Jangan pernah memaafkan negara!

2 Jun 2014 | Agama, Cetusan

Penyerangan yang dilakukan terhadap umat yang sedang mengadakan doa rosario di rumah Mas Julius Felicianus minggu lalu itu sudah sangat menyakitkan perasaan eh, lha kok tiba-tiba diimbuhi dengan berita tentang pernyataan pihak kepolisian yang meminta untuk tak mengaitkan peristiwa itu dengan isu agama.

Bagiku ini sungguh tak logis. Setidak logisnya perhitungan pihak The Appeal of Conscience Foundation (ACF) memberikanpenghargaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan kehidupan toleransi beragama di Indonesia beberapa waktu silam. (baca berita selengkapnya di sini)

Jelas-jelas yang diserang malam itu adalah acara peribadatan yang seharusnya dilindungi hak-haknya oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan ini tentu bukan yang pertama dan ternyata bukan pula yang terakhir karena beberapa hari berikutnya, giliran saudara-saudara protestan yang diserang di wilayah yang tak terlalu jauh dari rumah Mas Julius. (Baca berita selengkapnya di sini)

Kalau sudah seperti ini, aku merasa kita, kaum minoritas ini, seperti layaknya kawanan domba yang harus melewati padang ilalang yang penuh dengan predator tanpa pengayom sementara negara dan masyarakat yang lebih banyak diam dan hanya bisa bersimpati hanya bisa mengamati dari pinggiran padang?

Tapi inilah hidup. Hidup yang harus dilalui dengan berbagai cara menyiasatinya termasuk hal-hal di bawah ini?

Sadarilah kekecilan kita

Sayangnya jargon kualitas di atas kuantitas tak berlaku di sini. Kita kalah jumlah, kalah tenaga serta tak cukup bersuara. Sekalinya kita bersuara, ia tak terdengar entah karena tak ada telinga yang mau mendengarkan, atau mereka mau mendengar tapi tak mau bertindak, atau bising suara lain menutup frekuensi suara kita…

Sebagai kawanan domba tanpa pengayom seperti kutulis di atas, tingkat vulnerability kita sangat tinggi, didesak kawanan lain yang jumlahnya lebih besar sekali saja, kita akan tergencet seperti yang sudah-sudah.

Kasus barangkali akan mengudara sebentar di media, kecaman datang dari sini -sana tapi ya sudah? tak berapa lama lalu kasus itu hilang tak berbekas hingga kasus berikutnya muncul mengikuti daur yang sama yang ajeg.

Jadi sadarilah ini sebagai sesuatu yang memang sudah datang dari ?sono? nya, mau-tak-mau, suka-tak-suka…

Maafkan? maafkanlah

Jadi orang Katholik itu berat dan tak mudah. Alih-alih diberi asupan semangat untuk balas menyerang, kita malah diminta oleh Ajaran untuk memaafkan.

Yesus, ketika sedang pedih-perihnya disalib memaafkan para prajurit romawi yang menyalib-siksaNya dengan doa yang terkenal,

?”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat? (Lukas 23:34)

So, do it!
Maafkanlah mereka dengan penekanan pada frase bahwa mereka tak tahu apa yang mereka lakukan!

Dan, hanya orang bodoh yang melakukan sesuatu hal yang mereka sejatinya tak tahu, kan? Jadi mari kita identifikasikan para penyerang itu sebagai orang bodoh yang harus kita terima sebagai mitra hidup yang ada di lingkungan kita.

Apa yang kamu harapkan dari seorang yang bodoh? Nothing! Makanya maafkan dan jangan pernah membuat urusan dengan mereka karena kebodohan mereka yang bisa jadi melakukan hal-hal yang lebih membahayakan lagi tanpa mereka sadar dan ketahui.

Bermasyarakatlah

Membaur itu beda dengan kamuflase.
Kita perlu membaur tanpa harus kehilangan identitas sebagai seorang Katolik. Ibaratnya domba yang tadi kulukiskan berada di tengah lapangan, tinggalkan lapangan itu dan menyatulah dengan mereka yang ada di pinggiran.

Membaur itu tidak dilakukan dengan embel-embel supaya selamat karena percayalah dua hal. Pertama, kita sudah punya cap sebagai minoritas, dan selama cap itu kita pertahankan ancaman itu tetap akan ada. Kedua, ketika serangan itu akhirnya datang juga, kalau kita berharap bahwa masyarakat akan membantu kita, bersiaplah kecewa karena tak sedikit dari mereka yang memilih menyingkir entah itu karena takut masuk ke dalam pusaran masalah atau yang lainnya.

Jadi bermasyarakatlah dan membaurlah sekadar memberi contoh kepada mereka bahwa hanya dengan seperti itu kita bisa menghayati hidup berdampingan yang saling hormat-menghormati.

Berikan kontribusi-kontribusi sosial juga material untuk setidaknya menjadi saksi bahwa kita juga bisa mengabdi pada masyarakat.

Bekerja dan berpenghasilanlah

Minoritas itu kecil tapi jangan lantas kamu jadi miskin dan bodoh!

Cari pekerjaan dan bekerjalah secara luar biasa. Banting tulang dan berkeringat darahlah untuk itu! Kumpulkan uang dan sekolahkan anakmu di sekolah terbaik yang bisa kamu dapatkan yang bahkan tetanggamu sendiri tak sanggup untuk memikirkannya.

Persiapkan masa depan keluargamu terutama anak-anak untuk berbagai macam rencana dari yang paling baik hingga yang paling buruk termasuk kalau sampai harus bermigrasi ke tempat yang lebih aman yang tak diganggu lagi dalam berkeyakinan dan beribadah!

Jangan pernah memaafkan negara!

Selama ini kita tersihir pada pernyataan, ?Jangan pikirkan apa yang Negara berikan kepadamu tapi berpikirlah apa yang telah kau berikan bagi negara??

Kita membayar pajak tapi negara tak tahu diri!

Ubah stigma itu dan camkan dalam benakmu bahwa, ?Kita telah melakukan apa yang seharusnya kita lakukan sebagai warga negara tapi apa yang lantas Negara berikan kepada kita??

Kita lebih sering menjadi korban.
Kita lebih sering dijadikan telenan bagi negara yang sedang menyiapkan bumbu dan masakan yang nikmat tapi kita sendiri dibikin sembilu babak belur dan tak pernah merasakan nikmatnya.

Dan yang paling penting, jangan pernah memaafkan negara kecuali ia meminta maaf kepadamu. Kita hanya memaafkan kepada mereka yang tak mengerti apa yang mereka perbuat, tapi negara adalah penggenggam aturan yang seharusnya menjaga pelaksanaan aturan itu tanpa terkecuali.

Jangan pula pernah memohon yang keterlaluan kepada negara untuk melindungi kita kaum minoritas. Terlalu banyak memohon itu ketika tak terkabulkan, nyerinya sampai ke ulu hati, menyakitkan.

Dan jangan pernah pula berharap terlalu banyak kepada siapapun yang jadi presiden nanti seperti halnya harapan kita yang hampir mati terhadap presiden yang kini. Sepolos maupun segagah apapun ia, tanyakan dalam hati apa kalian yakin mereka mau dan mampu mengalahkan orang-orang bodoh yang menyerang kita tadi?

Kalau kamu tak mampu menemukan jawabannya hingga 9 Juli nanti, ada baiknya kita diam? Di dalam diam ada perencanaan meski di dalam diam bisa jadi juga berarti keputusasaan. Tapi apapun itu, di dalam diam, kita telah menyatakan sikap…

Mereka, Dihinakan tanpa daya
Ya, tanpa daya
Terbiasa hidup
Sangsi
(Kesaksian, WS Rendra)

Sebarluaskan!

18 Komentar

  1. He’eh… sudah bayar pajak tapi ngga tau diri :)

    Balas
    • Hehehe…

      Balas
  2. Apapun alasannya, menganiaya orang lain jelas salah!

    Balas
    • Benar!

      Balas
    • Silakan…

      Balas
  3. tindakan kekerasan mengatasnamakan agama merupakan penghinaan terhadap agama itu sendiri, dan hal tersebutlah yang disebut sebagai bahaya laten terhadap suatu agama. para pendosa yang melakukan kekerasan atas nama Tuhan adalah mereka yang sebenarnya yang hendak menghinakan Tuhan. bukankah Tuhan Agama apapun itu pengasih, pake MAHA lagi…

    Balas
    • Saya nggak menolak tapi juga nggak mengiayakan pendapatmu karena saya masih terlalu kerdil untuk melakukan generalisasi bahwa semua agama punya Tuhan yang sama :)

      Balas
  4. orang yang memang bodoh dari lahir
    memang sulit dijadikan pintar
    apalagi membuat dia sadar bahwa dia bodoh
    karena mereka itu boneka kosong

    Berbahagialah kita orang-orang pintar!

    Balas
    • Aku kurang setuju dengan angapan orang bodoh sejak lahir karena mereka biasanya jadi bodoh setelah mereka beranjak dewasa tapi menolak untuk menjadi pintar :)

      Balas
  5. Memaafkan lebih susah daripada meminta maaf.
    Beruntunglah orang2 pemaaf.

    Balas
  6. Rakyat adalah komoditas!

    Balas
  7. Matur nuwun, Mas Don. Sangat dalem, refleksi yg menggugat dan menggugah. Saya sepakat untuk terus menjadi orang-orang yang tegas bernalar dalam apa pun situasi yang kita alami, baik situasi batiniah kita sendiri maupun situasi yang terus dinamik di depan mata kita. Bravo!

    Balas
    • Makasih Romo In :) Berkah Dalem!

      Balas
  8. Saya nggak berharap ada Tsunami kayak yg di Aceh, yg hanya untuk mengingatkan kebodohan.
    Semoga……

    Balas
  9. Oh ini art-ikel yang menguatkan !
    Sejak pertama mampir untuk membaca beberapa art-ikel Mas Donny , mereka seakan menceritakan setidaknya dua alasan mengapa Mas Donny hengkang dari negeri Garuda ke negeri Kangguru .
    Pertama , agama yang Mas Donny anut adalah minoritas .
    Kedua , Inflasi mata uang , bagaimana beberapa artikel membandingkan harga barang dengan rupiah dan dolar dan yang mungkin agak kuat (masih terlalu lemah) ditekankan pada art-ikel “Emangnya kalau Jokowi menang saya mau pindah ke Indonesia?” .

    Balas
    • Saya tak pernah melarang orang berasumsi.. Silakan berasumsi, Bung. Saya punya alasan yang kuat untuk hengkang dari Indonesia ke Australia dan itu adalah keputusan pribadi saya yang tak gampang saya share ke siapapun :)

      Balas
  10. Mau menambahkan saja, saya belakangan baca, walau kita diajarkan untuk memaafkan tapi bukan berarti kita jadi keset.. Jadi kita memang ga boleh nyerah memperjuangkan hak kita

    CMIIW mas hehe :P
    Maaf kalo jadi ga nyambung

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.