dalam ajaranNya.

Sekitar dua bulan sebelum meninggal, kira-kira sesudah Natal 2015 silam, aku menelpon Mama seperti biasa. Mama tinggal di rumah tempat aku dilahirkan dan bertumbuh, sebuah kampung bersahaja di tengah kota Klaten yang amat guyub dan erat tali persaudaraan antar tetangganya meski berbeda-beda agama dan ras.

Aku ingat dulu, setiap Lebaran, kami yang non muslim selalu mengunjungi tetangga yang muslim untuk bersilaturahmi dan mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, demikian juga sebaliknya, saat Natal tiba, mereka yang non-kristiani, mengunjungi rumah kami untuk mengucapkan Selamat Natal. Indah nan teduh…

Tapi Natal kemarin yang jadi Natal terakhir Mamaku, jumlah tetangga yang berkunjung jadi lebih sedikit entah kenapa.

“Mungkin sibuk, Ma…” ujarku menghibur.
“Hmmm, mungkin. Lha biasane berurut-urutan eh lha kok sekarang cuma Bu Kuncoro dan Bu Parno aja yang datang ke rumah.”

Aku ngelangut mendengarnya waktu itu dan sedih mengingatnya saat ini. Tak hanya karena mengingat Mamaku telah pergi untuk selamanya Maret 2016 silam, tapi juga karena membayangkan keindahan dan keteduhan dalam hormat-menghormati yang terjadi di kampung dulu mulai terkikis entah karena apa.

Ada yang bilang mereka memilih untuk tidak mendatangi kami karena dilarang oleh ajaran yang mereka anut. Tapi kalau memang benar demikian, kenapa baru sekarang? Akhirnya sekali lagi, ketimbang menuduh dan menuding mending meletakkannya ke dalam sebuah ’embuh’, ke dalam sebuah ‘entah’.

Tapi yang lantas tetap aku syukuri selain masih ada orang-orang non-kristiani yang berduyun-duyung datang untuk mengucapi Selamat Natal, adikku Chitra yang kini tinggal di rumah warisan bersama suami dan anaknya, saat Lebaran tiba masih tetap berkunjung ke rumah tetangga untuk bersilaturahmi.

Dan aku bangga pada inisiatif yang dilakukan adikku itu. Terlepas saat Natal jumlah kunjungan orang ke rumah menyusut, ia tetap menjalankan apa yang seharusnya dijalankan. Bukan mengasihi musuh karena ia tak menganggap orang lain adalah musuh, tapi lebih pada mencoba untuk tetap mengasihi siapapun terlepas apakah sesiapa itu melawan atau tak melawan, di pihak atau tak sepihak dengan kita.

Karena pada akhirnya kebencian, kedengkian, dan kotak-mengkotakkan itu hanya bisa dileburkan oleh cinta yang dibawa oleh Sang Kasih.

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.