Kabar Baik VOL. 225/2016 ? Perkawinan Katolik tak boleh diceraikan manusia. Usangkah? Relevankah?

12 Agu 2016 | Kabar Baik

Kabar Baik hari ini, 11 Agustus 2016

Matius 19:3 – 12
Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?”

Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?

Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.

Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Kata mereka kepada-Nya: “Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?”

Kata Yesus kepada mereka: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.

Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.”

Murid-murid itu berkata kepada-Nya: “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.”

Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja.

Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.”

Renungan

Kawanku ada yang bercerai dan ia pernah suatu waktu memintaku untuk bertemu dan menceritakan kenapa ia harus bercerai.

Pada menit-menit awal aku mendominasi pembicaraan dengan nasihat-nasihat baik yang ‘langitan’ hingga akhirnya aku memberi kesempatan untuknya bercerita. Apa yang ia alami begitu pedih dan menyiksa. Sesuatu yang membuatku sempat bertanya “Serius? Suamimu sampai melakukan seperti itu?” dan seusai cerita aku tak sanggup lagi berkata-kata.

Bahkan setiap mengingat ceritanya lalu dihadapkan pada ucapaan Yesus hari ini, membuatku selalu bertanya, masih relevankah kata-kataNya itu untuk diterapkan dalam hidup masa kini?
Masih bisakah Kabar Baik hari ini dianggap sebagai kabar yang baik dan bukannya kabar buruk yang seolah mencemooh penderitaan yang dialami oleh kawanku tadi?

Kawan, pada akhirnya, jaman membawa kita pada sebuah sikap bahwa peraturan agama itu perlu dipandang dalam perspektif memilih bukannya sebuah keharusan.

Kita berhak memiliki perasaan seolah punya hak.
Hak untuk memilih sesuai kehendak bebas kita. Hak untuk memutuskan ketidaksanggupan setelah mengalami berbagai penderitaan seperti yang dialami kawanku tadi. Hak untuk pada akhirnya memilih bercerai daripada melanjutkan pernikahan yang pincang seperti diamputasi.

Bukankah itu adalah hal yang salah karena seharusnya kita tetap memandang sebagai sebuah keharusan?

Di beberapa fase hidup, aku bisa dengan amat menggebu-gebu berkata demikian, kita harus begini, harus begitu… tapi di titik ini, saat berbicara tentang perkawinan secara Katolik, setelah mendengar begitu banyak cerita dari kawan yang gagal dalam pernikahan, aku merasa lemah dan kehausan hingga tak sanggup lagi berkata-kata seolah kehilangan makna.

Satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah dengan merenungkan kisah sengsara Yesus, menatapNya yang terpaku di salib kita bisa menemukan padanan yang cukup kuat untuk mempertanyakan, layakkah kita mempertahankan pernikahan setelah kita diselingkuhi, dihajar suami, ditindas keluarga ipar? Layakkah?

Tapi apakah juga layak bagi seorang Anak Allah yang diselingkuhi umatNya sendiri, dihajar, ditindas, didera, disalib hingga mati terbunuh dan tergantung di Golgota atas salah yang tak pernah Ia lakukan??Layakkah?

Bagi kita semua yang sudah menikah, mari kita pandang salib. KepadaNya yang terluka, kita serahkan semua luka-luka yang mungkin ada dalam hidup pernikahan kita dan membiarkan Ia berkata-kata.

Don, mana mungkin salib berkata-kata? Kan itu hanya patung salib di dinding kamar??

Lha iya! Tapi itu resep mujarab untuk mempertahankan pernikahan. Kita tetap tunggu sampai salib di dinding kalian sanggup berkata-kata. Nah, sambil menunggu momen itu tiba, mari kita lanjutkan pernikahan seberapapun ia menyesakkan, mencekam dan memerihkan…

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.