Realistis saja, tapi apa ada yang masih terlalu peduli dengan Kebangkitan Nasional yang jatuh pada hari ini ?
Kalau saya menghabiskannya dengan tidur, tidur dan tidur. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, kebetulan tahun ini HarKitNas bertepatan dengan Hari Raya Waisak,
sehingga bisa libur dan saya pun tidur.
Ini bukan tulisan yang sok apatis dan sok sinis serta bukannya aku tak nasionalis. Tapi ketimbang hidup hanya dipenuhi dengan jargon-jargon serta mengingat-ingat masa
lalu yang menyenangkan, lebih baik tidur dan tidur. Memang yang paling baik adalah bagaimana mengatasi keadaan yang sekarang saja, tapi apa daya, kalau tak mampu ya mendingan tidur tho ?
Salah satu teman dekat saya telepon sekitar jam 13.00 WIB mengabarkan bahwa dirinya sudah di Jogja setelah beberapa waktu ada tugas kuliah S2 nya di Jakarta.
“Hoi, Don! Dimana?” Ada nada serak di sana…
“Hoi juga! Aku di Klaten. Kamu?”
“Aku di Jogja, Su! Kemarin sore balik dari Jakarta.”
“Oh ic. Kamu sakit? Kok gerok (red: serak) suaramu?”
“Heh! Nggak! Aku baru bangun tidur, semalam dugem di Caesar sama anak-anak pulang jam 04.00 WIB kira-kira..”
“Oh! Masih hangover dong?”
“Yoa! Asik coy! Rame semalam!”
Saya pun cuma meringis.
Saya tak mencoba menyalahkan teman saya, karena memang dia tak salah.
Andai aku masih seusia dia dan punya gejolak yang sama, barangkali aku juga akan melakukan hal yang sama,
selebrasi akan hidup dan bersuka-suka di tempat hiburan sana.
* * * * *
Kemarin sore, Ayahku yang nonton tv di sampingku bilang
“Ih, miris ya! Ndengerin lagu Indonesia Pusaka di tengah keadaan yang seperti ini.”
Saya cuma tersenyum kecut saja.
Ya, bagaimana nggak kecut kalau ketika mendengarkan lagu itu yang terngiang dan terlintas di kepala justru tentang kesulitan hidup yang semakin mendera.
Tentang korban lumpur lapindo, antrian BBM ibu-ibu, ancaman naiknya harga barang-barang pokok, berita busung lapar di pulau-pulau itu, pesta pora sebagian golongan menyambut
Pilkada dan Pemilu serta orang-orang itu yang hanya bisa ribut meributkan soal-soal agama.
Aku pusing, sekarang mau tidur lagi saja.
Sebelum terlelap sayup-sayup di televisi kudengarkan seorang MC acara berbicara sedemikian berapi-apinya mengenai slogan baru kita, INDONESIA BISA!
Bisa apa ?
Zzzzzzz….
Mending hari kebangkitan nasional dijadiin hari nyepi nasional sekalian. agar kita semua dapat bercermin tentang “apa yang membuat kita seperti ini.”
iya tuh… td malem nonton acaranya di TV sempet meringis juga… klo lagi kaya gituh kayanya indonesia maniiisss bgt ya tp selesai acara yaa…. back to real life… semua serba mahal euy…
Yang aku heran, untuk acara ceremonial kayak gitu aja mesti menghabiskan milyaran rupiah. Aku nggak mendapatkan esensi dari acara itu. Dan aku yakin aku nggak sendirian berpikir seperti itu.
Membangkitkan kembali rasa nasionalisme? Boleh-boleh saja. Tapi rasanya kok terasa basa-basi ya. Apalagi komentar-komentar kedua MCnya.
Betul katamu, komentarku ini pun bukan soal apatis atau sinis. Tapi pada kondisi saat ini aku lebih berpikir sesuatu yang kongkrit ketimbang bermetafora.
Seperti kata Windy: setelah acara itu, back to real life. Yup! Hanya bedanya: aku tak merasakan kemanisannya.
o..aku ngerti konco s2 sing nang caesar kui..pancen kompeni don..
dadi ojo di jak ngomong nasionalisme to..
hahahaha…
pertanyaanya mungkin menarik dan nggak mbikin tidur, kalau sedikit diubah menjadi “saya sebagai manusia Indonesia bisa apa?”
:)
@Endoch: Huahuahuahua.. ora, deweke ora lotse neng Caesar kok.. aku mung minjem personifikasinya aja dengan tokoh rekaanku :)
Btw, selamat hari raya Waisak Ndoch!
Bisa? apa? apa yah ah payahhh hahah