Kabar Baik hari ini, 18 September 2016
Lukas 16:10 – 13
“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.
Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya?
Dan jikalau kamu tidak setia dalam harta orang lain, siapakah yang akan menyerahkan hartamu sendiri kepadamu?
Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”
Renungan
Banyak orang mengambil kesimpulan terburu-buru setelah membaca Kabar Baik hari ini, terutama ayat terakhir, sebagai “Kamu tak boleh menghamba pada uang kalau kamu mau ikut Tuhan.”
Benarkah? Tentu benar tapi hal itu terlalu sempit mengingat kompleksitas hidup yang kian menggila sekarang-sekarang ini.
Dengan mudah seseorang bisa bilang bahwa setelah ikut Tuhan, ia tak lagi perhitungan terhadap uang. “Aku udah pasrah sama Tuhan, Don! Untung perusahaan semuanya sudah kuserahkan ke panti sosial, aku hidup dari bunga bank saja.”
Hebat? Tentu. Ia pengusaha produsen makanan kelas menengah di Indonesia.
Namanya menjulang sebagai seorang dermawan. Tapi tunggu dulu… mendengar cerita dari masyarakat yang hidup di sekitar pabrik miliknya, jangan-jangan pikiranmu bisa berubah sepertiku dulu.
Perusahaan itu membuang limbah berbahaya di sungai yang airnya banyak digunakan masyarakat sekitar.
Berkali-kali perwakilan masyarakat mencoba menegur perusahaan tapi mereka selalu gagal karena perusahaan tak jemu-jemu menunjukkan surat bahwa cara pembuangan limbahnya sudah memenuhi syarat (meski padahal surat itu didapat dengan cara menyuap badan pemberi lisensi keamanan limbah).
Bagiku, pengusaha itu adalah contoh orang yang mencoba untuk menghamba pada dua pihak, Tuhan dan Mamon.
Soal seperti ini tak hanya terjadi di level pengusaha saja. Bagi pekerja IT, misalnya, tantangan untuk tidak menghamba pada Mamon adalah saat kita tidak nyolong code/script dari developer lain yang jelas-jelas sudah melarang orang untuk meng-copy hasil kerjanya. Karena deadline yang makin ketat dan tak mau bekerja keras, alih-alih mengerjakan dari nol kita terbiasa menyalin begitu saja tanpa ijin. Ini adalah contoh dari penghambaan kita kepada Mamon.
Persoalan seperti ini bukan hanya terjadi di soal ‘duniawi’, dalam dunia-dunia yang berbau religi, pun terjadi.
Beberapa bulan lalu sebuah komunitas meminta tolong kepadaku untuk membetulkan laptop yang biasa dipakai untuk menyimpan slide-slide lagu untuk digunakan pada acara-acara doa.
Ketika kubuka, aku tertarik pada sebuah software yang aku tahu lumayan mahal. Berbekal ‘kekepoanku’ aku tanya ke pengurus yang memintaku tolong itu. “Ini dapat software bagus beli dimana?”
Ia tersenyum. “Hehehe, itu bajakan, Don!” Ia lalu menyebut satu tempat di Jakarta yang memang dari dulu terkenal sebagai surga software bajakan.
Aku lantas mencoba menjadi sok suci, “Itu kan gak baik. Kamu ngebajak software orang itu sama saja nggak menghargai pembuatnya..” Alih-alih ngaku, ia malah berujar, “Ah, gak papa. Duit untuk beli softwarenya bisa kepake untuk nyumbang orang miskin dan terlantar.”
Aku manggut-manggut. Bagiku inipun juga termasuk salah satu contoh orang yang menghamba pada Tuhan dan Mamon.
Lho, Don! Ini bukan perkara Mamon meski ada duitnya, kan kecil!?Justru itu! mengurus hal-hal kecil saja tak becus dan jauh dari benar bagaimana mungkin kita mampu untuk bekerja di perkara-perkara besar?
0 Komentar