Kalian masih ingat tulisanku yang kuberi judul Slordig?
Kalau belum silakan baca dulu tulisan itu karena ada kaitan yang cukup erat dengan apa yang hendak kuulas.
Tapi.. ok kalau kalian tak punya waktu berlebih untuk membaca Slordig, biar kuceritakan intisarnya di sini.
Jadi di toilet kantor ada poster berpigura yang dipasang sebagai berikut:
Di tulisan Slordig itu, aku beropini tentang sebenarnya perlu dan efektifkah mencuci tangan setelah pipis?
Nah, sejak dua minggu lalu, ada pengumuman baru ditempel di kaca depan wastafel yang terkait dengan poster di atas.
Ini yang pertama:
Lalu ini yang kedua:
Kedua pengumuman itu dipasang berjejer pada kaca yang sama dan bagiku ini amat membingungkan.
Kalau mau mengikuti poster berpigura di atas, pengumuman yang pertama tentu masuk akal karena ia menganjurkan kita untuk mencuci tangan 20 detik lamanya untuk mengusir bakteri dari tangan kita.
Tapi begitu membaca pengumuman yang kedua, aku bingung!
Jadi mana yang benar? Mencuci dengan air selama 20 detik atau menggunakan sabun? Kalau menggunakan sabun, haruskah aku tetap mencuci selama 20 detik? Atau bisa kurang karena bakteri lebih cepat hilang? Atau? malah lebih untuk memastikan sabun telah benar-benar lenyap dari permukaan tangan?
Lalu hal tersebut makin kubikin kompleks dengan kenyataan yang kutulis di Slordig bahwa bahkan ketika kita telah mencuci tangan selama 20 detik pun, sesudahnya kita tetap harus memutar knob kran untuk mematikan air padahal kita tahu tangan yang belum kita cuci tadi sudah kita pakai untuk membuka knob kran?
Pusing, kan?
Tak berhenti di situ kepusingannya.?Di luar toilet ada sebuah dispenser anti bakteri otomatis seperti tampak di bawah ini:
Nah!?Mana yang lebih efektif membasmi bakteri?
Atau ada baiknya aku tak mencuci tangan dengan air dan sabun sama sekali lalu keluar dari toilet dan memanfaatkan dispenser itu?
***
Hidup hari-hari ini, tanpa kita sadari adalah hal yang tak bisa lepas dari bombardir informasi yang beredar di sekitar kita!
Jangan salahkan internet dan social media dulu!
Coba check channel televisi di negaramu. Ada berapa tayangan berita dalam sehari yang disiarkan seluruh channel? Dari berita-berita yang ditayangkan, ada berapa yang membahas topik yang sama? Dari topik yang sama, ada berapa versi yang berbeda?
Contoh soal Lumpur Lapindo.
Kalian tentu tak bisa mengharapkan informasi yang sama tentang lumpur yang sama dari dua stasiun televisi yang berbeda, TV One dan MetroTV. Dari penamaannya pun sudah beda. TV One konon lebih memilih menyebut sebagai Lumpur Sidoarjo sedangkan MetroTV memilih Lumpur Lapindo.
Atau kalau kalian masih ingat waktu riuh rendah kampanye dan pemilu pemilihan presiden-wakil presiden 2014 silam, belum soal Ahok, dan masih banyak lagi.
Dari bangun tidur hingga larut malam, setiap device yang memancarkan berita itu layaknya moncong senapan yang menembakkan peluru bertubi-tubi ke kepala kita.
Powerless dan anxious
Terlalu banyak informasi atau yang lebih dikenal sebagai information overload, menurut The Economist membuat kita merasakan beberapa dampak, tapi kali ini biar kuulas satu dampak yang kupikir paling signifikan yaitu powerless dan anxious.
Kebanyakan informasi itu membuat orang tak memiliki daya yang kuat untuk berkeputusan (powerless) dan cenderung tak yakin terhadap apapun (anxious), termasuk keputusan yang diputuskan sendiri.
Contoh yang paling kokoh untuk kutampilkan di sini barangkali adalah Mas Susi, mantan presiden Negeri Utara yang lepas jabatan tahun 2014 silam.
Kita tentu ingat bagaimana dulu ia sering tampak galau untuk memutuskan menaikkan harga BBM, menentukan sikap terhadap Malaysia, bahkan hingga mengganti menteri yang notabene adalah pembantunya sendiri meski uniknya ia sepertinya selalu yakin ketika hendak mengeluarkan album lagu-lagu ciptaannya :)
Barangkali Mas Susi saat itu pun juga disodori begitu banyak bahan pertimbangan mulai dari para staf ahli yang bejibun jumlahnya, para ketua partai pendukung koalisinya, perkataan media dan ini yang paling penting? sabda istrinya!
Data filtering
Lalu kembali ke topik, bagaimana solusi untuk mengatasi information overload??Jawaban paling gampang adalah jangan membiarkan adanya loading informasi terlalu banyak ke dalam otak kita dengan jalan menyaring informasi.
Setia pada satu channel siaran televisi atau memilih untuk tak mau tahu dan fokus pada apa yang berpengaruh pada hidup kita secara langsung adalah yang terbaik. Misalnya, ngapain ngurusin kesalahan Jokowi kalau kita tahu mencari info harga popok bayi lebih penting? Ngapain ikutan pusing menolak Ahok padahal kalian tidak tinggal di Jakarta?
Penyaringan informasi juga dilakukan oleh situs-situs termasuk Google.
Coba kalian perhatikan saat mengetik keyword di Google. Dalam hitungan detik, ia menawarkan beberapa kemungkinan yang membantu kita untuk mencari. ?Barangkali kamu mencari ini??
Lalu ketika kalian akhirnya mencari berdasarkan keyword tertentu, selain muncul hasil pencarian, pada bagian atas terdapat bantuan untuk kita menyaring informasi berdasarkan negara, waktu penerbitan halaman, lokasi, berdasarkan tipe file gambar, video, peta, buku, berita dan yang lainnya.
Harapannya tentu meski tetap dibombardir tapi setidaknya kita diajak untuk memperuncing informasi yang diberikannya.
Yang paling mutakhir adalah yang dilakukan Facebook dan lantas diikuti situs-situs yang lainnya. Pernahkah kalian suatu waktu terkaget-kaget membuka Facebook dan mendapati ada iklan penjual pakaian dalam wanita pada lajur kanan halaman padahal kawan lain tak mendapati hal yang sama?
Lalu kamu sadar beberapa saat sebelumnya kamu memang browsing ke toko online penjual pakaian dalam wanita karena hendak memberikan hadiah bagi istrimu?
?Lho, kok Facebook tahu kalau aku perlu beli lingerie buat istriku ya??
Atau pernahkah kamu disodori ?People You May Know? dan mendapati mbak mantan pacar yang sudah tahunan tak berhubungan dan Facebook menawari kita untuk kembali berhubungan?
Bagaimana Facebook tahu? Kenapa ia tak menyodori orang-orang yang lain? Kenapa dia?
Digital Personalization
Itulah yang dinamakan sebagai digital personalization engine.
Facebook dan banyak situs lainnya sekarang memanfaatkan sistem untuk menganalisa ?data footprint? yang tertinggal pada cookies dan history browser yang kita pakai dan demografis kita untuk membangun keberadaan diri kita secara digital.
Kamu bisa dihubungkan dengan mbak mantan pacar karena barangkali kalian masih ?beredar? di lokasi yang sama; misalnya sama-sama sering nongkrong di coffeshop tertentu, sama-sama sering makan di restaurant tertentu yang dulu kerap kalian jadikan tempat pacaran?.
Singkat kata, berdasarkan kebiasaan kita membrowsing jenis informasi di internet, dimana kita tinggal dan ke lokasi mana saja kita bepergian, Facebook dan situs-situs lainnya mencoba membangun karakteristik dan personalisasi kita secara digital.
Contoh lain. Aku tinggal di Klaten Kota?dan setiap pagi dan malam mengakses internet lewat handphone ketika bepergian ke/pulang dari kantor yang letaknya di Papringan, Jogja.
Aku tak kaget kalau lantas Facebook menyodori kawan kerjaku di ?People You May Know? karena ia juga tinggal di Klaten?dan kerja di tempat yang sama dan mengakses internet pada jalur-jalur yang sama pula.
Aku juga tak kan kaget kalau lantas muncul iklan tawaran makan ayam Ny Suharti?hanya sekian rupiah?karena?letaknya di Janti?karena memang setiap hari dari Klaten?ke Papringan, aku melewati area itu.
Studi mengenai hal ini adalah hal yang cukup rumit dan aku tak punya landasan yang cukup kuat untuk membahasnya lebih lanjut di sini. Tapi bagi kalian yang tertarik, silakan akses dokumen ilmiahnya di sini.
Canggih ya?
Lalu akan seperti apakah masa yang akan datang?
Masa yang akan datang terkait kemajuan teknologi informasi bagiku adalah sama dengan yang terjadi pada film Minority Report pada scene John Anderton (Tom Cruise) masuk ke shopping center.
Hanya berdasarkan deteksi retina mata, setiap iklan yang ditayangkan melalui screen memanggil nama John Anderton dan memberikan informasi tayangan produk sesuai karakter si John.
Kalau kalian belum nonton atau lupa scene dari film tersebut, silakan lihat di bawah ini:
Kawan, tak lama lagi, kemajuan teknologi seperti itu bukan lagi dalam angan-angan yang jauh dari kenyataan. Dasar pola kerjanya sudah dijalankan secara mulus oleh Facebook dan teman-temannya.
Aku berharap kita semua sempat menemui masa itu.
Dan kalau benar-benar terjadi, kegiatan ke toilet pun akan lebih menyenangkan ketimbang dibikin bingung karena pengumuman-pengumuman yang berbeda seperti kuulas di awal tulisan ini.
Aku membayangkan masuk ke toilet lalu ketika kencing, ada detektor yang memeriksa retina mataku dan ada pula sensor air kencing dari lubang yang kupakai. Tak lama kemudian dari screen yang ada di tembok muncul sosok digital dan bicara,
?Halo Donny, terakhir kamu kencing sebelum sekarang adalah tiga jam yang lalu dan kenapa pipismu sekarang hanya 500cc? Sedikit sekali!?
?Ayo, jangan lupa minum air putih setidaknya 1.5 liter hingga malam nanti dan jangan lupa banyak makan buah ya! Kalau kamu perlu air putih silakan ambil secara cuma-cuma ke pantry di lantai 1. Kalau perlu beli buah, belilah di foodcourt di lantai dasar atau kamu bisa memesan lewat sini dan tinggal mengambilnya nanti!?
Lalu screen memunculkan jenis pilihan buah yang bisa kubeli dengan kusentuh lalu berdasarkan deteksi retina mataku, sistem akan mengambil uang dari rekening credit cardku.
Aku lantas beranjak ke wastafel. Karena sistem bisa mendeteksi keadaan bakteri di tanganku saat itu, ia berkata,??Ada baiknya kali ini kamu menggunakan sabun dan cucilah tanganmu hingga air kran dimatikan sendiri secara otomatis!?
Lalu air kran benar-benar menyiram dengan durasi yang sudah diperhitungkan logika berdasarkan deteksi bakteri yang ada di tangan.
Keren nggak??Atau kalian malah ketakutan sendiri? Kalau iya, banyak-banyaklah berdoa! Hahahaha!
Saya belum melihat ada tulisan peringatan berbingkai di kantor2 keren di Jakarta. Tapi saya gak tau juga mana tau di kantor yang banyak ekspatriatnya dipasang.
Begitu berhenti jadi presiden hilang pula hal cipta-mencipta lagu, hehe… Pak Susi sepertinya akan maju lagi di pemilu yang akan datang.
keren Don (y)
bacaan wajib sebanyak mungkin umat manusia di era digital!
Hallo, mas Donny. Wah aku suka banget artikel ini. Jadi sadar banyak informasi yang terlalu banyak masuk di otak. Sama kayak cari jodoh. Terlalu banyak pilihan atau bahkan tak punya pilihan sekarang ditawarkan banyak aplikasi penjara jodoh. Bisa cari yang di deket kita tinggal. Ah teknologi kadang memudahkan kadang menjerumuskan.
ketika informasi begitu membanjir itulah diperlukan orang yang bertugas memilih, memilah, dan menyajikan hanya yang penting dan relevan buat pembaca. begitulah peran jurnalis sebagai kurator di era sekarang. media yang dikelola oleh para jurnalis dengan peran sebagai kurator itu yang diperlukan pembaca agar tak kebanjiran informasi.
itu sebabnya Beritagar.id muncul. sebagai jawaban, alternatif pilihan, agar pembaca tak tersesat dan tenggelam ditelan banjir informasi yang menyesatkan.
*nunut dodolan :D
Yg tak kalah menarik terkait Information Overload adl sikap audiens yg krn mulai kewalahan, muak dan memutuskan utk apriori, akhirnya cenderung bersikap defensif: hanya mau dengar dan percaya yg mereka mau dengar/percaya saja. Jk ini yg terjadi, maka pertarungan Marketing ke dpn adl menggiring pemilih (baca: konsumen) utk memilih pilihan yg sebenarnya sdh dipilihkan, oleh yg ingin dirinya terpilih. Menakutkan.
Wah bener2 bikin geli (jawa: keri) di mata dan di hati. Setuju Don, kadang kita memboroskan energi dan waktu untuk hal-hal yang sebetulnya gak perlu. Kadang malah marah atau jengkel untuk sesuatu yang sama sekali gak berhubungan sama kehidupan kita, tapi kelihatannya sedang tren di dunia maya (dan diantara temen2 maya), hal-hal yang tinggi-tinggi dan rumit seolah-olah kita bisa memecahkan masalah itu, padahal ya cuma bisa komen-komen saja, paling banter ya ‘like’. Yang lebih parah malah hal-hal ‘sepele’ kehidupan nyata malah gak mendapat porsi yang semestinya. Opo tumon?