Israel…

12 Jun 2010 | Cetusan

Bagaimanapun juga, Mel Gibson terhitung sukses berat mengusung kisah sengsara Yesus dalam film yang begitu ‘menyayat-yayat’, Passion of the Christ. Enam tahun silam, ketika film ini dirilis untuk pertama kalinya, aku termasuk orang yang tiba-tiba tergila-gila pada film itu, baik secara teknis pembuatan maupun kisah sengsara Yesus itu sendiri, sesuatu yang seharusnya memang perlu selalu ‘digilai’ oleh seorang Katolik seperti aku.
Namun ternyata tak hanya itu, secara tak kusengaja, ada perasaan sentimen dan kebencian yang membukit terhadap bangsa Israel setelah menikmati Passion of the Christ.
Pasalnya adalah dalam film tersebut, visualisasi tentang bagaimana Anas dan Kayafas, dua imam besar Israel memainkan intrik politik untuk menjerat dan menyerahkan Yesus kepada pemerintahan pendudukan Romawi di Israel (yang kemudian menjatuhkan hukuman mati terhadapNya) tampak begitu nyata dan sangat antagonis sekali.
Tapi untunglah, rasa itu hanya muncul sementara dan sesudahnya hilang menghablur.?Aku mengikis rasa itu dengan berpikir analogis sederhana seperti di bawah ini:
Sebagai orang Indonesia, tentu aku tak ingin dinilai sebagai ‘bangsa penjajah’ oleh orang-orang Timor Leste hanya karena pemerintah negaraku pernah dianggap melakukan ‘invasi dan okupansi’ terhadap Timor-Timur 34 tahun silam.
Sebagai orang Indonesia, tentu aku tak ingin dinilai sebagai ‘bangsa bomber’ hanya karena ulah sekian orang yang kebetulan sama-sama orang-orang Indonesianya dan ‘ngebom’ Bali tahun 2002 mengakibatkan korban lebih dari 202 orang tewas serta 209 lainnya cedera…
Dari situ aku lantas berkesimpulan bahwa alasanku untuk membenci sebuah bangsa hanya karena tindakan segelintir orang yang kebetulan bersuku bangsa sama adalah alasan yang tak masuk akal. Bagiku, tak ada yang bisa dinamakan sebagai dosa suku bangsa karena kalaupun dosa itu benar-benar ada, ia melekat pada setiap persona, bukan?
Hari Senin kemarin aku kembali mengingat peristiwa di atas.
Pada acara perpisahanku di kantor lama, dengan bebas merdeka aku menjabat erat Lapinski, rekan kerjaku yang bersuku bangsa Israel. Kami tak pernah bermasalah, bekerja dengan damai dan terbukti dalam satu setengah tahun, aku dan dia adalah tim kerja yang apik.
Tak sekalipun kami pernah meributkan apa yang pernah terjadi 2000 tahun silam antara imam besar bangsanya terhadap Yesus, manusia yang Tuhan, Tuhan yang manusia itu. Bukan karena aku tak peduli atau meletakkan kedamaian di atas kebenaran, tapi sekali lagi lebih pada pemikiran bahwa salah benar dan baik buruk orang itu melekat pada personal dan bukan suku bangsa juga agama seseorang.
Selamat berakhir pekan…
Sumber foto: Detik

Sebarluaskan!

38 Komentar

  1. aku suka tulisan ini.
    satu hal yang kadang merasa membuat aku jadi bego sendiri kalau lagi kebingungan mengapa harus menganggap bangsa I brengsek sementara bangsa lain yg juga tidak kalah brengsek tidak tersorot. semua hanya berdasarkan penilaian emosional historis yang konyol.
    hmmm… sama seperti alasanmu itu, walaupun sejarah mengatakan begini begitu, gak sepantasnya kita menghakimi karena generalisasi sebuah ras, golongan, atau agama. itu sama dengan kita menempatkan posisi sebagai orang yang berterima kasih kepada hitler yang sudah melenyapkan banyak yahudi. hail hitler hehehe…

    Balas
    • Hahahah makanya jadi ambigu ya..
      di satu sisi orang menghujat Hitler tapi di sisi lain.. ah you know lah hehehe

      Balas
  2. ..
    biasanya orang yang merasa paling benar justru orang yang tersesat..
    ..
    kayaknya buang-buang energi, saat mengutuk dan membenci negara lain..
    ..

    Balas
    • Betul.. kayak ngga ada kerjaan lain aja ya hehehe

      Balas
  3. Andai saja orang lebih mengandalkan cara pandang objektivitas, tak subjektivitas, maka yang muncul tentu rasa tentram dan damai, Om. Karena, tentu tak begitu gampang menilai sesuatu, apakah itu oknum, suku, atau pun bangsa.
    Salam kekerabatan.

    Balas
    • Hehehehe jadi intinya obyektifitas ya, Pak? Sepakat!

      Balas
  4. kemajuan media memang bisa bikin lengah… penafsiran pada akhirnya tergantung masing2 pribadi, bisa bijak, bisa juga merugikan. Untungnya sampeyan termasuk dlm kategori bijaksini heheh… nice share bro…

    Balas
  5. Luar biasa dech cara pandang Mas Dony salut banget …jadi artinya kita enggak boleh melakukan gebyah uyah ( apa ya basane landa ..?) terhadap suatu kaum apa suku apa bangsa oleh karena barangkali pemimpinnya melakukan kesalahan.
    Namun hal itu kadang sulit dilakukan apalagi kalau media udah ikut ikutan…kita kita jadi terpengaruh Mas…(sebelumnya matur tengkyu telah mampir di Blog saya)

    Balas
    • Hehehe.. hidup memang harus terus belajar, Mas.. makanya sulit hehehe

      Balas
  6. sepakat…., kebencian memang tak selamanya salah; tapi itulah kedirianQu, mungkin juga anda. yang penting jgn sampaelah kita bunuh-bunuhan hanya karena ulah kebiadaban segelintir manusia kebelinger.

    Balas
    • Betul.. kebiadaban adalah musuh kita bersama…

      Balas
  7. Saya pikir sih kasusnya agak sedikit beda dengan Timor-timur friend…karena Timor-timur waktu direkrut sama Indonesia, tidak diperuntukan untuk menampung orang Indonesia lain di luar timor-timur.
    Sementara negara Israel yang tadinya tidak ada, dibangun memang untuk menampung kembali warga Yahudi yang sudah tercerai berai. Dan PBB menyetujui ini karena merasa bersalah dulu tidak membantu Yahudi waktu holocaust terjadi. Jadi pegambilan lahan, kemudian pembangunan tempat tinggal erat kaitannya dengan tujuan awalnya tadi.
    Itu kenapa sering dikaitkan erat antara Israel dengan Yahudi dan Yahudi dengan Israel. Karena sejatinya memang itulah artinya Zionis yaitu kembali ke tanah. Walaupun tidak semua Yahudi mendukung Zionisme dan pastinya tidak semua mendukung pendirian negara Israel di tanah Palestina, tapi saya pribadi bisa memahami jika ada orang yang melekatkan Zionisme sama dengan Yahudi. Karena Negara Israel memang dibangun untuk kaum Yahudi.

    Balas
    • Friend, tulisan ini juga tidak mengungkap soal bandingan antara Israel – Palestina dengan Indonesia – TimTim :) Saya hanya sharing soal bagaimana saya mengenyahkan rasa benci saya terhadap Israel :) Itu saja…

      Balas
      • Iya friend, saya paham maksud tulisannya…cuma karena di atas juga ada tentang Timor-timur, tinjauan saya jadi ke arah sana. Makanya itu saya bilang saya bisa paham (bukan berarti menyetujui) gimana orang selalu mengeneralisir Yahudi (apalagi penduduk Israel) secara keseluruhan sebagai penyebab kehancuran, karena tujuan awal pembangunan negaranya, sudah bertentangan dengan prinsip awal orang yang mengerneralisir tersebut.
        Mungkin mudahnya, yah…berbeda efek psikologisnya antara kolonialisasi (macam dulu Indonesia dianggap merebut Timtim) dengan zionisme (kembali ke tanah macam Israel sekarang).

        Balas
  8. katanya mas…mujan sehari bisa menghapus kemarau setahun.
    dan setitik nila akan merusak susu sebelanga.
    dan itu perumpamaan bodoh! hohohohoho *bingung nyarinya soalnya*
    intinya apapunyg dilakukan segelintir orang tidka boleh menjadikan kita menyama ratakan negara/suku tempat dia lahir dan dibesarkan. kita harus melihat individunya sendiri….sudahlah ini sudah balik ke pribadi masing2 :)

    Balas
  9. bener sekali, mas don. suku dan ras apa pun menjadi hak prerogatif Tuhan semata, sehingga kita tdk berhak utk membencinya, hanya karena ulah sebagian di antara mereka yang tercela. tapi biasanya, ulah beberapa gelintir orang cenderung akan merembet ke ranah yang lebih besar. “kebo gupak neler2,” begitu kata kakek saya, hehe ….

    Balas
    • Betul Pak Sawali… tapi satu soalan yg nyempil, kadang kita jadi sok “tuhan’ dan merampas hak prerogatif Beliau menjadi seakan hak kita…

      Balas
  10. Sudah terbukti toh, bangsa israel adalah bangsa tak beradab terhadap Palestina, tapi bangsa biadab. Kekejaman selama ini adalah bukti nyata, kawan. Jadi tindakan Hitler sedikit ada benarnya, menurut logika jongkok saya. Berpendapat boleh beda, ya, mas Don. Kalau bertindak/action silahkan pribadi-pribadi yang melakukannya. Saya pecinta damai, tapi kalau untuk mendapatkan damai harus berdarah itulah harganya. Piiis…

    Balas
    • :)) Saya tidak memasukkan unsur konfrontasi antar bangsa Bung :)
      Saya hanya cerita soal pengalaman saya… :)
      Piss juga

      Balas
  11. biarlah tuhan yang membalasanya dan hidup damai di dalam perbedaan pasti terasa indah

    Balas
  12. hehehe … subjektivitas sudut pandang kita terhadap israel tergantung informasi yang kita dapat masing-masing ya Mas Don, dan bagi saya apa yang dilakukan Israel bukan sebatas perlakuan segelintir individu .. tapi perlakuan sebuah bangsa terhadap bangsa lain. piss yo mas don .. piss :)

    Balas
  13. Hal ini sama menyakitkannya ketika setiap orang Indonesia di negara tetangga dijuluki sebagai “indon” yang berkonotasi bodoh, kampungan, miskin dan brutal… :(

    Balas
  14. Aku memutuskan untuk nggak berkomentar dengan postingan kali ini, soalnya bisa panjang lebar kalo komen, hahaha. Tau lah kamu apa di pikiranku Don.

    Balas
  15. Wah, jadi kangen mw nonton ulang film Passion nya se Mel-Gibson neh =P
    Saya pun setuju kalau kita tidak bisa menjudge suatu negara dari segelintir orang. Hal ini juga yang saya katakan pada kawan-kawan saya saat mereka men-judge suatu etnis lantaran OKNUM yang berpkiran pendek =)

    Balas
  16. wah, jd inget pelajaran bahasa dulu, ini mah gejala bahasa:
    pars pro toto dan kemudian jadi totem pro parte
    *kebalik gak ya???*
    Pak Guru, pls cek yach… kebalik tidak “pars pro toto” ama “totem pro parte’ -nya

    Balas
  17. memang bener, kesalahan itu terletak pada satu individu2, tidak bisa menilai langsung seluruh bangsa, karena tidak semua warganya berpendapat sama dengan pemerintahannya…

    Balas
  18. Pada konflik Mer-C dan kapal marvimarmara pun beberapa warga negara Israel ikut menjadi pro relawan. Saya sendiri jadi tersadar kalau didalam negara mereka sendiri ada pihak2 yang berbeda pandangan/ tindakan…jadi benar meskipun berbangsa israel, atau mungkin Indonesia jangan menyamakn secara umum.
    Apalgi menyamakan dengan Ariel :D

    Balas
  19. Kita memang sebaiknya melihat cara pandang dari berbagai segi, dan tak hanya dari sisi negatif..dengan demikian semuanya akan terlihat obyektif.
    Saya sepakat, kita melihat dari sisi individu manusianya…betapa menyedihkan kalau kita semua di cap sebagai bangsa teroris padahal yang suka meneror hanya sebagian kecil dari suatu bangsa? Dan nyaris seluruh individu bangsa itu juga mengutuk?

    Balas
  20. kalau aku hendak terjerumus ikut arus membenci atau mengutuk, maka aku akan mulai berpikir :
    1. Itu bukan urusan aku…kutukan dan kebencian yang aku lemparkan tidak akan memperbaiki atau mengubah keadaan.
    2. Selalu ada sebab di balik akibat, selalu ada alasan di balik perbuatan. Entah alasan atau sebab itu dibenarkan atau tidak, semua tindakan pasti ada alasannya. Jadi ada baiknya mendengar atau melihat dari dua sisi. (tapi gimana caranya? toh ada hal2 yang ditutupi juga kan?)
    3. Dan karena aku tidak tahu mana yang benar mana yang salah, apa yang menjadi sebab sehingga terjadi akibat…aku memilih…untuk menonton saja..(egois ya?!)

    Balas
  21. aku setuju karo kowe, mas…
    jadi kaya lagu dangdut kae lho…”tidak semua laki-lakiiiiiiiii..bersalah kepadamuwww..contohnya akuuuw…..” :P wkwkwkwkw…
    intine nek ono wong jowo salah, ojo langsung ngejudge kabeh wong jowo kiy salah…nek ono wong batak pencopet..ojo langsung ngejudge kabeh wong batak kiy pencopet…yo ra? ;)

    Balas
  22. benar sekali, saya suka dengan pola pikir seperti ini. Semua suku, agama, bangsa sama-sama baik, kalaupun ada yang berbuat salah, itu adalah personal.

    Balas
  23. terkadang kita merasa paling benar..tp ternyata salah

    Balas
  24. Nice…
    Tapi kadang stereotype orang krn sukunya melekat terlalu kuat…

    Balas
  25. Yang pasti Israel penjajah. Uah tau ga punya tanah, dikasih hidup di tanah orang, eh malah ngelunjak, seakan2 dialah pemilik tanah yang sah. Fiuuuuhhhh!!

    Balas
  26. 1. Aku suka gemes dengan orang-orang yang demo anti negara tertentu. seolah mereka paling benar… padahal yang mereka lakukan justru menebar kebencian…
    2. Jujur, aku nggak kuat nonton Passion of the Christ. Aku pernah nonton cuplikannya, dan…aku nggak kuat untuk nonton full, kuputuskan untuk tidak menontonnya (sampai sekarang) Padahal itu hanya akting ya…aku mules, mrinding membayangkan DIA yang benar-benar disiksa, dipermalukan dan dibunuh… hiks..

    Balas
  27. tapi kita sebagai sesama muslim hanya bisa doa aja, mana mungkin kita kesana nanti kayak kejadian yang udah2 malah di hadang lagi

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.