Sungguh susah untuk menjelaskan kepada Tunggonono tentang kejadian banjir di Jakarta.
Mungkin sama susahnya untuk Bang Kumis membendung banjir yang melanda kawasan yang dipimpinnya itu ya.
“Jadi piye Bos? Kok bisa cuma hujan sebentar langsung meluap begindang?[1]” tanya Tunggonono beberapa malam yang lalu.
“Halah… mentang-mentang ngomong soal Jakarta kok lalu pake begindang segala lho!” sergahku sambil membetulkan posisi kursi.
“Hehehehe.. lha iya, ya udah.. tapi dijelasin tho Bos!”
“Weh, kamu itu, udah kujelaskan dari tadi… kupinjami koran untuk dibaca… kok ya masih belum nyaut. Coba kutanya, ketidaktahuanmu itu di sebelah mananya tho?”
“Lha ya itu tadi, lha wong hujan cuma sebentar kok njuk tiba-tiba Jakarta sudah berkuah?!”
Sejujurnya saya ingin ketawa juga mendengar pengistilahan Jakarta Berkuah dari mulut Tunggonono, penjaga malam klangenan[2] saya ini. Tapi saya tahu, kalau saya tertawa nanti ada dua
kemungkinan, yang pertama mengingat sifat preman ndesonya, dia bisa esmosi dan urat di tenggorokannya bisa sekelingking besarnya kalau ngomong. Yang kedua, dia nanti malah bisa jadi
gede kepala karena dia merasa sudah bisa bikin saya ketawa.
“Begini lho!
Yang pertama jelas karena posisi Jakarta terutama yang bagian utara itu semangkin lama semangkin klelep[3] oleh laut utara.
Lalu yang kedua bukit=bukit di Puncak itu sudah pada rimbun oleh villa dan gundul oleh pohon-pohonan. Jadi, ya kamu tahu sendiri waktu hujan turun gitu gak ada penahan air di Puncak selain kolam
renang-kolam renang yang ada di setiap villa itu saja.
Sedangkan di bagian utara, klelep oleh laut plus air luapan kali itu tadi! Sementara di tengah-tengah Jakarta kawasan hijau juga semangkin hilang diganti dengan mall-mall serta hotel dan apartment
yang menjulang!”
“Woooo gitu tho… lha ya tapi kok ya saya nggak hilang herannya lha wong Jakarta itu kota yang maju bin terdepan kok ya bisa kebanjiran. Kemarin malah Pak SBY sampe harus pindah mobil
segala tho Bos?”
“Lha iya, tapi yo banjir itu memang sama dengan bencana alam lainnya, nggak pandang bulu mau kena di kota kecil atau kota besar. Siapa nyana juga kalau Jogja kena gempa dua tahun lalu!”
“Woohhhh.. itu rak beda tho Bos. Kalau gempa itu kan bukan bikinan manusia tapi kalau banjir itu kan miturut petunjuk Bos tadi karena buatan manusia!”
“Hehehehehe… lha itu.. kamu samsoyo[4] pinter, Nggon!”
“Halah si Bos ini. Pinter ya pinter tapi ya tetep nggak ngerti aku kenapa kok Jakarta itu gampangnya banjir meski cuma hujan sebentar aja. Lalu gimanaaa kalau hujan 40 hari 40 malam
kayak jamanne Kanjeng Nabi Nuh dulu itu?”
“Wehhh… kok kamu udah cross-topic tho sampai nyangkut-nyangkutin legenda tempoe doeloe gitu? Ora ilok![5] Yang sekarang ya dibahas sekarang! Banjir ya banjir! Yang penting sekarang
tinggal gimana mbikin supaya gak banjir lagi besok-besoknya di Jakarta!”
“Lha njuk caranya gimana?”
“Lha mbuh, aku ya ndak tahu… Kalau aku udah tahu ya aku wes ndaptar jadi gupernur Batavia tho ya!”
“Berarti ya berat ya tugas Bang Kumis itu?”
“Ya berat kalau dianggap berat, tapi ya enteng kalau dianggap enteng, Nggon”
” Halah si Bos, lha wong banjir gitu kok dibilang enteng lho!”
“Lhoo kalau aku jadi beliau aku akan anggap enteng aja soalnya banjir ini bukan kasus yang mak bedhundhuk[6] muncul! Ini warisan sejak kakek-nenek kok!
Sejak bangunan-bangunan itu pada berdiri baik di Jakarta maupun Puncak! Jadi ngapain dibikin susah?”
“Lha kalau Pak Gupernur nggak bisa mrantasi ya[7] mending mundur aja tho?”
“Woooo luambemu[8], Nggon, nggon sajaknya kayak pendemo aja. Bukan itu solusinya! Kalau semua mundur gitu aja ya setiap turun hujan, para gupernur itu harus siap-siap mundur lho!”
“Lha njuk solusinya apa menurut si Bos?”
“Hmmmm….. pindah!”
“Pindah?”
“Iya, pindahkan Jakarta!”
“Lha njuk Jakarta diapain kalau pada pindah? Njuk pindah dimana gituuu”
“Hehehehe aku kali ini nurut kowe saja, Jakarta dijadikan kota berkuah saja, njuk ditanemi enceng gondhok dan dibiarkan buat beranak pinak ikan-ikanan yang selama ini sudah sedemikian
ditelantarkan! Lalu, sepuluh tahun kemudian jadikan museum alam! Sementara penduduk dan pemerintahan pindah dari Jakarta ke Jogja atau Bogor. Beres tho?”
“Hihihihi.. si Bos bisa aja, jadi bagus ya istilah Jakarta Kota Berkuah?!”
“Sak karepmu hihihih… tapi kali ini kowe kuakui lucu tenan Nggon!”
Dan beda dari hari-hari sebelumnya, malam itu pun kami habiskan dengan penuh haha-hihi.
Terlebih ketika kami sama-sama menonton iklan di tivi tentang perumahan di Jakarta. Janjinya sak tapruk![9] Dibilang ada lapangan tenis lah, ada kolam renang lah, ada fitness center lah,
ada akses internet lah.. tapi nek kampung-kampung sekelilingnya kebanjiran ya podho wae, berkuah!
Bener ra?
gambar diambil dari sini
- begitu
- kesayangan
- tenggelam
- semakin
- tidak pantas
- tiba-tiba
- mengatasi
- mulutmu
- banyak sekali
karena diminta oleh sang pemilik blog maka saya tulis juga; “menurut saya mas don akhir – akhir ini jadi terlalu santun”
sekian.
kuah di jakarta memang nikmat, bahkan paling nikmat ketika mendekati penghabisan.. banyak rempah-rempah yang tertinggal di mangkuk..
Berkuahmu iku loh sek marai ra tahan. hahahaha
di patenkan aja don pie? ide bagus tuh :D
@Ray: lha monggo :) mbok dibantu kan situ yang linknya di internet buanyak hehehe
Apung; yah… ikut prihatin untuk kamu yang “ikut jadi berkuah ya” hahahaha
Konco lawas urun nggambleh, Don! Jakarta dijadikan proyek percontohan ibu kota negara bawah laut saja. Pertama di dunia lho. Bisa masuk guinek booss … eh … guiness book of wrold recrord .. alah, ilat Jowo.
Konco lawas urun nggambleh, Don! Jakarta dijadikan proyek percontohan ibu kota negara bawah laut saja. Pertama di dunia lho. Bisa masuk guinek booss … eh … guiness book of wrold recrord .. alah, ilat Jowo.
hehe… miturut yang saya dengar dari dongengnya nabi Nuh, yg nggak nekat ndak mau ikut kapal itu, nantinya kelelep semua lho…
ayo… siapa yang mau menyelamatkan diri? kok koyo cuma jakarta aja to, tempat nyari hidup..
jare koncoku, si pak kumis kuwi lulusan arsitek. mestine luwih jago ngurusi jakarta sing mung sepersekian wilayah Indo. tp, buktine opo? kapusan kabeh! hehehe
@Kris: Yo ra iso dibilang gitu yo… Lha arep piye lha wong dia naik waktu masalah udah sedemikian runyamnya. Yang pasti, persiapkan dirimu yang akan tinggal di Jakarta itu dengan sendal jepit dan perahu karet, Kris. Hidup Bang Kumis!!!!