Kabar Baik hari ini, 5 Juni 2016
Lukas 7:11 – 17
Kemudian Yesus pergi ke suatu kota yang bernama Nain. Murid-murid-Nya pergi bersama-sama dengan Dia, dan juga orang banyak menyertai-Nya berbondong-bondong.
Setelah Ia dekat pintu gerbang kota, ada orang mati diusung ke luar, anak laki-laki, anak tunggal ibunya yang sudah janda, dan banyak orang dari kota itu menyertai janda itu.
Dan ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepadanya: “Jangan menangis!”
Sambil menghampiri usungan itu Ia menyentuhnya, dan sedang para pengusung berhenti, Ia berkata: “Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah!”
Maka bangunlah orang itu dan duduk dan mulai berkata-kata, dan Yesus menyerahkannya kepada ibunya.
Semua orang itu ketakutan dan mereka memuliakan Allah, sambil berkata: “Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita,” dan “Allah telah melawat umat-Nya.”
Maka tersiarlah kabar tentang Yesus di seluruh Yudea dan di seluruh daerah sekitarnya.
Renungan
Beberapa hari yang lalu seorang ibu di Indonesia bertanya kepadaku melalui jendela Whatsapp tentang anak-anaknya.
Ia khawatir. Meski anak-anaknya cerdas, bertumbuh sebagai anak yang baik dan berkarir baik pula di awal usia 20-an tapi mereka sepertinya tak ?doyan? ke gereja.
?Semua ada waktunya, Bu..? tukasku ringan.
Ketakutannya sebenarnya bukan lebih ke soal waktu, tapi ia merasa kalau sampai pada saat ia ketemu pasangan yang membuatnya tertarik, dan kebetulan pasangan itu tak seiman dengannya, dan ia belum ?doyan? dengan gereja, ?Bisa-bisa pindah agama nanti dia, Pak!? demikian keluhnya.
Aku bisa merasakan, rasa yang mungkin juga akan kurasakan saat anak-anakku dewasa kelak.
Aku melihat Kabar Baik hari ini, cerita tentang Yesus menghidupkan anak muda yang mati dan ditangisi ibunya yang seorang janda dalam kerangka tafsir sebagai bukan kematian ragawi tapi kematian imani.
Ada banyak orang muda yang tak doyan ke gereja. Tapi sejatinya ada yang lebih parah daripada itu, ada begitu banyak orang-orang muda yang merasa tak perlu Tuhan, mulai menganggap Ia tak ada dan mereka kehilangan kepekaan terhadap sesama.
Itulah kematian iman yang sesungguhnya! Tak hanya karena nggak doyan ke gereja tapi sudah lebih jauh? amat jauh!
Aku pernah muda (dan bahkan sampai sekarang pun masih merasa muda hahahaha) dan aku sadar ada beberapa lekuk dalam hidup yang membuat hal-hal di atas yang kutuliskan itu memang terjadi.
Sebagai orang muda yang meletup-letup, keberhasilan demi keberhasilan seolah silih berganti dengan kegagalan. Ketika kita berhasil, kita cenderung jumawa bahwa semua itu adalah karena kepintaran dan kehebatan kita.
Ketika kita gagal, dengan segala idealisme yang kita punyai, kita cenderung fokus untuk mengatasi kegagalan ke depannya. Untuk itu, kita seolah tak punya waktu untuk Tuhan, untuk menyadari bahwa Ia ada dibalik segala keberhasilan dan Ia ada untuk meringankan beban karena rasa gagal yang kita terima.
Tuhan seolah menjadi sosok yang tak diperlukan.
Belum lagi dalam hal jodoh.
Aku dulu khawatir kalau nggak dapat jodoh saat kawan sebayaku sudah punya gandengan. Apa yang salah denganku? Nggak buruk-buruk amat, secara fisik ok, otak pintar dan hobi banyak tapi kok nggak dapat pacar?
Aku lantas melonggarkan ?kriteria-kriteria? pilihan gandengan dari yang semula ?harus Katolik? jadi ?asal mengakui Yesus, OK lah!?
Dari yang semula ?asal mengakui Yesus, OK lah? menjadi ?Ah, bukannya Tuhan dimana saja sama?!?
Alhasil, lupakan gereja!
Itu baru soal jodoh. Soal ekonomi adalah hal yang juga jadi kekhawatiran.
Pasangan akhirnya didapat tapi… beda iman. Bayangan nikah diam-diam, diusir orang tua karena pindah agama, ada di depan mata.
Jadilah kita nabung sebanyak-banyaknya, bekerja sekeras-kerasnya sehingga kalau diusir, kita masih punya tempat untuk hidup, masih bisa menggelar resepsi pernikahan kecil-kecilan secara mandiri tanpa melibatkan orang tua yang tak mau terlibat!
Jadi, jangankan peka terhadap sesama atau nyumbang yang kekurangan, untuk peduli ngasih recehan ke pengemis dan pengamen saja tidak mau, bukannya tidak mampu demi membayangkan uang muka rumah dan KPR bulanan, demi mbayar catering resepsi pernikahan, demi hidup berumah tangga selanjutnya!
Jadi, sejatinya, kekhawatiran itu tidak sepihak. Ia ada dimana-mana. Ada dalam diri orang tua ada pula dalam diri orang muda.
Lalu apa yang bisa dilakukan menghadapi semua itu??Lakukan apa yang dilakukan janda itu. Sebagai orang tua, menangislah dan menghiba-lah di hadapan Tuhan.
Ingat, sepanjang hidup Yesus di dunia yang dilaporkan Kitab Suci, hanya dua kali Ia mau menghidupkan orang mati yaitu si pemuda dalam Kabar Baik hari ini dan Lazarus kerabatnya.
Tahu kenapa Ia memutuskan untuk membangkitkan? Karena iba melihat orang terdekat yang meninggal menangis dan tersedu sedan.
Bawalah dalam doa, setiap kepedihan dan kekhawatiran kita terhadap anak-anak, cucu-cucu dan keturunan yang kita khawatirkan akan mengalami ?kematian iman? dan ?kematian terhadap kepekaan sosial?.
Tapi di sisi lain, kita juga harus sadari bahwa sebesar apapun kekhawatiran kita, tak ada yang bisa kita lakukan untuk mengatur anak-anak karena mereka sejatinya adalah pribadi terpisah dari diri kita sendiri.
Hanya jamahan Tuhan yang mampu membuat mereka tetap hidup dan tidak ?mati?. Jadi, berdoalah!
Eh, sebentar? jangan terlalu sendu menangisi dan khawatir terhadap mereka, bagaimana dengan kita sendiri? Jangan-jangan justru kita sendiri yang sedang ?mati iman? dan ?mati untuk peka terhadap sekeliling? hanya karena terlalu sibuk menangisi orang lain dan anak-anak kita?
0 Komentar