Identitasmu? Agama atau negara?

24 Mei 2012 | 150 kata, Agama, Cetusan, Indonesia

Pernah kutanya, “Kamu orang katholik atau orang Indonesia?”
Lantang ia, seorang garis keras, menjawab, “Katholik!”

“Kenapa bukan orang Indonesia?” tanyaku.
“Ya, kebetulan saja tinggal di Indonesia!” jawabnya.

“Kenapa kebetulan Indonesia? Tak kebetulan Katolik?” lalu terdiam.

Orang begitu bangga berdiri di balik identitas agama sementara nasionalisme adalah keusangan.

Lain cerita. Orang menindas umat agama lain karena dendam yang salah jurusan, “Di belahan dunia lain, orang-orangmu menindas orang-orangku, Sob!”

Padahal, bukankah kamu adalah orangku juga karena kita sama-sama Indonesia dan mereka, apapun agamanya bukanlah orang kita karena mereka bukan sebangsa?!

Yang lain lagi.
Seorang silent majority berkomentar, ?Ngapain bantu gereja yang terusir kalau orang-orang Kristen sendiri diam tak mau bantu?”

Terlepas dari kristen atau tidaknya, bukankah kita harus bantu sesama untuk beribadah karena undang-undang tak mengkhususkan hanya orang beragama tertentu yang boleh membantu pemeluk agama tertentu saja?

So, selamat hari Kebangkitan Nasional meski tak tau apa lagi yang mesti dibangkitkan?

Sebarluaskan!

27 Komentar

  1. 100% kebetulan Katolik
    100% kebetulan Indonesia

    happy erection day !!

    Balas
    • Kebetulan hidup! Hidup kebetulan! :)

      Balas
  2. agama itu seperti pakaian #sikap, bedanya di negara barat (liberal individualis), orang tidak terlalu menggubris kita mau pakai baju apa.. sedangkan di Indonesia (kolektif) ketika tidak berpakaian selakyaknya orang “kebanyakan” akan mendapatkan pengadilan sosial.

    Balas
    • Nah!

      Balas
  3. Entahlah, kadang aneh juga. Mereka merasa lebih bersaudara dengan yang se-agama walaupun tidak kenal dan tempat nan jauh disana. Sementara saudara sebangsa yang ada di sekitar malah dimusuhin.

    Balas
    • Ah, saya berarti tak sendirian, Bli! :)

      Balas
  4. Yang jelas “bukan satu kebetulan” kalau aku dilahirkan sebagai “manusia” yang lebih mampu menggunakan “otak” daripada “jothak”, lebih menggunakan ‘akal’ daripada ‘okol’…

    Sekian dan terimakasih…

    ttd
    (bukan mujahid bertopeng, berkoteka, pun bertongkat)

    Balas
  5. Soegija pernah mengakui dirinya 100% katolik dan 100% Indonesia.
    saya adalah muslim yang tak pernah mempermasalahkan perbedaan agama dan saya juga berusaha tak kehilangan nasionalisme :D
    tulisan yang bagus

    Balas
    • Prinsip anda juga bagus :) Salam kenal…

      Balas
  6. 100% persen katolik dan 100% Indonesia.. suka dengan ide persentasenya…

    saya sendiri ga jelas berapa persen… pokoknya memberi saja deh…

    Balas
  7. sukak banget sama tulisanmu yang ini, don. :)

    Balas
    • Thanks :)

      Balas
  8. ?Ngapain bantu gereja yang terusir kalau orang-orang Kristen sendiri diam tak mau bantu??

    Terlepas dari kristen atau tidaknya, bukankah kita harus bantu sesama untuk beribadah karena undang-undang tak mengkhususkan hanya orang beragama tertentu yang boleh membantu pemeluk agama tertentu saja?

    Betul itu! Kristen atau bukan kita memang harus bantu sesama menurut undang-undang. Masalahnya ya itu, harus adil, kalo mau ‘menyalahkan’ kenapaa tidak mau membantu, ya ‘salahkan’ semua yang tidak mau membantu, jangan hanya sekelompok orang saja yang ‘disalahkan’ hanya karena alasan mereka jumlahnya lebih banyak! :)

    Balas
    • Nah itu dia!
      Persoalannya kan ‘harus membantu’ menurut undang-undang terlepas apapun agamanya kan? :) Jadi kalau disalahkan, tentu sebab-musababnya adalah karena ia, golongan itu, tak mau membantu :)

      Perkara, kenapa yang jumlahnya banyak saja yang disalahkan sementara yang kecil tidak, come on… dalam bernegara, sikap dewasa tentu ditunjukkan dengan cara ‘tidak menunjuk’ kesalahan orang lain terlebih dulu untuk membuat diri tampak lebih benar kan?

      Yuk, bantu! Please.. :)

      Balas
      • “Jadi kalau disalahkan, tentu sebab-musababnya adalah karena ia, golongan itu, tak mau membantu”

        Sebenarnya gak ada logikanya jika dari golongan itu yg menganggu maka golongan itu harus “wajib” duluan membantu, siapapun dimanapun berlaku di dunia ini, ANDAIKAN sebuah radikalisme kristen terjadi di Australia misalnya terhadap agama lain tentu gak adil/absurd jika seseorang menyalahkan seluruh Kristen Australia yg pasif yg nggak mau membantu. :)

        “Perkara, kenapa yang jumlahnya banyak saja yang disalahkan sementara yang kecil tidak, come on? dalam bernegara, sikap dewasa tentu ditunjukkan dengan cara ?tidak menunjuk? kesalahan orang lain terlebih dulu untuk membuat diri tampak lebih benar kan?”

        Nah… kalo begitu mari jangan menyalahkan mayoritas dulu utk tampak menjadi benar! Lihat dulu diri kita masing2! Ok? :)

        Balas
        • Saya mencoba memahami pengandaian Anda tapi tak bisa ‘masuk’ ke sana karena apa yang terjadi di Australia sini berbeda. Kalau ada radikalis kristen menyerang agama lain, pemerintah yang bergerak. Kalau pemerintah tak bergerak, baru rakyat bergejolak. Setahu saya teorinya sih begitu :)

          Soal salah-disalahkan, pertanyaannya sekarang, apa sih bedanya kalau akhirnya nggak bergerak juga? :)

          Ngga ada kan? Jadi ya anggaplah angin lalu seperti tak ada dan tak terjadi apa-apa karena sejatinya penyudutan hak beragama itu toh cuma ‘ilusi media’ atau paling banter, ‘sudah sewajarnya minoritas dibegitukan’.

          Begitu? :)

          Balas
          • Nah kalo anda menyalahkan pemerintah, saya bisa maklum tapi masalahnya lain jika anda menyalahkan mayoritas muslim moderat yg pasif yg seolah2 “harus ikut bersalah” karena ulah seglintir orang radikalis yg ngaco. Masalah radikalisme di Australia itu, itu hanya andaikan, ya andaikan misalnya pemerintah Australia “seberengsek” pemerintah Indonesia sekarang tetap saja tidak adil/absurd menyalahkan seluruh kristen Australia yg pasif hanya karena ulah segelintir radikal kristen Australia. Ingat untuk berlogika kita tidak perlu masuk ke keadaan sebenarnya, pelogika yang baik bisa menggunakan nalarnya jika keadaan seperti itu tanpa harus mengaitkannya ke kenyataan sebenarnya. :)

            Nggak ada yang bergerak? Ah banyak kok! Baik yg Islam moderat maupun yang Kristen (dan agama lain) Hanya saja mereka bergerak dengan cara2 dan forum2 yg beradab tidak dengan cara kekerasan yang biadab sehingga mungkin luput dari media. Lantas kenapa kalo begitu masih ada juga kasus2 seperti gereja Filadelfia? Memang menyelesaikan kasus ini tidak mudah tidak segampang membalikkan telapak tangan. Tapi anda harus ingat juga, gereja2 baru yang berdiri aman jumlahnya jauh jauh jauh lebih banyak hanya saja luput dari perhatian karena tidak diberitakan. Ini meandakan bahwa Muslim moderat di Indonesia telah memberi peranannya dalam kehidupan beragama yang baik.

            Anggapan “sudah sewajarnya minoritas dibegitukan?”. Ah… itu kan cuma kesimpulan sefihak anda :) bukan berdasarkan penelitian yang saintifik, minimal coba tanya para Muslim moderat teman2 anda, apakah minoritas sudah wajar dibegitukan? Atau tanya Muslim2 moderat lainnya (jangan tanya sama yg radikal tentu saja ;) ) apakah jawabannya kebanyakan seperti yang anda simpulkan tersebut? Ingat pasif bukan berarti setuju kalo minoritas harus dibegitukan :)

            Jadi memang seyogianya kita harus bergerak dan tak perlu menyalahkan siapa2 :)

            Balas
            • Soal pelogika, justru yang baik adalah yang mampu memberikan pengandaian yang setara dengan masalah yang sedang diandaikan.
              tapi sudahlah, baik atau tidak baik larinya nanti ke ad hominem dan itu bukan ciri pendebat yang baik, kan? :)

              Paragraf terakhir Anda memang kesimpulan yang saya nantikan, “kita harus bergerak”… Dan ya memang harus bergerak, tidak hanya diam :)

              Balas
              • Oh… jangan khawatir saya jadi ad hominem, saya faham betul jikalau saya melakukan ad hominem itu berarti saya melakukan sebuah logical fallacy karena argumentum ad hominem sendiri adalah sebuah logical fallacy. Jadi jangan khawatir. Dan anda juga tidak perlu khawatir jikalau debat seperti ini berarti “tanda permusuhan”. Sama sekali tidak! :) Bagi saya, debat adalah sebuah proses belajar, itu saja! :)

                Mengenai pelogika, sebenarnya agak OOT jikalau saya teruskan, tetapi tidak mengapa mudah2an penjelasan saya bisa bermanfaat bagi siapapun yg membacanya. Justru sebenarnya pelogika yg baik harus bisa membawa logikanya ke keadaan yg tidak sebenarnya. Sebab keadaan seperti “what if” sangat umum terjadi bahkan di dunia sains. Analoginya seperti ini misalkan “bagaimana jika kota New York kejatuhan meteor?”, logika dari efek jatuhnya meteor di tempat lain yg pernah kejatuhan meteor tentu bisa dikonklusikan dalam kasus kota New York tersebut meskipun kota New York kemungkinannya kecil kejatuhan meteor. Begitu juga “what if” lain misalnya: “bagaimana jika planet bumi mempunyai garis edar yg lebih dekat ke matahari seperti planet venus” tentu keadaan sebenarnya garis edar planet bumi tidak dekat seperti planet Venus. Dan masih banyak contoh lain. Begitu juga dengan ini “Bagaimana jika pemerintah Australia diperintah oleh orang ‘berengsek’ (macam si Pauline Hanson yang rasis itu?)” Ok, sorry agak OOT tetapi mudah2an bermanfaat bagi siapapun yg membacanyaa. :)

                Nah… betul tidak hanya diam, tetapi yang SAMA pentingnya bagi saya adalah tidak perlu menyalahkan siapa2. :)

                Balas
                • Ya sudah karena menurut Anda sama pentingnya antara “tidak diam” dan “tidak perlu menyalahkan” bagaimana kalau kita lihat ke depan mana yang lebih permanen, apakah silent majority akan berubah jadi ‘tidak diam’ permanently, atau sebaliknya? Percaya deh, ‘tidak perlu menyalahkan’ akan mengikuti sebagai akibat :)

                  Balas
                  • Alasan saya kuat kenapa “tidak perlu saling menyalahkan” sama pentingnya dengan “harus bergerak”. Anda mengatakan “Percaya deh tidak menyalahkan akan mengikuti sebagai akibat”. Sekarang coba dibalik “Apakah dengan menyalahkan maka orang akan bergerak??” Nggak ada penelitian ilmiah yang menunjukkan orang yang disalahkan akan otomatis bergerak apalagi kalau orang2 yang disalahkan tidak tepat sasaran! :) Jika kita tidak bergerak saja nilai minus kita 1 atau -1 namun kalau kita udah tidak bergerak ditambah menyalahkan orang2 yg tidak tepat sasaran maka nilai kita jadi -2 lebih buruk dari -1. See? :)

                    Balas
                    • Hehehe gini saja, Bung…
                      Ketimbang debat berkepanjangan, gimana kalau Bung Yari mengekspresikan opini tentang Silent Majority atau apapun itu ke dalam bentuk tulisan dan akan saya tayangkan di sini dalam rubrik Wagen, dan kita lanjutkan perdebatan di sana jika memang ada yang perlu diperdebatkan?

                      Ini lebih menyoal limit diskusi di posting ini sih… Saya tunggu, pasti menarik! :)

  9. Hm… terinspirasi dari tulisanmu sebelumnya don… “Agama agemaning ATI”…. sedangkan menurut pemahamanku yang dangkal, bangsa… tak lepas dari budaya… sehingga “Budaya agemaning BUDI (perilaku baik)”.
    Jadi percuma jadi orang beragama tapi tidak berbudaya… harus berjalan beriringan, tidak bisa dilepas satu sama laen.

    Balas
    • Sepakat bulat dengan pendapatmu, Din! Piye kabarmu? Ketemuan yuk, Juli aku mudik sebulan :)

      Balas
  10. Bagi saya gak perlu bikin artikel baru karena masih di dalam limit kok walau saya harus jujur mengakui bahwa sebenarnya ide anda itu ide yang baik, tapi sayangnya jujur juga saja saya sudah lama malas menulis buat blog jangankan untuk blog sampeyan untuk blog saya saja saya sudah malas (jangan ditiru kemalasannya ya ladies and gentlemen ;) ). Tetapi ANDAIKAN saya ingin menulispun topiknya bukan “The Silent Majority” tetapi “The Silent Majority and The Silent Minority: The More Balanced View” ;)

    Balas
  11. mengukur nasionalisme gampang.. ditanya aja milih masuk surga atau kesejahteraan negara? milih masuk neraka atau kehancuran rakyat? klo aku pribadi mending masuk neraka, tp negara damai…

    Balas
  12. Hati mereka terlalu keras, mengkotak2an urusan sosial dan nasionalisme.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.