Kabar Baik VOL. 166/2016 ? Apa bedamu dengan pemungut cukai?

14 Jun 2016 | Kabar Baik

Kabar Baik hari ini, 14 Juni 2016

Matius 5:43 – 48
Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu.

Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.

Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.

Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?

Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?

Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”

Renungan

Soal yang satu ini aku harus belajar banyak dari Eyangku.

Di Klaten, kami hidup di kampung dan interaksi antar-manusia di dalam komunitas yang bernama kampung itu lebih terasa dinamikanya dibanding dengan pola interaksi dalam perumahan-perumahan mewah maupun apartment.

Satu hari, Pak Badu bisa bermusuhan dengan Bu Siti hanya karena sandal yang tertukar saat bersama-sama bertamu di rumah Pak Soleh. Hari berikutnya mereka bisa kembali baikan dan malah ramai-ramai memusuhi Pak Soleh yang dianggap nggak tanggap saat tahu Pak Badu dan Bu Siti saling tertukar sandalnya.

Demikian juga di Klaten, kampung tempat kami tinggal, Tegal Blateran namanya. Musuh-memusuhi dan dimusuhi adalah hal biasa.

Dalam skala kecil, imbas dari permusuhan adalah tidak saling menyapa antara anggota keluarga yang sedang bermusuhan. Di atasnya itu bisa berupa pertengkaran mulut hingga fisik meski selama yang kuingat, tak pernah sekalipun pertengkaran berujung kepada urusan kepolisian.

Tapi beda dengan Eyangku.
Ia seolah tak mau terperangkap dalam stereotipikal permusuhan seperti itu.

Pernah suatu waktu aku diajak datang ke acara arisan ke rumah kawannya yang letaknya sekitar tiga blok jauhnya. Ia tahu, keluarganya, kami, sedang dimusuhi oleh sebuah keluarga yang tinggal hanya selisih tiga rumah jauhnya dari rumah kami.

Mau-tak-mau kami harus lewat depan rumahnya.?Pada saat itu mereka sedang kongkow di teras rumah.

Tapi alih-alih buang muka atau setidaknya diam tak menyapa, yang dilakukan Eyang adalah menoleh ke arah mereka dan tersenyum lalu berkata,?“Ndherek langkung….(permisi –red)”

Mereka diam.
“Matur nuwun (terima kasih –red)” sapa Eyang lagi yang lagi-lagi disambut dalam hening.

Dari sudut mata aku mencoba melihat reaksi mereka. Diam. Tapi ada seorang yang tampak ingin membalas sapaan Eyang, tapi akhirnya tercekat melihat anggota yang lain juga diam saja.

Apa yang kualami tiga puluh tahun lalu itu mengulas ulang ketika aku membaca Kabar Baik hari ini.

Eyang masih jauh dari sempurna. Yang ia lakukan biasa saja tapi tak semua orang bisa berlaku sama dengannya bahkan aku cucunya.?Ia melakukan hal baik meski belum tentu kebaikan itu akan dibalas hal yang serupa oleh tetanggaku.

Tapi yang Eyang lakukan itu bukanlah tanpa pola sebelumnya.?Karena Tuhan, yang ia percaya, pun melakukan hal-hal yang tampaknya sederhana tapi luar biasa.

Tuhan memberikan sinar matari kepada kita tak pandang bulu jahat baiknya.?Udara dihembuskanNya memberi hidup pelacur, pencopet dan perampok istana dan pada saat yang bersamaan, hembusanNya juga dirasa oleh yang baik budinya, lembut tutur kata dan penuh cinta.

Tuhan Yesus bilang hari ini, kalau kamu hanya mengasihi orang yang mengasihimu, apalah bedamu dengan pemungut cukai?
Aku merenungkan, kalau Tuhan hanya mengAsihi orang yang mengasihiNya seperti pemungut cukai, apakah kamu bisa membayangkan seberapa besar kasihmu yang telah kau berikan kepadaNya?

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.