Ibuk

20 Jun 2016 | Cetusan

Sebelumnya tak sekalipun Ibuk pernah menjemputku.

Jumat, 10 Juni 2016 yang lalu adalah kali pertama wanita sepuh 85 tahun itu turut menjemputku yang baru datang dari Australia ke Bandar Udara Adisucipto Yogyakarta bersama dengan keluarga adikku dan Mbak Tini, yang merawatnya di usia tua.

Janda yang sudah menjanda sejak 39 tahun lalu itu tak turun hingga ke terminal kedatangan. Keadaan fisiknya yang katanya mudah masuk angin membuatnya memutuskan untuk berada di dalam mobil saja.

?Mas, Eyang sekarang sudah semakin tua. Pendengarannya sudah berkurang dan pikun. Kalau omong suka diulang-ulang jadi kamu jangan stress.?

Ibuk

Aku tersenyum saat Chitra menjelaskan demikian. Bagiku Ibuk adalah Ibuk. Orang yang berjasa melahirkan Mamaku yang melahirkanku. Orang yang kala aku sedang ke Klaten saat SMA (Mama – Papa dan Chitra belum pindah ke Klaten) kumintai uang dua ribu rupiah tiap malam untuk makan malam kalau nggak tahu kupat dua porsi ya rica-ricaB1 dan sebatang rokok yang kuhisap diam-diam di dekat alun-alun Klaten sambil mengamati ciblek dan cilikan dari kejauhan…

Jadi tak peduli sepikun dan se-budheg apapun dia, aku tetap tak sabar untuk menemui dan memeluknya.

?Buk!? sapaku keras nan kuat karena kata Chitra ia memang tak bagus lagi pendengarannya.

?Eh, kowe tho Don! Ya ampun awakmu kok gedhem(besar sekali – jawa)!?

Kucium punggung tangannya, ia memelukku erat. ?Piye kabarmu, Cah Bagus?? ?Aku mengangguk, tersenyum…

Lalu kami pergi ke Ayam Goreng Suharti. Entah kenapa sejak pindah ke Australia seperti sudah jadi tradisi aku selalu menyantap ayam goreng Suharti sebagai santap pertamaku.

?Tradisi itu pasti datang dari istrimu, Don!? terka Teddy, kawan dekat SMA-ku yang malam itu juga kuajak makan bersama Kunto. Tampaknya memang demikian. Joyce amat suka ayam goreng Suharti jadi meski Joyce dan anak-anak tak ikut serta, aku tetap makan di sana.

Malam itu Ibuk makan lahap, selahap-lahapnya.

?Piye kabare, Bu?? tanyaku.
?Ya begini inilah?. Makin tua tapi yo tetap sehat paling cuma masuk angin!?

Kami tak lama berada di Suharti. Mendekat pukul sepuluh malam, kami pulang ke Klaten, menginjakkan kaki di rumah Tegal Blateran untuk pertama kalinya sejak Mama tiada, Maret 2016 silam…

Keesokan paginya, aku bangun kesiangan. Rumah sepi. Chitra bekerja, Ayok pun demikian. Suara radio kudengar kecil di dapur menyiarkan lagu-lagu campursari.

?Mbak Tini, kok sepi? Ibuk kemana??
?Itu Pak, di luar??

Kudapati Ibuk sedang ada di kursi luar dekat laundry sementara Geo, keponakanku terlelap di kamar.

Ibuk

Ibuk dan cucu pertamanya, aku…

?Buk!?
?Eh, lagi tangi (Baru bangun -jw), Don??

?Iya…?
Aku duduk di sebelahnya. Menyeruput teh tubruk yang disiapkan Mbak Tini sementara tangannya menggamit rosario, mulutnya umak-umik berdoa dan matanya menerawang jauh entah hingga mana?

?Aku ki saiki lebih sering duduk di sini sehari-harian. Di dalam panas banget, di sini ada anginnya??

Aku biarkan dia berbicara? Aku tahu ia ingin berbicara…

?Lagipula setelah Mamamu nggak ada, aku kesepian banget? banget.. Biasanya ada yang nyengeni (memarahi -jw) aku, ada yang nemenin aku nonton TV sekarang sepi??

?Nggak main aja ke tetangga??

?Kawan-kawan dekatku sudah banyak yang meninggal. Mau main ke mana lagi? Sama siapa? Masa ngobrol sama anaknya??

 

Aku meluruh?
Membayangkan kesepian adalah membayangkan kengerian yang tak terbayangkan meski sayangnya, sepi adalah hal yang paling hakiki dalam hidup ini.

Sementara sekeliling tetaplah menjadi sekeliling. Mereka hingar-bingar, tersentuh dan bisa diajak berinteraksi, tapi mereka bukan milik pribadi. Mereka adalah sekeliling yang ada saatnya diam ketika kita undur diri.

?Don??
?Ya??

?Mamamu itu orang baik?
?Di hari terakhirnya, dia nggak merepotkan sama sekali. Jam 9 pagi kutanya ?Kowe lara, Tyas (Kamu sakit, Tyas – jw) ?? dia menjawab ?Ora. Cuma sesak (nafas)?

Lalu jam 12 diajak Ayok ke rumah sakit, aku ikut? Eh jam delapan seperempat sudah balik ke rumah (jenasahnya)?

Aku mau-tak-mau luruh lagi.
Sekian lama berusaha menghindar untuk mendengar bagaimana saat-saat terakhir orang yang melahirkanku menuntasi hidupnya dan kini kudengar dari orang yang justru melahirkan mamaku, Ibuk.

?Aku kalau mati juga mau kayak gitu.. Kayak Mamamu, kayak Papamu?.?

Aku terdiam.

?Mereka orang-orang baik??

Dan cerita tentang Mama, Papa jadi cerita harian eyang setiap hari ia melihatku. Ia mengulang-ulangnya seolah ia belum pernah bercerita lebih dari lima kali kepadaku.

Demikian terus, menerus hingga Jumat 17 Juni 2016 tiba. Aku hendak pulang kembali ke Australia dan berpamitan dengannya.

Aku tahu ini bakal jadi berat. Bukan hanya karena usianya yang menua dan aku takut tidak ketemu lagi dengannya, tapi karena aku takut lagi-lagi ia akan bercerita soal Mama, soal Papa di hari terakhirku dalam kunjungan itu.

?Buk, aku pamit!?
Mukanya kaget. ?Loh? pamit? Mulih ngendi? (Pulang kemana -jw) Kowe rak isih suwe tho neng kene? (Kamu kan masih lama di sini -jw)?

Aku menggeleng, mencoba tegar. ?Ora? aku bali saiki. Aku wes seminggu nang kene! (Nggak, aku pulang sekarang. Aku sudah seminggu di sini -jw)?

?Hah? Seminggu? Kok cepet tenan yo??

Aku lantas meluangkan barang satu dua jam bersama dengannya. Lagi-lagi ia bercerita tentang Mama, Papa dan dirinya.

Setelah selesai berkemas aku berdiri, sekali lagi berpamitan.

?Buk! Aku pamit?
Ia memelukku erat, sangat erat. Tangannya meremas lenganku kuat-kuat.

Ibuk

Saat sebelum aku pergi meninggalkannya…

?Oalah Don? Don? Kapan lagi kita bisa ketemu, Don?? Ia menatapku dalam-dalam. Tak ada linangan air mata yang semula kubayangkan akan jatuh berderai-derai darinya. Tak ada suara yang tergetar darinya. Yang ada hanyalah senyum dan kekuatan untuk memelukku erat-erat.

Sekali lagi kuberkata, ?Buk! Aku pamit! Nyuwun pangestune..? Kali ini aku pamit betulan.

Kucium punggung tangannya. Ia mengusap-usap rambutku lalu memelukku kembali kuat-kuat.

Tapi lagi-lagi ia berkata, ?Oalah Don? Don? Kapan lagi kita bisa ketemu, Don??
Mulutku berat berucap, tapi kupaksakan. ?Yang penting berdoa.. Kita saling mendoakan??

Aku membalikkan badan, memunggunginya, masuk ke dalam mobil yang mengantarkanku pergi.

Di balik kaca mobil ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

?Sing ngati-ati! Salam dinggo anak-anak lan bojo uga Mamah (mertua) mu! (Hati-hati! Salam untuk anak-anak dan istriku serta Mama mertuamu -jw)?

Aku mengangguk. Membalas lambaian tapi tak sekalipun berkata-kata. Takutku, kata-kata jadi tak terkatakan digantikan emosi sedih dan perih yang meluruh?

*Ibuk adalah sebutanku untuk Nenek, Ibu dari Mamaku.

Sebarluaskan!

3 Komentar

  1. ahhhh.. sedih.. :(

    Balas
  2. ahhh sedih…. (cepat-cepat hapus air mata)

    Ibuk… ternyata sudah 85 th ya.
    Kupikir waktu bertemu itu paling baru 70-an. Masih segar!
    Sepi adalah musuh dan teman di kala menua ya :(

    Balas
    • Yup. Pram bilang, “Hidup bukan pasar malam” Siap sendirian, Mel? :)

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.