Semalam kantor mengadakan perayaan Ekaristi pemberkatan gedung baru dan pastor yang kami undang kebetulan adalah salah satu klien ISP kami, Romo Koko, MSF.
Selain sebagai pastor, beliau juga adalah seorang kartunis yang mumpuni, beberapa hasil karyanya telah dicetak dalam tiga buku kemudian secara berkala dia juga adalah kontributor kartun
beberapa majalah rohani, lalu tak ketinggalan, iapun telah pula mendokumentasikan karya-karyanya ke dalam website yang beralamatkan di RomoKoko.Com.
Maka jadilah ketika gilirannya untuk memberikan kotbah, mungkin supaya lebih menarik, ia sengaja memilih konteks pembicaraan yang tepat dengan dunia usaha kami, internet.
Namun yang menarik bagi saya bukan hanya itu saja karena saya sudah lumayan punya banyak kenalan romo yang sudah terbiasa memanfaatkan internet untuk bekerja dan bersosialisasi seperti
halnya Romo Koko ini. Justru yang agak menggelitik sekaligus kemudian menjadi bahan permenungan adalah ketika beliau menyebut istilah “homepage” untuk websitenya.
Romo Koko berujar begini kira-kira
“Sebagai klien, saya cukup puas dengan layanan yang diberikan CitraNet. Anda semua telah membantu saya untuk mengupload dengan mudah gambar-gambar saya ke homepage saya.”
Mendengar istilah “homepage” untuk mengistilahkan keseluruhan isi website, ingatan saya melanglang buana ke sepuluh tahun yang silam.
Entah kenapa, pada akhir dekade 90-an ketika internet sedang mulai dikenal dan masih menjadi komoditi yang lumayan mahal, orang-orang lebih suka menyebut keseluruhan website sebagai homepage.
Termasuk saya, yang dalam beberapa website pertama yang iseng-iseng kubuat dulu, mendeskripsikan judul website tersebut dengan “Selamat Datang di Homepage Kami!”
Akan tetapi, seiring booming dotcom di awal dekade 2000 yang lalu, istilah homepage mulai bergeser yang semula berarti keseluruhan website menjadi hanya halaman depan sebuah website saja.
Orang menyebut homepage kala itu berarti halaman depan website saja. Lalu berbarengan dengan musim berseminya blog-blog generasi pertama, sekitar enam tahun lalu, istilah homepage seperti
sudah semakin ditinggalkan.
Orang mulai berkata website untuk menjelaskan website, sedangkan halaman depan biasa disebut main page, indeks page atau frontpage meski untuk istilah terakhir ini saya pikir jadi ngetop
karena imbas nama html editor yang dulu pernah tenar, Microsoft FrontPage.
Arus “peng-Indonesia-an” istilah-istilah internet terjadi pula pada setidaknya tiga tahunan terakhir.
Istilah situs web telah cukup kokoh menggantikan website terutama dalam penulisan karya ilmiah serta mereka yang tetap eager untuk tidak mau kemasukan unsur Bahasa Inggris.
Tak hanya itu, yang dirasa agak aneh di kuping pun juga banyak diangkat sebagai sesuatu yang lebih “nasional” seperti misalnya “unduh” untuk download, “cakram padat” untuk
CD (dan mungkin DVD?), “unggah” untuk upload dan masih banyak istilah lain yang kebetulan saya sedang lupa karena ketika menulis ini tidak menyanding referensi yang biasanya menjadi kebiasaan saya dalam menulis.
Baguskah pengistilahan seperti itu?
Ya bagus setidaknya kita tidak perlu mencari referensi bahasa asing selama kita sendiri memiliknya tho.
Namun mungkin masalah kecil yang muncul hanya sekedar pembiasaan. Kita harus terbiasa dan itu tentu butuh proses.
Orang-orang seperti saya dan Anda yang biasa menggunakan istilah langsung dari Bahasa Inggris mungkin akan agak sedikit “gimana gitu” dengan istilah, misalnya, mengunduh.
Terus terang, kata “mengunduh” bagiku justru berasosiasikan pada buah dan pohonnya.
Entah kenapa kalau aku mendengar kata itu, ingatanku justru melayang ke masa kecil dulu ketika di depan rumah masih ditanami pohon buah dhuwet yang besar dan ranum buah-buahnya.
Setiap musim berbuah tiba, Ibu dan Nenekku selalu bilang “Don, kae unduhen dhuwete!”
Saya jadi membayangkan kalau misalnya pada saat itu, sepupu-sepupu saya yang masih precil-precil itu sudah lahir dan mereka terbiasa menggunakan istilah “unduh” untuk download, mungkin
akan berujar “Tuh Mas Don! Kamu disuruh men-download buat dhuwetnya!”
Opo tumon, jal ?
Kembali menyoal homepage dan website, pada tahun-tahun akhir belakangan ini, pun, istilah website sepertinya mulai mendapat saingan dengan istilah blog atau weblog.
Sedikit-sedikit blog, sedikit-sedikit blog.
Definisi blog juga sudah semakin sedemikian meluasnya seakan memenuhi ranah definisi dari eyangnya sendiri, website.
“Blog itu adalah website yang selalu di update kontennya” begitu kata salah satu pendekar blog kesohor di tanah air ini.
Padahal konon, blog yang sebenarnya sudah terdiri dari dua kata: web+log itu dulu hanyalah sarana untuk pendokumentasian seorang programmer terhadap program yang sedang dibangunnya
bukan menjadi ajang dan arena berwacana, berpolitik atau malah-malah curcol (curhat colongan) seperti yang sedang marak sekarang ini.
Entahlah, tapi aku ingin mengakhiri tulisan ini dengan membayangkan bahwa website dan blog dan homepage dan istilah apapun lainnya yang telah, sedang dan akan selalu lahir
itu tampak sebagai dampak semakin tambunnya pengenalan serta penggunaan internet di masyarakat kita.
Bagus? Ya bagus! Kenapa harus dibilang jelek ?
seperti juga istilah “Joystick” diganti menjadi “Tongkat kebahagiaan”
mesti pikirane do aneh2
huehuehue
wah..sekalian promosi negh ;)
Nanti orang naik haji menggunakan istilah: upload haji. Hehehe!
Tulisanmu membawa pencerahan, Su!
@Eddy: Tongkat kebahagiaan? Huehuehuehe nanti jangan jangan juda ada istilah “Tancapkan dan mainkan” untuk mengganti istilah Plug and Play :)
@DM: Wah, lebih dari itu Dan, jangan-jangan nanti muncul istilah baru “Upload bojoku” dari asal istilah “Ngunggahi bojoku” :D