Kabar Baik hari ini, 24 September 2016
Lukas 9:43 – 45
Maka takjublah semua orang itu karena kebesaran Allah. (9-43b) Ketika semua orang itu masih heran karena segala yang diperbuat-Nya itu, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya:
“Dengarlah dan camkanlah segala perkataan-Ku ini: Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia.”
Mereka tidak mengerti perkataan itu, sebab artinya tersembunyi bagi mereka, sehingga mereka tidak dapat memahaminya. Dan mereka tidak berani menanyakan arti perkataan itu kepada-Nya.
Renungan
Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia.
Dua ribu tahun yang lalu, Yesus mengatakan itu sebagai nubuatan tentang bagaimana Ia akan mengakhiri hidup. Ditawan, didera, disalib hingga mati oleh manusia.
Bagaimana dengan sekarang? Apakah Anak Manusia masih ada di dalam tangan manusia atau sudahkah manusia berada di dalam tanganNya?
Banyak kisah yang terjadi di sekitar kita seolah meneguhkan bahwa Yesus memang masih di tangan manusia. Manusia memenjarakan Yesus, manusia memperlakukan Yesus sebagai robot, sebagai justifikator atas tindakan-tindakannya yang seolah-olah amat ke-yesus-an meski sebenarnya justru ‘nggak Yesus banget’.
Seorang kawan dulu bercerita kakaknya depresi karena harus selalu menyumbang sepuluh persen dari penghasilannya setiap bulan ke gerejanya. “Kalau enggak, dia malu, tiap kali kotbah, imamnya menyindir melulu…”
“Gimana nyindirnya?”
“Ya, dia bilang bahwa Yesus sudah berkorban untuk kita sekian banyak kenapa kita tak mau memberikan sepuluh persen dari penghasilan kita untukNya?”
Bagiku, si imam itu adalah contoh orang yang menggunakan Yesus sebagai robot, sebagai justifikatornya untuk mengeruk duit dari what-so-called umatnya, jemaatnya.
Tapi renungan ini tak berhenti di sini. ?Aku lalu bertanya ke kawanku lagi. “Kalau misalnya kakakmu bisa bebas dari kewajiban itu, akan dikemanakan uangnya?”
Dengan ringan, kawanku tadi bilang, “Ya untuk nonton lah, untuk bersenang-senang dan hiburan! Kan di Perjanjian Baru tak disebutkan bahwa kita harus ngasih perpuluhan! Di Katolik juga nggak ada kewajiban seperti itu yang penting memberi serelanya seperti seorang janda miskin.”
Bagiku, kawanku tadi pun tak beda jauh dari si imam yang kerap menyindir kakaknya. Ia juga memperlakukan Yesus sebagai robot, sebagai pembenar atas apa yang jadi keyakinannya. Ia berpikir seolah-olah karena Yesus yang dalam anggapannya membela pemikirannya, maka ia pasti dibenarkan juga.
Lantas bagaiman yang paling benar??Yang paling benar adalah yang tak memikirkan mana yang paling benar.
Ada dua hal yang perlu diteguhkan. Pertama, penyadaran akan hakikat bahwa kita ini milik Tuhan, kedua usaha untuk bebas dari kelekatan nafsu duniawi.
Semakin kita dikuasai nafsu, semakin erat kita mencengkeram Yesus untuk dijadikan sebagai robot, justifikator demi tercapainya ambisi-ambisi duniawi kita. Semakin kita melepaskan diri dari nafsu, semakin kita menyediakan diri untuk berada dalam genggamanNya.
Hidup sejatinya tak pernah abu-abu, kamu hanya bisa memilih untuk bisa jauh atau dekat dari Tuhan, dari gelap terhadap terang, dari mencengkeram Tuhan atau menyerah kepadaNya untuk digenggam.
0 Komentar