Indonesia harus berbesar hati?

17 Agu 2016 | Cetusan

Aku mengenal Mbak Yacinta Kurniasih saat kami sama-sama berada di kubu Jokowi-JK pada Pilpres 2014 lalu.

Ia adalah seorang Indonesianis, pengajar Kajian Indonesia di Monash University, Melbourne Indonesia. Mengikuti laman Facebooknya sering menggedor-gedor keindonesiaanku melihat bagaimana ia mengejawantahkan rasa cinta Tanah Airnya secara actual melalui profesi, mengenalkan Indonesia dan keindonesiaan ke masyarakat Australia.

Lama tak bersua secara online (kami belum pernah bertemu muka…) tadi pagi, di hari peringatan kemerdekaan Indonesia ke-71, aku menyempatkan diri untuk ngobrol dengannya tentang Indonesia, keindonesiaan dan apalagi kalau bukan tentang kewarganegaraan yang sedang diributkan terkait isu kewarganegaraan Arcandra Tahar, mantan menteri ESDM itu. (Aku menuliskan tentang hal ini dalam artikel terpisah. Simak di sini)

yacinta

Mbak Yacinta

Di sela waktu mengajar wanita kelahiran Kedungjati, dekat Salatiga, Jawa Tengah itu, kami renyah berbicara lewat kotak pengirim pesan Facebook. “Mung limolas menit, Mbak! (Cuma lima belas menit, Mbak –jawa)” demikian janjiku yang hanya akan meminta waktunya tak lebih dari lima belas menit untuk wawancara.

Mau tahu seperti apa wawancara yang jadi hanya lima belas menit itu? Berikut adalah petikannya.

Apa yang bisa dibanggakan dari Indonesia ketika kita tinggal di negara maju seperti Australia ini?

Indonesia adalah negara ‘berbudaya, beragama’ paling baik seantero Asia Pasifik. Kebhinekaannya tiada dua!

Nah, karena kita tinggal di Australia yang juga semakin berbhineka, hal ini jadi makin aktual. Kita punya bekal sabar, mampu mendengar, mengamati dan hidup bersama orang banyak yang berasal dari berbagai macam latar belakang budaya, bahasa dan agama.

Seberapa besar sih sebenarnya perhatian masyarakat Australia terhadap Indonesia?

Dari riset barusan, perhatian masih kecil dan sempit serta didasari pengetahuan yang ‘kuno’. Tapi kini presentasenya naik sedikit karena Indonesia kian besar. Meski hal ini bisa berpengaruh ke sisi positif maupun negatif.

Positifnya, banyak orang melihat Indonesia sebagai contoh negara beragama yang modern dan demokratis, memiliki peluang ekonomi yang bagus, politik, dan lain-lain.

Sisi negatifnya, semakin besar, ketakutan akan radikalisme, perbedaan ‘budaya’ dan imigrasi juga membesar.

Istilah yang tepat untuk menggambarkan hal ini berangkali adalah ‘benci tapi rindu’ lah…

Lalu bagaimana cara menarik perhatian lebih besar lagi?

Pendidikan publik tentang Indonesia di Australia harus lebih digalakkan. Makanya aku ngeyel dalam ngajar dan promosi tentang Indonesia. Yang kita targetkan adalah generasi muda Australia. Yang tua sudah terlalu takut untuk asian friendly.

Secara teknis, hal-hal apa saja yang membuat pandangan Indonesia memburuk di mata orang-orang di Australia? Apakah terorisme di Bali? Apakah pelaksanaan hukuman mati Andrew Chan dan Myuran Sukumaran tahun 2015 silam?

Ya, itu dua diantaranya.

Ramai orang bicara soal dwi kewarganegaraan, Mbak. Menurutmu urgensi orang Indonesia yang tinggal di luar negeri untuk berganti kewarganegaraan itu sebesar apa sih?

Ada beberapa.
Di antaranya adalah untuk memudahkan mobilitas karena paspor Indonesia termasuk yang susah untuk diterima di banyak negara. Ada juga alasan untuk mencari pekerjaan di luar Indonesia, akan lebih mudah kalau kita memakai paspor dari negara maju saja.

Kamu setuju nggak kalau suatu waktu Indonesia menerapkan sistem dwi kewarganegaraan karena saat ini masih menganut sistem kewarganegaraan tunggal?

Setuju!
Seharusnya Indonesia serius mempertimbangkan dwi kewarganegaraan ini untuk para diaspora seperti kita. Dari sisi manfaat, lebih banyak nilainya untuk Indonesia.

Kok bisa?

Darah dan jiwa orang-orang Indonesia itu dimana-mana kan terkenal paling loyal, ‘gila loyal’ jadi, kalau mereka diberi dwikewarganegaraan, para diaspora itu bisa juga jadi jendela promosi bagi Indonesia sendiri. Kalau mau maju dan memakai orang-orang diaspora Indonesia, pemerintah harus berbesar hati dan menerapkan dwi kewarganegaraan.

Aku sedang mulai kampanye tentang dwi kewarganegaraan ini. Beberapa buku terkait identitas Indonesia sedang kutulis untuk bagian dari kampanye. Kampanye juga kulakukan di dalam Indonesia.

Pertanyaan terakhir, Mbak. Boleh dijawab, boleh pula tidak. Kamu masih WNI?

Masih! Pekerjaan dan karirku melibatkan pendidikan perguruan tinggi Indonesia dan Australia. Suaraku masih diperlukan di Indonesia jadi yang paling aman ya seperti sekarang ini, jadi WNI.

*featured image adalah reproduksi?lukisan Myuran Sukumaran, terpidana mati kasus narkoba ‘Bali Nine’ yang dieksekusi April 2015 silam di Nusakambangan, Jawa Tengah. Lukisan ini bisa jadi adalah lukisan terakhirnya…

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.