Kabar Baik VOL. 261/2016 – Tanah subur, tanah tandus

18 Sep 2016 | Kabar Baik

Kabar Baik hari ini, 17 September 2016

Lukas 8: 4 – 15
Ketika orang banyak berbondong-bondong datang, yaitu orang-orang yang dari kota ke kota menggabungkan diri pada Yesus, berkatalah Ia dalam suatu perumpamaan:

“Adalah seorang penabur keluar untuk menaburkan benihnya. Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu diinjak orang dan burung-burung di udara memakannya sampai habis.

Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, dan setelah tumbuh ia menjadi kering karena tidak mendapat air.

Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, dan semak itu tumbuh bersama-sama dan menghimpitnya sampai mati.

Dan sebagian jatuh di tanah yang baik, dan setelah tumbuh berbuah seratus kali lipat.” Setelah berkata demikian Yesus berseru: “Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!”

Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya, apa maksud perumpamaan itu.

Lalu Ia menjawab: “Kepadamu diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang-orang lain hal itu diberitakan dalam perumpamaan, supaya sekalipun memandang, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti.

Inilah arti perumpamaan itu: Benih itu ialah firman Allah.

Yang jatuh di pinggir jalan itu ialah orang yang telah mendengarnya; kemudian datanglah Iblis lalu mengambil firman itu dari dalam hati mereka, supaya mereka jangan percaya dan diselamatkan.

Yang jatuh di tanah yang berbatu-batu itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menerimanya dengan gembira, tetapi mereka itu tidak berakar, mereka percaya sebentar saja dan dalam masa pencobaan mereka murtad.

Yang jatuh dalam semak duri ialah orang yang telah mendengar firman itu, dan dalam pertumbuhan selanjutnya mereka terhimpit oleh kekuatiran dan kekayaan dan kenikmatan hidup, sehingga mereka tidak menghasilkan buah yang matang.

Yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan.”

Renungan

Setelah Antartika, Australia adalah benua terkering di seluruh dunia. Tanahnya berupa batuan padas. Dibandingkan dengan Indonesia yang subur, Australia bisa dibilang tak ada apa-apanya.

Tapi toh Pemerintah menggalakkan penghijauan secara gila-gilaan. Bukan saja hutan yang diperhatikan, bahkan satu-satuan pohon yang memiliki ukuran besar dan tinggi serta usia tertentu tak bisa sembarang ditebang meski ia tumbuh di lahan milik kita sekalipun. Nekat? Denda dalam jumlah besar menantimu.

Kabar Baik hari ini bicara soal hati manusia yang dianalogikan Yesus sebagai tanah. Hal itu lantas dikaitkan oleh Orang Nazareth tersebut kepada soal benih iman yang tumbuh di dalam hati dan dilukiskan sebagai benih yang disebar penabur di atas tanah itu.

Benih yang disebar dan jatuh di pinggir jalan, diinjak orang dan burung-burung memakannya sampai habis.

Benih yang disebar di tanah yang bersemak duri, akhirnya mati terhimpit semak yang tumbuh bersama benih itu.

Barulah ada sebagian benih lain yang tumbuh di tanah yang baik dan setelah tumbuh berbuah seratus kali lipat.

Bagaimana tanah hati kita?
Bagaimana kalau ternyata tanah kita itu tidak subur padahal kita amat ingin supaya benih tumbuh?

Akankah kita selalu punya tanah subur meski kita telah rajin ke Gereja dan tak pernah absen berdoa?

Ataukah kita memiliki tanah yang tandus dan keras bak pualam padahal kita telah beragama dengan baik?

Katakanlah tanah kita subur makmur, kalau ia tak bisa ditanami benih Tuhan entah karena dimakan burung atau diranggas semak, mana ada artinya?

Tak ada seorang pun bisa memastikan tanah hatinya layak dan pasti bisa ditumbuhi benih iman. Adalah lebih penting bagi kita untuk menyediakan tanah hati seutuhnya dan sebaik-baiknya lalu mempersilakan Tuhan untuk membuatnya sempurna sehingga layak untuk ditanami benihNya.

Seperti tanah Australia. Meski tandus, tapi pemerintah dan kami, orang-orang yang tinggal di dalamnya mengusahakan yang terbaik dari ketandusan tanah kami sehingga ia bisa ditanami dan menghasilkan.

Jadi? Akui dengan segala kerendahan diri bahwa meski mungkin tanah kita subur tapi kita tak mampu untuk menanam benih-benih Allah hingga Ia memampukan dengan kekuatanNya sendiri.

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.