Sama seperti tahun lalu, peringatan Jumat Agung tahun ini, aku dan keluarga merayakan di Canberra, kota yang letaknya sekitar 400 km di sebelah selatan Sydney yang juga adalah ibukota Australia. Kebetulan, seperti tahun sebelumnya, kali ini kami menghabiskan waktu di sana untuk santai menikmati udara sejuk kota.
Yang membedakan, kalau tahun lalu kotbahnya cenderung membosankan, membikin ngantuk, kotbah Yang Mulia tadi begitu menohok dan memancingku untuk berpikir atau setidaknya merenungkan.
“Jangan terlalu over sentimental menanggapi peringatan kematian Kristus! Jadikan peringatan ini untuk semakin bertindak nyata terhadap dunia di sekitarmu yang tak sentimentil sama sekali” gugatnya!
Duarrrr! Rasanya mendengar kata-kata itu seperti ada bom meledak di dalam hati yang daya ledaknya barangkali melebihi bom Mother of All Bombs, bom non-nuklir terbesar milik Amerika yang untuk pertama kalinya sepanjang sejarah diledakkan di Afganistan atas restu presiden eksentrik mereka, Donald Trump pada 27 Maret 2017 lalu!
Sebagai seorang yang menghabiskan 31 tahun pertama di Indonesia (1977 – 2008), tentu aku tak bisa menerima mentah-mentah ucapan yang Mulia di atas! Di Indonesia, agama tak hanya dihayati tapi juga dirasakan dengan membawa bongkahan besar bernama perasaan sehingga munculnya sisi sentimental setiap perayaan kematian Kristus adalah semacam gerak refleks, semacam reaksi dan bukannya aksi!
Aku jadi ingat apa yang dulu biasa kuikuti.
Jangankan Jumat Agung karena bahkan sisi sentimentil umat telah terbangun sejak peringatan Kamis Putih yang diselenggarakan semalam sebelumnya! Dimulai dari pencucian kaki para ‘rasul’ oleh Pastur yang kadang menghasilkan haru baik oleh kami yang menyaksikan maupun mereka yang diminta untuk berperan menjadi ‘rasul’. Dilanjut dengan perarakan Sakramen Mahakudus di akhir perayaan disambung dengan tuguran yang kadang berlarut-larut hingga dinihari.
Selesai tablo yang dramatis nan menyesakkan, makan siang sebentar, jam tiga sudah harus balik ke Gereja lagi untuk mengikuti perayaan penyembahan salib Jumat Agung yang didahului dengan kisah sengsara Yesus yang mendayu-dayu, dibawakan oleh solis-solis terkemuka yang kerap muncul membawakan mazmur dalam misa-misa mingguan sepanjang tahun.
Lalu bagian dimana Yesus meregang nyawa adalah puncaknya. Suasana gereja hening, tiba-tiba suara jernih solois memecah membawakan lagu pilu nan sendu. Isak tangis pun terdengar di sana-sini mengenang kematian Yesus yang harus diterima padahal tak satu kesalahan pun yang dituduhkan kepadaNya pernah terbukti.
Upacara lalu dilanjut dengan penyembahan salib; masing-masing umat maju ke depan untuk mencium salib (bahkan ada beberapa gereja yang menempatkan salib beserta Yesus di dalam peti mati sungguhan, serem nggak sih hahahaha…) dan ini juga adalah pemeras air mata. Tak jarang orang-orang melanjutkan isaknya dengan mencium kaki salib, membuat para misdinar dan pro-diakon yang ditugaskan menjaga salib harus bekerja keras untuk mengelap sisa kecupan yang kadang bercampur dengan air mata dan… ingus yang muncul karena kebanyakan nangis sebelum dicium oleh umat lain yang ada di belakangnya yang juga kemungkinan akan melakukan hal yang sama, nangis, ber-airmata… kadang beringus pula!
Nah, 31 tahun larut dalam budaya menyambut tri hari suci yang sedemikian khusuk, tahulah kalian seberapa ‘duarrr’ nya hati ini mendengar Yang Mulia menyampaikan pesan supaya tak ‘over-sentimental’ tadi kan?
Tapi aku lantas merenung (ya, setelah Yang Mulia bicara tentang hal itu sejatinya aku sudah tak lagi mendengarkan kelanjutan kotbahnya karena larut dalam perenungan tersebut) apa benar kita sejatinya perlu sentimentil terhadap kematian Tuhan yang kita peringati hari ini?
Jangan-jangan memang perlu tapi bisa juga tidak karena alasan yang dikemukakan Yang Mulia tadi?
Otak dan batinku menimang-nimang kedua kemungkinan itu, perlukah? Tidak perlukah?
Aku lantas mencoba berpikir ‘ekonomis’. Kalau perlu sentimentil, apa gunanya untuk kehidupan ini kesentimentilan itu dan apa perlunya pula untuk Tuhan?
Tapi kalau tak sentimentil, apakah itu tanda kita tak berperasaan dan kedap nan beku terhadap apa yang ditawarkan Yesus sebagai sebuah pengorbanan atas dosa-dosa kita sendiri?
Tiba-tiba penggalan Kabar Baik yang ditulis Lukas ini mencerahkan. Saat Yesus memanggul salib dari depan kediaman Pilatus di Yerusalem ke Golgota, beberapa ibu-ibu Yahudi menangisiNya. Alih-alih berterima kasih karena sudah diberi empati, Yesus yang kubayangkan sedang kepayahan memanggul salib seorang diri (Simon dari Kirene belum muncul) itu malah berkata demikian, “Hai putri-putri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu! (bdk. Lukas 23:28)”
Ya! Yesus memang tak perlu ditangisi. Ia adalah Anak Allah, sebelum turun ke bumi tentu Ia sudah ‘di-briefing’ oleh BapaNya tentang apa saja yang akan terjadi selama Ia ditugaskan di tanah ini.
Tapi diri kita dan kehidupan ini, justru itulah yang perlu diratapi dan ditangisi jika kita tak menemukan Yesus di dalamnya! Jadi? Temukan Yesus di dalam hidup dengan jalan melakukan kehendak-kehendakNya bukannya malah ikut-ikutan menangis ketika kita mengenangNya karena bukankah kita tak dikehendaki untuk demikian adanya?
So, jangan kebanyakan nangis lagi meski kalau memang tak tertahankan ya sudah mau digimanain lagi? Tapi pesanku, kalau kamu nangis jangan pakai tissue untuk menyeka air mata dan ingusmu. Ingat ‘dosa ekologis’, pesan Paus Fransiskus dalam ensikliknya Laudato Si untuk menjaga alam dan berapa banyak pohon harus ditebang karena kulitnya dipakai untuk bahan dasar tissue?
Selamat mengarungi keheningan Paskah lebih dalam lagi, Tuhan memberkati!
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan