Jogja era 90an adalah Jogja yang kukenang sebagai kota yang berbeda dari sekarang. Belum banyak bangunan tinggi dan hotel hanya ada beberapa gelintir banyaknya.
Tingkat kemacetan yang rendah, becak belum bermotor, sepeda-sepeda kayuh model lawas adalah simbol kebanggaan sementara wisatawan adalah pelajar yang belajar 3 – 5 tahun lamanya. Bukan wisatawan yang datang tiap akhir pekan untuk memadatkan tingkat hunian hotel dan menyesakkan jalanan.
Apa kenanganmu tentang Jogja kala itu? Berikut ini milikku.
1. Yogyakarta – Kla Project?
Kla Project membuka tirai Yogyakarta ke ranah yang lebih melankolis di awal dekade 90an. Lagunya yang bertajuk ?Yogyakarta? ngawe-awe orang untuk datang berkunjung, menghablurkan rindu yang entah segumpal, segunung atau setangkup besarnya.
Lagu ini adalah landasan keputusanku untuk pindah ke Jogja, Juli 1993. Lagu ini pula yang kudengar tatkala aku memutuskan pergi dari Jogja dan pindah ke Sydney, Australia, November 2008 hingga sekarang.
2. Empire dan Regent?
Selain Mataram yang terletak di Jl Sutomo, Empire dan Regent adalah nama bioskop kelas atas yang terletak di bilangan Demangan-Jl Solo.?? Empire berada di atas Toserba ‘Hero’ sementara Regent di sebelahnya.
Meski sebelah-menyebelah, tiket tanda masuk keduanya adalah pembeda yang jelas. Empire 1000 perak lebih mahal saat Regent mewajibkan penonton untuk membayar Rp 2500,00. ??Sebagai pelajar dengan uang saku pas-pasan, aku lebih baik menonton di Regent meski nongkrongnya di Empire supaya tampak seperti tidak pas-pasan :)
Bencana kebakaran melahap Empire dan Regent, tidak berbarengan tapi dalam waktu yang tak terlampau lama jaraknya di akhir era 90an. ??Setelah dianggurkan lama, kini lahan Empire dipakai kembali untuk bioskop kelas premium dengan nama yang sama, Empire XXI!

Empire masa kini. Sumber foto: 21Cineplex.com
3. Bursa Nada?

Geronimo FM
Sebelum marak radio streaming sepeti sekarang, sebelum network-network radio nasional membanjiri Jogja, Radio Geronimo adalah magnetnya kanca muda.
Acara yang paling ditunggu-tunggu salah satunya adalah Burna, Bursa Nada. Pada acara tersebut, seingatku diudarakan sekitar jam 2 siang, pesan-pesan pendengar yang kebanyakan berisi titipan salam untuk pendengar lainnya dibacakan. Salam diikuti request lagu yang bila memungkinan dan sesuai mood penyiar ya diputar.
Tapi pada akhirnya ?request lagu? jadi tak begitu penting. Adalah pesan yang dibacakan yang dipentingkan.
Pada akhirnya pesan yang dibacakan juga jadi tak terlalu penting. Adalah bagaimana mengemas pesan supaya menarik perhatian penyiar sehingga terbaca yang diutamakan. ??Bentuk penyampaian pesan pun macam-macam. Dulu pernah kirim Burna pakai sendal jepit yang ditulisi pesan, pakai topi koboi yang ditulisi pesan. Makin unik, makin mudah dicomot penyiar lalu dibaca.
4. Bola Sodok Nusa Indah?

Ilustrasi
Sebelum jadi hotel seperti sekarang, di areal sekitar depan Toko Gardena di Jalan Solo ada arena permainan bola sodok (bilyar) Nusa Indah namanya.??Arena terletak di bagian belakang sementara di depan ada permainan ?judi koin? alias ?dingdong?. Kalau malam minggu ramainya bukan main dan banyak bener gali-gali yang nongkrong di sana. Bersama kawan-kawan aku lebih suka ?nyodok? di minggu siang yang sepi dan menyisakan bau alkohol di sana-sini bekas semalam, barangkali?
5. Malioboro Mall
Mall pertama di Yogyakarta adalah Malioboro Mall. Dibuka seingatku sekitar tahun 1993 saat Java Jive sedang mengudara dengan ‘Kau yang terindah’ dan Kahitna sedang ‘Cantik’-cantiknya. Letaknya ada di sebelah pertigaan Jl Perwakilan – Malioboro. Dinamika anak muda dari berbagai kalangan tumpah ruah di sana.
Beberapa tahun kemudian di perempatan Jl Solo – Sagan dibangun mall kedua, Galeria Mall. ??Sekarang ada berapa jumlah mall di Jogja?

Maliboro Mall. Sumber foto: Tripadvisor.ie

Galeria Mall. Sumber foto: Blogspot
5. Pasar Kaset Bekas Beringharjo?
Lapak-lapak penjual kaset bekas setiap sore hingga malam hari digelar di depan Pasar Beringharjo. Mereka berbagi lahan dengan penjual makanan dan penjual bunga sekar makam dan perlengkapan memandikan dan merawat jenasah.??Kaset yang dijual rata-rata adalah kaset bekas dengan harga miring. Kadang-kadang koleksi lawas yang sudah tak dirilis dijual di sana.

Sumber foto: Cahandong.org
6. CD Bajakan di Jl Mataram

Sumber foto: Kompasiana
Sementara itu di sepanjang Jl Mataram, orang-orang membuka lapak penjual CD musik dan VCD/DVD bajakan. Harganya aku lupa tapi yang pasti murah betul.
7. Popeye dan KotaMas? Nyoba kaset
Dua toko kaset besar di Jogja adalah Popeye dan Kotamas. Sebagai anak kost yang pas-pasan, aku belum pernah beli di sana kecuali beli kaset kosong yang kupakai untuk merekam lagu-lagu yang diputar di radio.??Popeye dan KotaMas lebih sering kujadikan sebagai tempat mencoba kaset-kaset baru karena disana disediakan beberapa tape/cassette player dengan headphone yang boleh dipakai untuk mencoba.
Oh ya sesekali artis ibukota datang ke sana untuk berfoto, tanda tangan di hall of fame sambil barangkali ngecheck angka penjualan kaset mereka.

Sumber foto Kotamas: https://twitter.com/hmintardi

Sumber foto Popeye: https://twitter.com/infojogja/
8. Angkringan (tanpa wifi)?

Sumber foto: http://yogyakarta.panduanwisata.id
Warung angkringan dulu bukan simbol wisata seperti sekarang. Warung angkringan di era 90an adalah simbol keterpepetan. Nasi kucing, goreng-gorengan serta minuman dan rokok eceran yang dijual di angkringan yang remang-remang.??Angkringan adalah tempat singgah ketika tanggal tua atau ketika hendak sedang ngirit guna merencanakan malam mingguan bersama pacar di tempat yang mahal.
Ada wifi di angkringannya??Wifi? What? Wifi?
9. Pacaran di ?Lembah UGM??
Tempat bermesraan dengan pacar yang kesannya alami tanpa harus pergi jauh ke Kaliurang adalah di lembah UGM.??Parkir motor di depan lembah lalu turun ke lembah, duduk berduaan, beraktivitas beralaskan koran. Beberapa malah nekat membawa motor masuk ke dalam lembah. Si cewek duduk di depan dipeluk dari belakang oleh cowoknya entah sambil ngapain, barangkali berdoa bersama?

Sumber foto: http://little1academybdniyogyakarta.blogspot.com
10. Kios toko buku murah?
Sebagai kota pelajar, buku tidak harus dijual mahal. ??Toko buku besar seperti Gramedia dulu sudah ada di Jl Sudirman tapi sering dipakai hanya untuk melihat-lihat buku mana yang harus dibeli di kios toko murah yang letaknya tak jauh dari sana, di depan SMA 6 Terban atau di ?Shopping? depan Progo dekat Pasar Beringharjo.

Sumber foto: https://arlianbuana.blogspot.com/
11. Dagadu dan Waton Tshirt?
Kaos-kaos unik model ?kata-kata plesetan? dan design-design unik yang ?Njogjani? dikembangkan Dagadu dan Waton Tshirt.
Kaos Dagadu yang asli bisa didapatkan di basement Malioboro Mall sedangkan yang bajakan banyak dijual di lapak-lapak pinggir jalan di seberangnya.?? Waton Tshirt dikembangkan kawan lama, Adhez namanya. Letaknya di depan Radio Geronimo di Gayam dan jadi tempat nongkrong untuk menantikan apakah Burna yang tadi dikirim dibacakan atau tidak.
Adhez meninggal dunia mendadak di puncak karir, pada tahun 2000. Sebuah kehilangan besar bagi dunia kreatif Jogja.

Sumber foto: http://ublik.id
12. Pesta Pelajar Hai?
Pesta Pelajar yang digelar Majalah Remaja Pria, HAI, menurutku adalah pentas seni raksasa yang memuaskan jiwa raga pada masanya. ??Digelar di stadion Kridosono pada pertengahan 1996 acara itu bagai pesta tuntasnya masa pendidikan 9 tahun karena saat itu aku lulus dari SMA Kolese De Britto Yogyakarta.
Yang kuingat dari acara itu, bintang tamunya adalah Nicky Astria, Puppen dan PAS Band. Pembawa acaranya Sarah Sechan dan Anjasmara dan para finalis festival band yang kebanyakan membawakan lagu wajib Impresi – PAS Band, Terkenang – KLa Project, Musisi – God Bless.

Pesta Pelajar Hai 1996, aku yang mengenakan helm bersama Nonot (kiri) dan Epic (kanan)… Credit photo: Heribertus
13. Klub sepeda onthel?

Sumber foto: https://sepedaonthel.com/
Dulu saat belum kenal istilah bike to work, klub sepeda onthel lahir barangkali tidak membawa alasan ?menjaga kebugaran? seperti sekarang. Sepedanya pun kebanyakan sepeda lawas bukan sepeda lipat dan sepeda sport yang mahal-mahal seperti yang saat ini kulihat bersliweran di akun Facebook dan Instagram kawan-kawan.
14. Helemann
Masuk paruh kedua dekade 90an, di Jogja sekelompok pelajar dan mahasiswa menggunakan helm cidhuk (bukan helm standard) sebagai identitas. Mereka, eh kami mengenakan helm kemanapun, dimanapun sedang atau tidak sedang mengendarai sepeda motor.??Hiasan sticker biasanya jadi penanda anak-anak ?Helemann?. Aku bersyukur menjadi salah satu pemula jika tak boleh menyebut diri sebagai pendiri grup Helemann bersama Ari Wulu dan kawan-kawan lainnya.
15. Crazy Horse/JJ dan Papilon
Kehidupan malam dengan musik disko dan orang-orang asyik berajojing? Jogja punya! Crazy Horse yang berubah nama jadi Jogja-Jogja (JJ) di Jl Magelang dan Papilon yang terletak di dekat Ketandan Malioboro.??Ada juga diskotik yang memperbolehkan pengunjung menggunakan sepatu roda, aku lupa namanya?
16. QZR dan JXZ?
Dua geng besar Jogja di era 90an adalah Qisruh/QZR dan Joxsin/JXZ. Keduanya menguasai area-area tertentu dan biasanya ada tanda yang dipasang untuk menunjukkan ?keanggotaan? mulai dari sticker hingga plat nomer yang seingatku dicat warna tertentu (QZR biru).
Berteman dengan pentolan gang menjadi penaik derajat meskipun di sisi lain jadi hal yang menyeramkan terutama ketika main ke daerah lain dan ?ditandai? sebagai orang yang sering nongkrong bareng si pentolan.
17. Warnet
Internet merebak tapi belum sesporadis sekarang. Internet tetap jadi barang mahal yang disajikan dalam istilah renyah, warung internet. Banyak rental komputer yang berubah bentuk jadi warnet.
Warnet hadir dalam bilik dengan ongkos sewa kian tahun kian turun.??Aku mengalami masa dimana warnet menyewakan komputer dengan koneksi internet dial up super lambat (dibanding dengan sekarang) dengan harga sewa super mahal, 12 ribu per jam.
Warnet merebak di kawasan mahasiswa dan turis. Di sisi utara, ada masa dimana sepanjang jalan Kaliurang didominasi warnet.
Bisnis warnet pada akhirnya mulai meredup seiring banyaknya angkringan dan coffeeshop serta kafe yang menawarkan wifi gratis dan makin terjangkaunya harga smartphone dan paket data. ??Sebagian yang masih ingin bertahan berganti konsep menjadi gamenet.
18. Reformasi
Gaung demo menuntut penggulingan rezim Orde Baru juga terjadi di Jogja.?Moses Gatotkaca adalah ikon serunya demo waktu itu. Ia meninggal digebukin petugas saat sedang makan di angkringan di area Mrican tak jauh dari pusat dimana mahasiswa berhadap-hadapan dengan aparat keamanan.??Aku pernah menuliskan tentang kejadian tersebut di sini.
19. Burjo ?Kuningan?

Sumber foto: http://yogyakarta.panduanwisata.id/
Selain angkringan, warung Burjo (Bubur Kacang Ijo) yang biasa dikelola oleh orang-orang pendatang dari Kuningan, Jawa Barat adalah penyelamat perut pelajar dan mahasiswa.??Semangkuk burjo dulu dihargai 350 perak, cukup memadatkan perut dengan tambahan selembar roti tawar yang dicelupkan ke dalamnya.
Mau yang sedikit di atasnya bisa ambil ?Tante?, istilah untuk Mie instan tanpa telor, seporsi 650 perak. Mau yang lebih mewah lagi bisa Intel, indomie telor yang seporsi dibandrol 900 perak.??Burjo merebak hampir di setiap gang-gang di Jogja hingga kini meski konon kabarnya Burjo yang menjual burjo sudah semakin sedikit?
20. Sheila on 7, Jikustik, Cross Bottom?
Era musik indie yang dimulai di Bandung terasa juga getarannya hingga Jogja.?Geronimo melalui program G-Indie mewadahi banyak band yang semula hanya manggung di pentas-pentas lokal saat itu bisa merilis demo rekaman barang selagu atau dua.???Produk-produk? keluaran G-Indie yang kita kenal hingga sekarang adalah Jikustik (dulu namanya G-ccoustic), Cross Bottom dan siapa lagi kalau bukan Sheila on 7!

Sumber foto: http://hai.grid.id/
21. Monalisa burger
Saat usaha waralaba makanan cepat saji burger belum masuk ke Jogja, Monalisa Burger adalah jawabannya. Lapaknya hingga sekarang tegak berdiri di Jalan Kaliurang di dekat UGM sana. Bagiku Monalisa Burger adalah burger terenak di Jogja karena cita rasanya sudah sangat disesuaikan dengan ?lidah jawa? yang manis dan gurih.
Lembah UGM saiki jadi TAMAN KEARIFAN UGM :D
Diskotik di Jogja yg pengunjungnya diperbolehkan memakai sepatu roda namanya TOP TEEN di ramai mall Malioboro sekitar tahun 1991 – 1992
“helemann” Ari wulu, cah lempuyangan rumah dekat smp apa itu lupa. Tahun 95-96 an dia bawa stiker helemann, kirain logo nya band Helloween ternyata helemann, di bagi2 in ya cukup senang tempel di helm, Ha ha ha
Jogja itu ya cuma pas 90an awal 2000an. selanjutnya berbeda rupa.
Gg. Pandu Wirobrajan 1993