Kejadian main hakim sendiri yang menimpa alm. M Alzahra alias Joya (30) di Kampung Cabang Empat, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi Jawa Barat itu mengerikan! Dituduh mencuri amplifier, ia dibakar hidup-hidup hingga mati. Tapi yang lebih memilukan sebenarnya adalah kenyataan bahwa kematiannya meninggalkan Siti Jubaida (25), istrinya, seorang anak kecil dan janin berusia enam bulan yang ada di dalam kandungannya.
Memilukan, mengerikan tapi sejatinya tak mengagetkan. Aku akan kaget kalau kejadian seperti ini adalah yang pertama. Tapi kejadian senada juga terjadi di tempat-tempat lain. Ada maling motor, dihajar hingga mati (simak beritanya di sini). Ada maling kambing, dihajar hingga babak belur, kalau tak ada petugas barangkali juga mati. (beritanya simak di sini) dan banyak lagi yang terjadi dengan motif-motif senada baik yang terekam lensa pemberitaan atau yang dilakukan diam-diam begitu saja.
Lantas ketika ada orang yang berkata bahwa nyawa lebih murah ketimbang amplifier, aku jadi tak setuju! Karena nyawa lebih murah dari amplifier itu barangkali di satu daerah karena di daerah lain, nyawa lebih rendah ketimbang sepeda motor atau bahkan seekor kambing jadi yang benar yang mana, mana yang lebih tepat untuk dijadikan nilai dasar konversi mata ‘uang’ sebuah nyawa?
Yang lebih benar barangkali adalah nyawa tak berharga sama sekali ketika emosi melingkupi hati yang terwujud dalam sebuah reaksi yang berlebihan. Ada manusia-manusia yang kerepotan untuk mengelola reaksi mereka dan ini sebenarnya hal yang patut dikasihani.
Tim sepakbola jagoan kalah, tawur!
Mobil disenggol dari belakang, berantem!
Ada orang yang dituduh menghina agama, di-demo-i hingga berjuta-juta banyaknya seolah hukum saja tak cukup untuk menjeratnya.
Ada yang merasa iri melihat lawan berhasil membangun jembatan layang inovatif… eh dibela-belain buat seolah kesasar-sasar supaya tampak dungu lawan itu!
Jadi, kalau ada orang yang sedang membawa amplifier lantas dikira maling dan dihajar serta dibakar hingga mati, ya tak mengagetkan karena dasarnya sama dengan kejadian-kejadian di atas yaitu kesulitan mengelola reaksi.
Ada yang bilang solusi terbaik untuk mengatasi hal ini adalah pendidikan? Benar! Tapi pendidikan yang tak melulu berarti seseorang harus mengenyam sekolahan hingga tahunan karena intinya bukan di situ. Buktinya? Banyak kok para cendekia yang juga berlebihan dalam menanggapi sebuah isu dan fenomena.
Oh ada yang bilang juga karena mereka tak percaya hukum, Don!?
Ah, aku tak percaya kalau alasan mereka untuk membakar Joya adalah karena mereka tak percaya pada hukum. Yang lebih kupercaya adalah alasan bahwa mereka barangkali merasa sebagai hukum itu sendiri, bahwa tak ada yang lebih memiliki supremasi selain diri ketika berteriak “Bakar! Hajar! Bakar!” Semua diukur dari diri mereka sendiri-sendiri, bukan yang lain apalagi hukum.
Memuakkan?
Kata yang lebih tepat barangkali meletihkan! Letih melihat barisan orang-orang yang rasa-rasanya lebih layak hidup di abad entah ke berapa trilyunan tahun di belakang…
0 Komentar