Kabar Baik Vol. 23/2017 – Menghujat Roh Kudus

23 Jan 2017 | Kabar Baik

Kabar Baik Hari Ini, 23 Januari 2017

Markus 3:22 – 30
Dan ahli-ahli Taurat yang datang dari Yerusalem berkata: “Ia kerasukan Beelzebul,” dan: “Dengan penghulu setan Ia mengusir setan.”

Yesus memanggil mereka, lalu berkata kepada mereka dalam perumpamaan: “Bagaimana Iblis dapat mengusir Iblis?

Kalau suatu kerajaan terpecah-pecah, kerajaan itu tidak dapat bertahan, dan jika suatu rumah tangga terpecah-pecah, rumah tangga itu tidak dapat bertahan.

Demikianlah juga kalau Iblis berontak melawan dirinya sendiri dan kalau ia terbagi-bagi, ia tidak dapat bertahan, melainkan sudahlah tiba kesudahannya.

Tetapi tidak seorangpun dapat memasuki rumah seorang yang kuat untuk merampas harta bendanya apabila tidak diikatnya dahulu orang kuat itu. Sesudah itu barulah dapat ia merampok rumah itu.

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya semua dosa dan hujat anak-anak manusia akan diampuni, ya, semua hujat yang mereka ucapkan.

Tetapi apabila seorang menghujat Roh Kudus, ia tidak mendapat ampun selama-lamanya, melainkan bersalah karena berbuat dosa kekal.”

Ia berkata demikian karena mereka katakan bahwa Ia kerasukan roh jahat.

Renungan

Salah satu hal tersulit untuk dijawab adalah ketika ada seorang bertanya, “Apakah yang dimaksud dengan dosa menghujat Roh Kudus itu? Bukankah setiap dosa itu menjauhkan kita dari Allah?”

Seperti kita baca dalam Kabar Baik hari ini, Yesus sendiri menyebutkan bahwa jenis dosa yang satu itu, odsa menghujat Roh Kudus, adalah dosa yang kekal, dosa yang tak dapat diampuni untuk selama-lamanya.

Sebagai seorang Katolik yang mencoba untuk terus-menerus menjadi baik, tentu aku (dan kalian) harus percaya dan memperhatikan hal tersebut.

Hal tentang jenis kedosaan ini sebenarnya dijelaskan secara lebih rinci dalam Katekismus Gereja Katolik 1864 yang berbunyi,?Tetapi apabila seorang menghujat Roh Kudus?, ia tidak mendapat ampun selama-lamanya, tetapi bersalah karena berbuat dosa kekal? (Mrk 3:29). Kerahiman Allah tidak mengenal batas; tetapi siapa yang dengan sengaja tidak bersedia menerima kerahiman Allah melalui penyesalan, ia menolak pengampunan dosa-dosanya dan keselamatan yang ditawarkan oleh Roh Kudus. Ketegaran hati semacam itu dapat menyebabkan sikap yang tidak bersedia bertobat sampai pada saat kematian dan dapat menyebabkan kemusnahan abadi.

Dari paparan di atas, penjelasan yang paling mudah, setidaknya menurutku, begini, semua dosa bisa diampuni karena Yesus telah menebusnya tapi justru perasaan yang tidak percaya atau tidak mau percaya pada karya penyelamatan Allah inilah yang memicu pada penghujatan Roh Kudus.

Sikap tak percaya terhadap karya penyelamatan Allah dalam bentuk penolakan keras mungkin mudah untuk ditengarai, tapi sikap tak percaya yang hadir dalam bentuk perasaan ‘terlalu bersalah’ itu justru sulit untuk dikenali.

Aku selalu tertarik pada perbandingan Yudas dan Petrus dan kali ini, lagi-lagi aku membawanya lagi ke sini. Petrus, jika tidak bertobat setelah penyangkalannya terhadap Yesus barangkali akan bernasib sama seperti Yudas. Tapi ia ‘tahu diri’. Ia tahu dirinya lemah tapi ia juga tahu diriNya pasti akan memberikan pengampunan kalau Petrus menunjukkan penyesalan serta pertobatan. Ia pun kembali ke kawanan para rasul dan melayani Allah hingga hari kematiannya, itulah wujud rasa sesal dan tobat Petrus.

Yudas awalnya sama seperti Petrus.
Kalau Petrus menyangkal, Yudas menjual Yesus dengan kepingan uang. Sama-sama buruknya, sama-sama menjijikkannya karena keduanya adalah dosa. Tapi yang lantas membedakannya dari Petrus adalah, Yudas ‘tak tahu diri’ karena meski ia tahu dirinya lemah tapi ia tak tahu, tak mau tahu dan tak percaya bahwa diriNya pasti akan memberikan pengampunan sebesar apapun salahnya justru karena ia merasa terlalu bersalah sehingga bahkan untuk menyesal dan bertobat pun ia merasa tak pantas.

Yudas akhirnya tak hanya menjual Yesus tapi ia juga ‘menggadaikan’ pengampunan yang ditawarkanNya itu pada seutas tambang yang dikaitkan di ranting kuat sebuah pohon lalu Yudas menjeratkan lehernya ke sana dan mengayunkan tubuhnya sampai mati. Ia bunuh diri dan kematiannya itu adalah wujud penghujatan terhadap Roh Kudus. Ia mati dengan kekal, musnah secara abadi!

Bagaimana dengan masa kini?
Tak perlu kita mencari contoh ke kanan dan ke kiri tentang siapa yang telah menghujat dan siapa yang tidak. Lebih penting bagi kita untuk bertindak seperti Petrus. Kita harus tahu diri. Tahu bahwa diri sendiri ini lemah dan banyak dosa jadi lebih baik mengusahakan untuk memperbaiki diri ketimbang kepo dan mencari contoh di sekeliling, tahu bahwa diriNya itu Maha Rahim yang mampu menguatkan dan mengampuni segala jenis dosa selama kita mau menyesal dan bertobat, kecuali dosa yang disebabkan karena ketidaktahuan dan ke-tidak-mau-tahu-an kita terhadap kerahimanNya itu sendiri.

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.