Kabar Baik hari ini, 2 Juli 2016
Matius 9:14 – 17
Kemudian datanglah murid-murid Yohanes kepada Yesus dan berkata: “Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?”
Jawab Yesus kepada mereka: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.
Tidak seorangpun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabik baju itu, lalu makin besarlah koyaknya.
Begitu pula anggur yang baru tidak diisikan ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian kantong itu akan koyak sehingga anggur itu terbuang dan kantong itupun hancur. Tetapi anggur yang baru disimpan orang dalam kantong yang baru pula, dan dengan demikian terpeliharalah kedua-duanya.”
Renungan
Yesus tidak terpancing mempersoalkan perlu-tidaknya puasa saat Ia ditanya murid Yohanes (Pembaptis) yang kupikir masih belum bisa move on untuk mengakui Yesus adalah Anak Manusia meski Yohanes sendiri, guru mereka, sudah mengakuiNya.
Ia malah membawa analogi baju yang tua serta kantung kulit yang tua untuk melukiskan betapa perlu untuk selalu menjadi baru.
Yesus adalah pembaharu. Ia membawa anggur baru, aturan baru yang menggenapi aturan lama. Persoalannya sekarang, siapkah kita menjadi kantung-kantung dan pakaian yang baru pula?
Menjadi kantungatau baju yang baru adalah menggunakan perspektif pikir dan sikap yang baru untuk menerima Tuhan dalam hidup kita.
Bagaimana sikap kita menerima Roh Kudus yang bekerja melalui Paus Fransiskus yang mengeluarkan ensiklik tentang bagaimana baiknya kita bersikap terhadap kelestarian bumi?
Kantung dan baju lama akan menyikapi biasa saja. Tak ada yang berubah, tetap membuang sampah sembarangan, tak peduli apakah pabrik yang dikelolanya telah mengikuti tata cara pembuangan limbah yang ditentukan, tak mau tahu apakah kayu-kayu yang didapat dari perampasan hutan itu mengganggu ekosistem semula yang ada atau tidak?
Bagaimana sikap kita saat Paus Fransiskus menganjurkan kita untuk terbuka pada para pengungsi dan orang asing yang minta bantuan.
Kantung dan baju yang lama akan tetap memilih menutup pintu rapat-rapat ketimbang membuka dengan penuh bantuan memberikan tumpangan kepada mereka yang membutuhkan?
Juga bagaimana sikap kita saat, lagi-lagi, Paus Fransiskus menyerukan untuk tidak menghakimi kaum homoseksual selama mereka mencari kebenaran Tuhan.
Kantung dan baju lama dalam hal ini tetap antipati terhadap mereka seolah mereka adalah pihak yang tak bisa diselamatkan. Tapi bisa juga berlaku sebaliknya, menelan mentah-mentah seruan Paus itu lalu memanfaatkannya sebagai senjata seolah Gereja Katolik telah mengijinkan pernikahan sejenis.
Jadilah kantung dan baju yang baru supaya kita selalu layak menerima curahanNya.
Caranya? Mendekatkan dan merendahkan diri kepada Tuhan serta menerima Yesus sebagai satu-satunya juru selamat yang hidup?
Yuk!
0 Komentar