Tadi pagi, ketika sedang bersiap-siap berangkat ke kantor, sekilas aku menyaksikan tayangan infotainment di televisi.
Tayangan yang tak pernah sepi dari pemberitaan para artis itu sedang menyoroti kasus pembajakan film Ayat-Ayat Cinta yang sekarang memang sedang marak diperbincangkan.
Saya sendiri sebenarnya tak tertarik sama sekali dengan film tersebut, dan memang bukan itu yang membuat aku tergelitik tadi pagi.
Aku justru tergelitik dengan komentar dari seorang artis berkait dengan kasus tersebut.
Ia berkata demikian kira-kira:
“…. masa film kita sendiri dibajak? Kalau film hollywood mau dibajak ya ok lah, tapi ini film kita sendiri?”
Saya cuma bisa geleng-geleng kepala mendengar pendapatnya itu.
Dari kacamata seorang nasionalis, mungkin saya akan manggut-manggut setuju seraya berucap kata “Merdeka!” mendengarkan nasionalismenya, kecintaannya terhadap produk dalam negeri sendiri.
Tapi sekarang ini kan bukan jamannya mengembangkan nasionalisme liar tanpa memperhatikan samping kiri dan kanan kita, tho?
Dalam hal-hal tertentu yang menyangkut kemanusiaan, budaya serta karya seni, toh kita harus berparadigma yang lebih luas lagi dari sekedar “membela negara”!
Coba perhatikan detailnya!
Dia mengecualikan keadaan dan sesuatu yang tertentu untuk konteks pembajakan?
Seolah-olah dia berkata bahwa pembajakan itu hanya haram hukumnya bagi produk-produk dalam negeri, sementara bagi produk lain seperti Hollywood misalnya tidak?
Ketika menuliskan artikel ini, sebenarnya penekananku bukan hanya pada sisi pembajakannya saja atau hollywood nya saja.
Tapi yang lebih penting daripada itu adalah bagaimana kita menciptakan pattern/pola dalam otak dan bagaimana pola itu dikeluarkan dari otak secara reflek ketika terjadi keadaan tertentu.
Ketika saya berpikir bahwa saya ingin tidak membajak, berarti seharusnya jangan membajak setengah-setengah.
Ketika saya berpikir bahwa saya ingin tidak korupsi dan tidak nyolong, ya jangan pula ngambil uang meski tergeletak di jalan dan terkesan tidak ada pemiliknya karena itu bukan hasil keringat kita sendiri.
Jujur aku jadi ngeri sendiri kalau memang benar banyak orang ber-pattern seperti si artis tadi.
Aku membayangkan betapa akan tidak menjadi asing untuk kita menemukan konteks pembicaraan seperti misalnya,
“Kamu ini! Masa curi barang milik Mama? Kalau curi barang milik tetangga ya ok lah…tapi ini milik Mama?!”
Jajal, piye nek ngono kuwi?
Sembari berlalu dari muka televisi yang kian hari kian kubenci karena mutu siarannya yang tak juga beranjak membaik itu, aku jadi berpikir
“Wooooh ya pantes kalau banyak film kita dibajak! Lha wong persepsi kita terhadap film dan karya seni asing saja seperti itu rendahnya?”
Kualat tho namanya itu ?
Walah, artis Indonesianya aneh. Gelem nyolong rak gelem dicolong. Weleh weleh.
Nek aku yo, tetap tidak membeli bajakan, opo meneh CD. Lha tapi urusane DVD ki rodo “angel”, tur larang, jeh mas. Hihihi.
Jadi, nongton bioskop wae :D
kita ini memang ga punya budaya malu… bukan begitu bos? ;)