Kalian yang pernah tinggal di Jogja mungkin sangat mengenal keberadaan angkringan dan warung burjo khas akang-akang yang kebanyakan berasal dari Kuningan, Jawa Barat?
Kedua tipe warung ini seolah menjadi lifelines mahasiwa berkantong pas-pasan sepertiku dulu karena pilihan makanan dengan range harga ?rendah? berserakan di atas meja jualnya. Tapi sebenarnya tak hanya terkait kantong, soal keakraban dan aksesibilitas waktu (biasanya buka sampai larut bahkan pagi!) yang ditawarkan adalah ?sesuatu? dan tak bisa ditemukan di tempat lain.
Tapi, sejak beberapa waktu silam, coffeeshop adalah pilihan lain selain angkringan dan warung burjo-an meski entah dari sisi kantong, apakah kita bisa menyamakan ketiganya atau tidak, itu lain perkara?
Nah, terkait dengan tempat nongkrong di Jogja, kali ini aku menginterview seorang kawan lama yang kukenal di Jogja. Seorang kawan nongkrong dan berdiskusi, pernah bekerja dalam satu perusahaan yang sama pula dan hingga kini masih setia menjadi penduduk Jogja.
So, ladies and gentlemen… please welcome, Bung Iwan Pribadi a.k.a Temukonco!
Bung, kehadiran coffeeshop di Jogja itu awal mulanya seperti apa sih?
Sebenarnya coffeeshop sudah ada sejak lama di Jogja. Mereka menyebar di hotel-hotel dan beberapa pusat perbelanjaan, akan tetapi karena lokasi dan situasinya, maka seolah mereka tak terjangkau orang awam, khususnya mahasiswa.
Akan tetapi sekitar pertengahan 2002, ditandai dengan berdirinya Jazz Coffee, coffeeshop yang lebih terjangkau lahir dan tumbuh. JazzCoffee inilah coffee shop pertama yang mendekatkan diri kepada kawan-kawan mahasiswa sehingga bisa diterima dan dinikmati sebagai sebuah “tempat nongkrong”.
(Catatan: Jazz Coffee adalah sebuah coffeeshop yang eksis pada era 2000an berlokasi di kawasan Kotabaru tapi lantas pindah ke Jl Gejayan (Sekarang Jl Affandi))
Aku memandang hadirnya coffeeshop ini sebagai penambahan opsi ‘nongkrong’ di Jogja dari yang semula hanya kenal ‘angkringan’ dan ‘warung burjo’ . Menurutmu?
Sejak hadirnya Jazz Coffee dan diikuti coffeeshop-coffeeshop lainnya, coffeeshop seperti itu lantas memang benar jadi tambahan opsi tempat nongkrong. Uniknya, mereka hadir bukan sebagai penggusur tempat-tempat nongkrong lainnya yang sudah ada dan lebih dahulu memasyarakat di Yogyakarta seperti angkringan dan warung burjo.
“…kenikmatan dan sensasi yang muncul ketika nongkrong…berbeda-beda dan tak dapat dipertukarkan satu dengan yang lain.”
Hal ini terjadi karena walaupun sama-sama tempat nongkrong namun kenikmatan dan sensasi yang muncul ketika nongkrong di ketiga tempat tersebut berbeda-beda dan tak dapat dipertukarkan satu dengan yang lain.
Lalu kenapa banyak yang nongkrong di coffeeshop? Apakah mereka meninggalkan angkringan dan burjo-an?
Hmmm, bisa jadi ada yang nongkrong di sini karena alasan gengsi dan lebih “berkelas” ketimbang di angkringan, Namun sepengetahuan saya, kawan-kawan yang nongkrong di coffeeshop juga tidak keberatan dan bahkan tetap sering juga nongkrong di angkringan ataupun warung burjo.
Kebanyakan mereka, dan kebetulan juga saya, memilih coffeeshop dalam rangka mencari suasana yang selama ini tidak bisa ditawarkan oleh angkringan biasa atau warung burjo, misalnya untuk presentasi kerjaan, diskusi kelompok, menemani klien, nembak gebetan, atau sekedar menyendiri di pojok sambil membaca buku dan hanya berteman segelas kopi, dengan harga tidak semahal di hotel-hotel atau tempat minum lainnya.
Lagipula masing-masing memiliki karakter yang berbeda.
Misalnya di angkringan, kenikmatan ngeteh sambil kaki satu diangkat di bangku ala angkringan akan sukar ditemukan di coffeeshop, kehangatan mie instant goreng telur atau burjo ketika perut lapar di pukul 3 dini hari seperti yang biasa diberikan warung burjo, akan sukar dilayani oleh coffeeshop.
“untuk masyarakat Jogja, perbedaan tempat nongkrong itu semata-mata masalah keperluan dan kepatutan sesuai apa yang dibutuhkan..”
Jadi ya gitu deh, untuk masyarakat Jogja, perbedaan tempat nongkrong itu semata-mata masalah keperluan dan kepatutan sesuai apa yang dibutuhkan, bukan karena pertimbangan gengsi dan peng-kasta-an tempat nongkrong.
Tapi aku tetap tak percaya bahwa kehadiran coffeeshop pada akhirnya tak membuat pembeda kelas antara mereka yang biasa nongkrong di sana dengan mereka yang masih suka ke angkringan dan burjo kuningan itu. Nah pertanyaanku sekarang, katakanlah kamu tak setuju dengan pendapatku barusan, bisakah kamu jelaskan bagaimana coffeeshop yang ada di Jogja itu bisa membawa ‘nyawa’ jogja ke dalamnya?
Ah iya, saya lupa kalo gambaran yang saya ceritakan itu adalah pada tahun 2002-an ketika Jazz Coffee awal-awal berdiri. Jadi waktu itu gambaran yang ada di kebanyakan pengunjungnya adalah “Ini sebagai sebuah tempat nongkrong alternatif”. Jadi belum ada pikiran untuk sok njakarta2an, yang ada adalah “tempat nongkrong yang asyik, bisa bertemu dan mendapat kawan baru di sana, hampir pasti bertemu seseorang untuk ngobrol, dan atau bahkan bisa juga untuk berkontemplasi sendiri di situ.”
?Ini sebagai sebuah tempat nongkrong alternatif?. Jadi belum ada pikiran untuk sok njakarta2an…
Namun ketika itu berkembang menjadi sesuatu yang membawa “nyawa” Jakarta, sebenarnya tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena memang kok ndilalah yang sering nongkrong di sana adalah mereka yang dari Ibukota atau luar Jogja yang secara kultural lebih berkiblat ke Jakarta.
Selain itu, sebenarnya pun Angkringan juga tidak bisa dikatakan sepenuhnya membawa nyawa Jogja karena yang dibawa adalah nyawa Bayat – Klaten atau Wonosari – Gunung Kidul (konon bisa ditebak dari bentuk ceretnya), sementara kalau Warung Burjo/Indome membawa nyawa “Kuningan – Jawa Barat”.
Namun demikian, “nyawa” Jogja sebenarnya masih bisa ditemukan di dalamnya selama yang ditawarkan di sana adalah persahabatan, saling menghargai, obrolan-obrolan “bodoh” yang sebenarnya cerdas, dan tidak membeda-bedakan para pengunjungnya hanya berdasarkan SARA, status ekonomi, dan latar belakang keluarga.
Nah, brarti secara tak langsung, coffeeshop pun telah berubah?
Iya…
Sayangnya kalo ditanya saat ini di mana di Jogja ada Coffee Shop seperti itu, nampaknya juga sukar dicari (atau saya belum pernah tahu dan mengunjunginya), karena coffee shop – coffee shop yang baru muncul setelah Jazz Coffee, benar-benar men-Jakarta, ?Nyetarbak?, atau nge-FRIENDS, tanpa sadar bahwa komunitas dan kebersamaan adalah hal yang dicari orang ketika di Jogja, bukan semangat snob-snoban gitu :D
Semoga kelak ada yang bikin Coffeeshop dengan semangat seperti Jazz Coffee ya…
Ok. Tapi sik, sebentar… Aku mau tanya, ciri budaya nJakarta itu piye dan nJogja itu yang gimana tho? Apa ada yang salah dengan budaya jakarta sehingga seolah-olah ingin kita singkirkan dari muka bumi Jogjakarta? Apa ini terkait isu politik yang menghangat akhir-akhir antara pemerintahan pusat dengan Kraton Kasultanan Jogja?
Kalo menjelaskan ciri budaya nJakarta dan nJogja itu sebenarnya sangat subyektif dan sangat terbuka peluang untuk didebat karena pengalaman kultural saya pastinya sangat berbeda dengan mereka yang biasa dan sudah lama di Jakarta.
Tapi sejauh yang saya alami selama ini, ciri budaya Jogja yang bisa sangat membedakan dengan Jakarta adalah gaya hidup yang cenderung lebih santai, masyarakat yang ramah, guyub rukun, dan tidak se-individualistis seperti di Jakarta.
Jadi bukan karena budaya Jakarta ?salah?, tapi lebih karena masyarakat Jogja kurang merasa nyaman jika harus menerima dan menerapkan…
Warga Jogjakarta yang selama hidupnya telah merasakan nikmatnya dan nyamannya hidup dalam kondisi seperti itu, tentu saja merasa terganggu dengan masuknya budaya-budaya yang bertolak belakang dengan apa yang telah ada tersebut, dan berusaha mencegahnya sebisa mungkin.
Jadi bukan karena budaya Jakarta “salah”, tapi lebih karena masyarakat Jogja kurang merasa nyaman jika harus menerima dan menerapkan budaya Jakarta di dalam kehidupan individu dan bermasyarakat di Jogja.
Kalau kaitannya dengan isu politik, keliatannya tidak sampai sejauh itu sih. Mungkin memang ada beberapa simbol-simbol budaya yang diusung untuk memperkuat argumentasi dan kekuatan tawar-menawar politik baik oleh pusat maupun Keraton. Namun yang jelas, pada kenyataannya, bagi masyarakat Jogja, budaya Jogja itu jauh lebih luas dan bermakna dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari mereka terkait dengan hubungan antar manusia, antara manusia dengan lingkungan, dan antara manusia dengan Tuhan.
Nah sekarang kan kamu bekerja di salah satu coffeeshop Bung? Menurutmu gimana prospek coffeeshop di Jogja? adakah ia sudah mencapai titik maksimal dan sedang turun trendnya? Atau ia akan abadi selayaknya angkringan dan burjonan itu?
Hihihi… Mungkin istilah terjun ke bisnis coffeeshop bisa disalah artikan bahwa saya memiliki sebuah coffeeshop.
Walaupun saya ingin sekali memiliki sebuah coffeeshop (bayangan saya coffeeshop-nya seperti yg dimiliki Jude Law di film My Blueberry Night hahaha ), namun sampai saat ini status saya adalah Marketing Communication di sebuah Kopitiam di Jogja. Jadi belum sampai di level memiliki :)
Jika memosisikan diri sebagai sebuah tempat nongkrong, mungkin bisa dibilang sudah mendekati titik jenuh dengan kian menjamurnya coffeeshop di mana-mana di Jogja.
Jenuh di sini bukan maksudnya orang jadi males ke coffeeshop, akan tetapi lebih karena pangsa pasarnya coffeeshop di Jogja tumbuh berkembang tidak secepat menjamurnya coffeeshop tadi.
…akan tetapi lebih karena pangsa pasarnya coffeeshop di Jogja tumbuh berkembang tidak secepat menjamurnya coffeeshop tadi.
Ditambah lagi, coffeeshop yang ada tidak memberikan nilai tambah lain pada diri mereka selain sekedar tempat nongkrong.
Untuk keluar dari masalah itu, maka beberapa coffeeshop melakukan pendekatan yang berbeda. Hal yang paling mencolok akhir-akhir ini adalah usaha untuk mengangkat semangat “back to local”.
Maksudnya?
Pada perwujudan paling nyatanya adalah alih-alih menjual kopi-kopi ala landha (machiato, cappuccino, dan sejenisnya) tanpa menjelaskan berasal dari mana asal biji kopinya, warung kopi-warung kopi yang ada sekarang lebih percaya diri dan bahkan bangga memiliki dan menawarkan kopi-kopi lokal seperti Kopi Gayo, Kopi Toraja, Kopi Lampung, dan sebagainya.
Tidak berhenti di produk saja, kemasan warung kopi itupun sekarang banyak yang lebih menggunakan gimmick-gimmick lokal ketimbang menggunakan gimmick ala luar negeri macam setarbak itu.
Sebagai contoh dibandingkan coffeeshop baru, akhir-akhir ini bermunculan Kopitiam-kopitiam di Jogja, yang walaupun kata Kopitiam berasal dari bahasa slank Hokkian, namun keberadaannya secara historis dan kultural cukup erat dengan Indonesia.
Selain itu masih terdapat pula beberapa warung kopi baru yang alih-alih menggunakan kata “cafe” atau “coffeeshop”, mereka lebih memilih kata “warung” atau “kedai”.
Sehingga dengan demikian, coffeeshop bukan sekedar tempat nongkrong saja tapi sekaligus tempat memperkaya pengetahuan khususnya tentang kopi dan mempertebal kebanggan sebagai bangsa Indonesia karena sebenarnya kopi kita cukup punya nama di dunia.
Melihat dari perkembangan tersebut, saya kira coffeeshop atau kedai kopi tetap akan ada dan terus akan ber-evolusi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman. Mungkin kurang lebih sama seperti Angkringan yang akhirnya juga melayani menu burjo rebus/goreng, atau warung burjo/burjo yang akhirnya juga menjual nasi sarden telur, atau bahkan menjual ayam atau lele penyet lengkap dengan sambel dan lalapannya. :)
Credit foto oleh @lelakibudiman
sekitar th 2000an, mbatam sangat langka menemukan coffeeshop, tapi tahun 2005-an sampai sekarang, coffeeshop sudah berserak dimana-mana termasuk tahun kemaren, 2 warung setarbak masuk mbatam.
yg luar biasa, kopitiam masih sebagai tempat favorit bagi kaum glundungan seperti saya karena rasa dan harga :)
begitu juga angkringan, tahun2 terakhir ini sudah mulai ramai di batam, tapi yagitudeh, keangkringan hanya sbg tempat gojekan, soal rasa masih nomer sekian.
yak… aku kudu meninggalkan jejak iki mas donny…
wah ketemu mas Iwan nang Kopitiam po? :D
seneng deh cerita2 gini… mbok kapan2 saya melu…
*mulai ra penting* *dikeplak*
Masukkin dalam list kalo main ke Jogja nanti :)
bagi yg anti budaya barat, pasti akan menghindari warung burjo, karena burjo itu adalah budaya barat !!
*Kuningan baratnya Jogja
nasi kucing aja mas… dulu tidak ada seperti ini di jogya… paling keren mirota tuh… :)
Kukira, semuanya akan mengalami perkembangan, termasuk Angkringan dan Burjo.. Di beberapa tempat, kulihat sudah ada warung yang didesain sedemikian rupa dengan judul “Angkringan”. Menu dan suasana yang disajikan tetap angringan, namun space yang disediakan lebih luas dan menyesuaikan dengan kebutuhan pengunjung.
Contohnya Angkringan yang terdapat di daerah Krapyak. Menu dan suasana tetaplah angringan, namun diberi tambahan fasilitas seperti Wi-Fi, dll. Ini salah satu bentuk kemajuan yang tetap mempertahankan ciri khas. Dan aku sangat suka berada di situ.. :)
Ada kawanku di Aceh yang memiliki warung kopi bernama Solong Coffee.. Menunya sangat khas kopi Aceh, namun fasilitas yang diberikan, sangat bisa memenuhi kebutuhan masyarakat modern. Dan aku pikir, mestinya ini bisa juga dilakukan di Jogja..
Kalau di Jakarta, aku memang kerap bertemu orang di coffe shop, tapi kalau di Jogja, orang-orang yang mau bertemu aku malah tak ingin diajak ke coffe shop. Mereke bilang, “Jauh-jauh ke Jogja masak harus nyetarbak lagi” :)
namanya juga kota.. tetep akan berkembang kan yak.. mau diatur sedemikian juga biar tetep menjadi jogja apa adanya pasti susah dan banyak kendala.. mending jadi jogja wajah baru dengan hati sama aja ;)
Rasanya akan agak sulit untuk menghadirkan suasana/kebutuhan era 2002 an di ms sekarang. jaman&tekn. mengubah sebagian kebiasaan & kebutuhan orang. Suasana ‘guyup rame’ & simple berkurang, diganti dg keasikan individual berkomunikasi sec. virtual dg segala kecanggihan gadget yg ada.
Percakapan krg bs mengalir terpotong sinyal2 yg dtg, Tidak ada yg salah krn jaman mmg bs berubah
Wah narasumbernya kurang, harusnya ditambah lagi dengan pemilik CoffeShop & Angkringan :D
Soal budaya Jogja dan Jakarta itu aku jadi ingat omongan kakakku. Dia suka bilang, “Wong Jakarta ki nggaya-nggaya.” Awalnya aku agak nggak mudeng apa yang dia maksud. Tapi setelah tinggal di Jakarta, aku jadi tahu maksudnya. Memang kurang lebih seperti yang kamu tulis di atas. Tapi ini soal “rasa” juga kukira. Lebih gimana ya? Orang Jakarta lebih nyetil kali ya? Hehehe. Tapi aku lebih suka yang gaya Jogja sih. Lebih santai dan lebih akrab. Itu kesanku sih. Mungkin ini subjektif.
Aku jadi kangen angkringan Jogja dan wedang jahenya…
Jogja sekarang lebih “metropolis” menurutku. banyak distro-distro ala mBandung, coffeshop ala setarbak dsb…
apalagi kalau liburan. hedehhh… sumpek. jalanan penuh, macet seolah semua orang tumplek blek di situ.
asanya kok suasana yg “Jogja banget” tahun 90an itu nggak sehangat dulu ya…
Aku kangen suasana saat itu.. jaman memang berubah, kebutuhan berubah, dan kita tak bisa menghentikan semua kemajuan itu hanya demi sebuah alasan ingin merasakan Jogja tahun 90an…
belum pernah ke coffeshop Yogya (padahal angkringan juga belum pernah hahaha)
Nanti deh kalau ke Yogya mau cobain
Aku pada dasarnya ngga suka nongkrong sih