Mau gak mau kita harus akui dan sadari internet itu sudah cukup berumur dan mature. Hari Sabtu kemarin aku mendalaminya…
Hawk Nest
Jadi ceritanya aku dan keluarga berlibur akhir pekan kemarin. Pergi ke sebuah kawasan pesisir pantai timur Australia, Hawk Nest namanya. Jaraknya sekitar 214 km dari Sydney. Kalau menurut Google Map, perjalanan bisa ditempuh dengan berkendara selama kurang lebih 2 jam 26 menit. Lihat peta di bawah.
Waktu sedang menunggu makan malam di sebuah take away restaurant (jenis restaurant yang tidak menyediakan ruang untuk pembeli makan di tempat) aku menemukan tempat usaha bernama Community Technology Centre Tea Garden karena letaknya ada di suburb Tea Garden.

Jasa yang ditawarkan di sana antara lain seperti tampak di bawah ini.

Internet Cafe
Di Sydney dan kota-kota besar lainnya, hal seperti ini sudah sangat jarang kujumpai. Lalu ingatanku terpantik pada nostalgia di Jogja. Pemandangan tempat usaha dengan tawaran jenis layanan seperti itu marak sekitar 1997-1998.
Saat itu internet mulai bisa diakses meski sangat terbatas. Tawaran layanan datang dari tempat penyewaan komputer yang mulai berubah bentuk jadi warnet alias warung internet. Sementara scan dokumen maupun foto menjadi layanan penyerta. Waktu itu rasanya belum ada printer yang berfungsi untuk mengirimkan hasil scan langsung ke email penerima.
Jogja 2000an dan geliat warung internet
Menjelang tahun 2000, warnet semakin menjamur di Jogja. Bahkan tak hanya mendominasi area kampus dan kawasan tempat tinggal mahasiswa. Beberapa berani buka di prime areas, Jl Solo dan Malioboro tentu dengan fasilitas harga sewa yang berbeda.
Menjelang pertengahan dekade 2000 seingatku geliat bisnis warnet mulai mereda. Akses internet semakin mudah didapat dan harga laptop semakin terjangkau. Untuk ber-internet, orang nggak perlu lagi ke warnet. Cukup ke kafe atau ke perpustakaan-perpustakaan di kampus lalu mengakses internet melalui WI-FI. Warnet-warnet banyak yang tutup. Sebagian beralih jadi gamenet, sebagian beralih jadi kafe dengan tawaran akses internet gratis melalui wi-fi tapi tak jarang yang kukut, tutup selamanya.
Sementara teknologi fotokopi dan scan juga semakin ditinggalkan. Fotokopi dan scan tak lagi jadi alat tapi feature/fungsi yang bisa dikombinasikan dalam sebuah piranti: printer.
Sementara orang juga semakin jarang memfotokopi karena tugas-tugas kuliah dan laporan di perkantoran banyak yang tak membutuhkan pengarsipan cetak, cukup disertakan dalam email sebagai file doc atau pdf.
Soal scan foto? Sebagian besar dari kita aja udah lupa kan kapan terakhir cetak foto? Kalau keperluannya foto formal, bahkan tukang foto profesional pun sudah menggunakan kamera digital yang hasilnya dibagikan lewat usb drive atau dilayangkan lewat email. Kalau keinginannya hanya untuk mengirim foto terbaru untuk pacar ya tinggal selfie di depan kamera smartphone lalu kirim melalui WA, Telegram, Signal atau apa saja…
di Berlin, tempat fotokopi juga agak jarang. di area dekat temat tinggalku, ada satu toko aufdruck alias cetak yang biasanya jadi tempat fotokopi. tapi jangan dibayangkan seperti tempat fotokopi di seputaran kampus..
aku di akhir tahun lalu akhirnya membeli printer. sebuah barang yang sejak selesai kuliah tidak pernah kubeli, puluhan tahun lalu. sebelum pandemi, aku biasanya numpang nge-print atau scan atau copy di mesin fotokopi/scan/copy besar di kantor.
sejak WFH, akhirnya beli printer. sebuah investasi karena di Jerman, banyak layanan (terutama pemerintahan) masih menggunakan dokumen cetak. layanan digital? apa itu? Jerman sepertinya memilih untuk tidak melakukannya karena khawatir dengan isu privasi dan kemudahan akses data (secara digital), meski GDPR ketat sekali. 😆
soal foto, di beberapa supermarket ada mesin-mesin cetak foto mandiri, yang menerima data dari ponsel lewat bluetooth, flashdisk, compatc flash, dan kartu digital lainnya. booth foto biometric juga gampang ditemukan untuk urusan foto sekali pakai.
Masih ingat dulu karena uang yang terbatas kalau ke warnet cuma buat buka outlook, download email terus bcanya di rumah hahahahahaha.
Salah satu soft skill yang aku anggap keren dulu dan somehow itu skill pertamaku untuk menempuh pekerjaan saat ini di dunia profesi digital.