Aku sedang penasaran akan satu hal, bagaimana proses terjadinya perubahan pandangan di masyarakat bahwa melakukan sesuatu adalah salah dan berdosa sedangkan ketika kita melakukan sesuatu yang lain adalah tak berdosa jika sejatinya keduanya memiliki konsep tindakan yang sama?
Taruhlah mencuri.
Orang mencuri ayam tetangga, ibu-ibu penilep permen di pasar swalayan dan seorang cucu usia belasan yang mencuri uang di almari kakek, mereka semua kita laknat sebagai pencuri!
Tapi orang yang memanfaatkan internet kantor untuk diam-diam ber-facebooking, tweeting maupun blogging… orang yang dengan serakah merusak hutan untuk berladang, orang yang membajak atau menikmati bajakan karya seni dan budaya… dengan sangat tidak mudah, kita tak bisa mengkategorikan mereka (kita? aku?) sebagai pencuri padahal pada dasarnya mereka (kita? aku?) pun juga mengambil hak milik orang/pihak lain tanpa seijin si empunya.
Benarkah harus ada proses yang demikian: (1) Seseorang melakukan aksi terhadap orang lain, (2) Orang lain merasa dirugikan, (3) Kerugian itu disadari (acknowledge) oleh masyarakat, (4) Masyarakat melalui pemuka-pemuka moral dan agama mengaitkan tindakan itu dengan nilai-nilai dan tata atur agama, (5) Keluarlah talak, “Yak, dosa!”
Jika memang demikian, yang kukhawatirkan adalah pada langkah ke-3 dan selanjutnya.
Kenapa? Jawaban termudahnya, masyarakat tanpa pengaturan yang kokoh adalah sebuah gelombang air yang cair, bergelombang, penuh keterombang-ambingan dan tak jarang menghasilkan satu keputusan yang justru sangat subyektif. Kalian tak percaya dengan anggapanku? Amatilah salah satu acara di televisi swasta kita yang mengijinkan masyarakat untuk mengomentari berita yang ditayangkan dan tangkaplah ada berapa pendapat yang berbeda-beda di sana?
Nah, lanjut.
Taruhlah dalam kasus bagaimana dirugikannya sebuah kantor gara-gara pegawainya secara ilegal ber-facebooking, tweeting maupun blogging itu tadi.
Anggaplah sang pemilik kantor itu lantas ter-endus oleh masyarakat, katakanlah karena pada akhirnya ia melakukan pemecatan pada karyawan yang dimaksud, belum tentu masyarakat lantas membenarkan kebijakan pemecatan tersebut sebagai “sesuatu yang melawan kejahatan pencurian”. Tanggapan-tanggapan klise yang menurutku amat aneh itu bisa jadi “Oh, lha masa gitu saja dipecat? Rugi ya rugi tapi kan kantor tetap untung banyak tho?” atau “Kok nggak manusiawi banget tho! Nggak sebanding dengan bagaimana derita anak-istrinya yang berkekurangan karena suaminya kehilangan pekerjaan!” atau yang mau lebih ekstrim lagi “Woo.. kantor kafir! Menyengsarakan umat!”
Ketika semua itu terjadi, hilanglah satu momentum untuk ‘memasukkan’ perihal pencurian waktu dan bandwidth internet kantor untuk hal-hal diluar urusan kantor (semisal facebooking, tweeting dan blogging) dalam kategori pencurian.
Contoh lain misalnya pada kasus perusakan hutan untuk berladang.
Katakanlah si perusak itu dilaporkan ke pihak yang berwajib karena perusakan lingkungan hidup, membunuhi binatang, merusak dan menebang pohon di hutan. Belum tentu masyrakat dengan mudah menilai itu sebagai sebuah ‘kesalahan’. Bisa jadi, saking ‘cair’ nya kondisi masyarakat yang menilai maka tumbuh banyak pendapat diantaranya “Ya, memang kasihan binatang itu dibunuhi dan pohon ditebang.. tapi demi manusia yang juga butuh tempat tinggal dan usaha apa salahnya? Kita doakan saja para hewan itu diterima di sisi-Nya!”
Duh! Kalau demikian bisa-bisa yang terjadi justru sebaliknya, demi kelangsungan hidup manusia, tindakan-tindakan perusakan lingkungan hidup adalah amal dan jauh dari dosa?
Takutku, kalaupun akhirnya keluar talak ‘dosa’, itu terjadi pada saat tak ada lagi binatang dan pohon yang bisa dibunuh dan ditebang. Sebuah kesia-siaan yang menyisakan penyesalan tiada akhir…
Kalau sudah demikian, yang patut memangkas proses ini tak lain adalah hukum serta aparat-aparat pengusungnya.
Aparat hukum harus benar-benar adil dan bermartabat dalam menjadi juri yang kukuh dalam setiap kasus yang setiap waktu selalu berkembang meski asas dan hakikatnya tetaplah sama. Kemampuan yang dituntut dari mereka tak hanya soal kejujuran dan kepandaian menjatuhkan hukuman tapi lebih dari itu juga harus pandai membaca situasi sehingga mereka dapat membantuku menjawab pertanyaanku mula-mula di atas; bahwa merekalah yang layak menjaga hukum dan menentukan tindakan mana yang harus dikategorikan sebagai suatu kesalahan berikut ancaman hukumannya serta mana yang tidak.
Beda perkaranya bila mereka sendiri adalah juga pelaku kejahatan-kejahatan baru tersebut … kalau yang demikian sih, akan sungguh-sungguh menyesakkan dada…
Untuk mengetahui sesuatu itu salah atau berdosa rasanya tidak harus melalui tahapan spt yang kamu tulis deh, Don.
Hati manusia seringkali bersuara ketika dia melakukan hal yg tidak sepantasnya termasuk ber FB, Twitter, dsb. Untuk yg sudah keranjingan awal-awalnya pasti ada rasa deg-degan kan kalau ber FB ataupun Twitter an di jam kerja? Rasa deg-degan ini sudah sensor otomatis, yang makin lama makin lemah kalau dicuekin.
Bagusnya…ada kantor yg membuat waktu pemblokiran untuk FB, jadi ga ada yg kebablasan. :D
Makanya smartphone laris manis meskipun duit seret..yg penting lancar bersocial media
iya sih, tapi aku bukan penggila social media sampe2 HP aku pakai untuk itu. :D
Biarlah waktu yang menjawab
secara harfiah..orang2 dalam kasus tersebut bisa kita sebut sebagai pencuri,…
tapi tidak secara kondisi riilnya,
Btw pemikiran yang menarik bro
duh..berat banget sih bahasanya ?
org awam susah ngerti nih.. –> nunjuk diriku.. :P
tapi gak berlaku buat yang emang kerjanya adalah ber-Facebooking .. Blogging .. dan twitting ya? … emang pekerjaannya begitu .. maintenance the social media for the company .. hihi .. itu ga termasuk mencuri toh ya? … Karena sebenernya .. yg ada di dunia maya, (termasuk FB, TWT, BLG) … ada juga yg bermanfaat kan? … tergantung usernya ..
*yg kerjanya online dari masuk sampe pulang
Wah… sejalan dengan ku kalau begitu.. :)
[Aparat hukum harus benar-benar adil dan bermartabat ]
Zaman sekarang sih zamannya “Grasi”, “remisi”, dan “Telp Besan” jadi yah…hukum pencuri ayam dan lainnya (koruptor) dibedakan. Yang parahnya cara ini memang ngak bermartabat :(
Menyoal memakai diluar keperluan kantor rasanya memang bertentangan dengan professionalisme. Saya setuju :)
Namun, jika corporate bisa melihat potensial dibalik social media rasanya memang perlu diberdayakan antara karyawan dan aktivitas mereka.
Mungkin karena mencuri waktu itu tidak bisa dibuktikan sebagai perbuatan memperkaya diri sendiri mas. Jadi, kecuali yang punya kepentingan (bos,pemilik perusahaan,teman satu tim dll), yang lain tidak merasa dirugikan.
itulah repotnya hukum yang dibuat oleh manusia, mas donny. seringkali yang terjadi, hukum hanya semacam ayat yang “disucikan” tapi tak pernah dilaksanakan dengan benar2, termasuk di kalangan aparat pendukungnya.
Definisi “dosa” dalam term agama adalah pelanggaran akan segala aturan yang tertuang di kitab suci. Hukum sosial tidak tertulis, sehingga bentuk hukumannyapun beragam, tergantung bagaimana kebijakan sosial setempat. Maka menurutku, untuk sebuah kantor, ada baiknya dibuat sebuah aturan tertulis apakah karyawannya boleh berfacebooking dsb atau tidak. Dengan demikian, akan mudah menyatakannya “berdosa” atau tidak. :)
Hukum itu ada yang tertulis dan ada yang tak tertulis (berupa sanksi moral dari lingkungan).
Sistem apapun, yang paling baik adalah jika telah menjadi budaya, dan masuk ke hati, sehingga bagi yang berperilaku di luar kebiasaan akan dijauhi oleh lingkungan dan merasa tak nyaman. Masalahnya, jika budaya ini bergeser menjadi lebih permisif…barulah menjadi rusak….
Diakui, hidup zaman ini sulit bagi orangtua mendidik anak-anaknya, dibanding zaman ayah ibu ku dulu, atau zaman saya mendidik anak-anakku.
menurut saya “hukum” yang ada saat ini adalah hukum versi manusia (sebagian manusia) dan kita jangan berharap setiap manusia mendapat keadilan dari hukum.
untung aku tak pake BW kantor juga tak tebang hutan bukan miliknya dll juga tak tilap uang kantor dsbg wakakaka
tapi aku nyri tulisan saja untuk di baca
gunakan sofware original untuk menghargai kekayaan intelektual
nyruri opo yah theme kali wakakaka jare arepmulih njowo mas
Rasanya hukum yang sungguh menyejukkan dan berkeadilan adalah “hanya” hukum dari Tuhan, Om.
Salam kekerabatan.