Rasa hormat dan terima kasih harus kusanjungkan kepada seluruh rekan panitia yang kemarin (14/05) telah bekerja keras untuk mempersiapkan dan mengadakan acara Justice For Ahok di Botanical Garden, Sydney.
Secara pribadi, meski hanya sebagai peserta, aku merasa bangga jadi bagian dari acara besar itu. Belum pernah aku bertemu dengan sesama orang Indonesia sebanyak itu di Sydney. Bayangkan, lebih dari dua ribu (konon ada yang berani menyebut hingga tiga ribuan!) berada di satu tempat di luar negeri untuk hadir dalam sebuah acara ke-Indonesia-an itu rasanya bikin merinding disko, Bro!
Hadir dalam acara sebesar itu membuatku mengulas kembali kenangan saat dulu pernah membantu mengurusi acara kampanye Jokowi – ** (maaf, aku tetap tak mau menyebut nama wakilnya hehehe) yang kami adakan pada 29 Juni 2014 dan ketika itu dihadiri oleh sekitar 300 ‘anak bangsa’… sepersepuluh yang hadir kemarin tapi… kami toh waktu itu sudah seneng banget!
Lalu ketika pulang semalam, aku berpikir kenapa acara yang kami adakan dulu ‘hanya’ dihadiri oleh 300 anak bangsa sedangkan kemarin ada sekitar 3000-an orang lebih yang datang?
Sekadar iseng, beberapa poin berikut ini mungkin bisa jadi rujukan pembanding keduanya.
#1 Isu
Isu tahun 2014 adalah isu Pemilihan Presiden (Pilpres). Bagi sebagian orang, Pemilu seheboh apapun adalah sesuatu yang periodik, berulang meski tiga tahun lalu, Jokowi hadir sebagai simbol ‘rakyat biasa’ sudah mulai tereskalasi tapi tetap saja, itu hanyalah Pemilu.
Sebaliknya, isu kemarin adalah isu yang menurutku tak biasa. Ahok yang baru saja kalah dalam Pilkada DKI Jakarta dan menjadi simbol minoritas masuk penjara karena dakwaan menista agama.
Bagi sebagian yang hadir mungkin ada yang menitikberatkan agenda acara pada ‘membela Ahok’ meski ada juga yang datang untuk mengambil posisi yang lebih umum dan mencoba merangkum banyak pihak; demi NKRI, demi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, penghapusan hukum penistaan terhadap agama, dan lain-lainnya.
Nah, isu yang luar biasa ini mampu tak hanya menerbitkan minat tapi juga urgensi bagi Warga Negara Indonesia maupun simpatisan Indonesia di Sydney untuk hadir dan berkumpul.
#2 Online community
Acara kemarin juga tak lepas dari peran dua komunitas Facebook ‘Indonesia-Australia’, The Rock dan Ausindoz.
Hingga saat tulisan ini kurawi, Ausindoz memiliki anggota sebanyak 16.879 sedangkan The Rock hampir dua kali lipatnya, 30.449! Pada dua komunitas besar ini pengumuman acara Justice For Ahok diadakan.
Itu baru Facebook! Belum lagi WhatsApp Group (WAG) ke-Indonesia-an yang menyebar serta ditambah beberapa gelombang-gelombang kecil seperti yang kulakukan melalui blog ini dalam tulisan beberapa hari yang lalu di sini.
Tahun 2014 dulu, kami justru membuat halaman Facebook setelah memiliki rencana untuk bertemu dan bukannya sebaliknya, punya komunitas Facebook dulu baru membuat acara.
Aku tak tahu kapan The Rock dan Ausindoz berdiri tapi yang kuingat, tahun 2014 dulu, kami panitia belum mengenalnya jika memang keduanya sudah ada.
WhatsApp Group seingatku dulu juga belum semewabah sekarang penggunaannya.
#3 Lokasi
Tahun 2014 dulu kami memutuskan untuk mengadakan kampanye tepat di muka Sydney Opera House. Kami sudah mengurus ijin beberapa hari sebelumnya tapi toh polisi tetap akhirnya membubarkan acara karena yang kami perkirakan hanya 50 orang saja nyatanya yang hadir sekitar 300an!
Pilihan untuk mengadakan kampanye di depan Sydney Opera House setelah dipikir-pikir ternyata memang bukan pilihan yang tepat.
Kenapa? Gedung tersebut adalah landmark kota Sydney, tempat yang menjadi tujuan wisatawan dalam dan luar negeri. Kehadiran kami waktu itu, meski tak mengganggu keamanan tapi barangkali membuat yang lain merasa tak nyaman. Kami berorasi, membacakan deklarasi, bersorak dan bernyanyi ‘Salam Dua Jari’!
Acara kemarin diadakan di Botanical Garden, taman memanjang yang luasnya sekitar 30 hektar!
Meski titik kumpul kami adalah Sydney Opera House, tapi kami sejak awal diarahkan untuk masuk ke dalam Botanical Garden, berjalan terus hingga hampir sampai di Macquarie’s Chair.
Menurutku pemilihan Botanical Garden sebagai tempat pelaksanaan acara adalah pilihan yang tepat yang memungkinkan para peserta untuk datang, berkumpul dan memulai acara terkait luasnya area membuat kehadiran kami tak langsung membuat perhatian pihak keamanan terlepas apakah mereka sudah mendapatkan ijin atau belum dari pihak berwajib.
Hal ini berbeda dengan tahun 2014. Mungkin karena sudah berijin, polisi jadi siap siaga dan ketika jumlah yang hadir sudah lebih dari total jumlah yang diijinkan (kalau tak salah 50 orang) mereka langsung membubarkan saat acara masih berjalan sekitar 15 menit padahal yang sedang berjalan menuju ke venue pun masih banyak dan kuyakin lebih banyak dari yang sudah hadir.
Tapi toh demikian, waktu itu kami berkeputusan untuk menuruti kemauan polisi karena yang terpenting, acara pembacaan deklarasi dukungan sudah direkam dan beberapa jam kemudian kukirimkan ke banyak media mainstream di Indonesia untuk disebarluaskan.
Sedangkan kemarin, acara bisa berlangsung hingga lebih kurang 30 menit sebelum bubar dan diisi dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan lainnya, memanjatkan doa singkat serta… foto-foto!
So, sekali lagi, selamat dan salut untuk panitia! Mengurus tiga ribuan anak bangsa yang hadir tentu tak mudah sama-sekali. Semoga di waktu-waktu yang akan datang, hal-hal seperti ini bisa diulangi lagi, lebih besar lagi dan lebih terkoordinir lagi demi Indonesia dan demi rasa cinta kita terhadap Tanah Air dan Bangsa!
Salam dua jari!
Simak tulisanku sebelumnya, Dua ribu anak bangsa mendobrak lantai surga?dan tulisan yang kurawi tiga tahun lalu tentang kampanye ‘300 anak bangsa’ di Sydney Opera House
0 Komentar