Kabar Baik hari ini, 4 September 2016
Lukas 14: 25 – 33
Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka:
“Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.
Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.
Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?
Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya.
Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang?
Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian.
Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.
Renungan
Hari ini diperingati sebagai Hari Ayah/Father’s Day di Australia dan aku tertarik untuk membawa permenungan Kabar Baik ini ke dalam dunia ‘ayah’, dunia insan multidimensi. Ia tak hanya jadi anak lelaki orang tuanya, ia juga jadi suami dan bapak bagi anak-anak istrinya.
Tapi sebelum masuk ke situ aku tertarik untuk membahas hal paling kontroversial dalam Kabar Baik hari ini yaitu, kenapa Yesus seolah membawa perpecahan dalam keluarga?
Kok bisa? Coba, Don… Tengok bagian dimana Ia berkata seolah seorang pengikutNya haruslah membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anak, dan pokoknya semua bahkan… bahkan nyawa sendiri pun harus dibencinya?!
Ini Tuhanmu, Don? Tuhan kok nggak waras gitu?!??!
Oh yang itu? Santai, Boss…
Yang Yesus mau ungkap itu sebenarnya sederhana, tapi untuk menyampaikan satu kesederhanaan Ia membawa contoh paling ekstrim karena dunia yang kita tinggali ini kerap membuat sesuatu yang sederhana menjadi super kompleks.
Yesus hanya mau pengikut yang total, bukan pengikut suam-suam kuku. Pengikut yang total adalah pengikut yang mengerti bahwa kuasaNya lebih besar dari apapun termasuk kuasa dan kasih yang ditunjukkan seorang istri, anak, saudara, gebetan, selingkuhan, bahkan ayah serta ibu!
Dan bukankah itu hal yang lumrah?
Demikian juga menjadi seorang ayah. Ia dituntut total untuk mencintai anak-anaknya yang adalah titipan dan anugerah dariNya.
Pernikahan Katolik adalah pernikahan yang suci, diresmikan dan dipersatukan sendiri oleh Allah. Oleh karenanya, buah-buah keturunan yang hadir dari pernikahan itu tentu adalah buah yang suci pula.
Setiap ayah adalah kisah heroik bagi anak-anaknya. Meski ada banyak ayah yang kurang ajar dan cenderung bajingan, tapi ayah sejatinya tetap ayah. Pada titik tertentu, sebelum menjadi bajingan, mereka tetaplah pahlawan.
Menjadi ayah adalah memikul salib dan mengikutiNya, mengikuti Yesus. Kita meneladani tak hanya setiaNya, tapi juga kegigihannya menerima luka, pedih dan perih sebagai sebuah pengorbanan yang tak terperi.
Menjadi ayah adalah melepaskan diri dari segala miliknya karena setelah ia dinyatakan menjadi ayah, hidupnya lepas dan tak ada lagi. Sejak saat itu, hidupnya adalah hidup anak-anaknya hingga semati-matinya ia nanti pada akhirnya.
Selamat hari ayah, Ayah!
0 Komentar