Kalian mungkin familier dengan Kabar Baik hari yang dilukis Lukas di bawah ini,
Tidak ada orang yang menyalakan pelita lalu menutupinya dengan tempayan atau menempatkannya di bawah tempat tidur, tetapi ia menempatkannya di atas kaki dian, supaya semua orang yang masuk ke dalam rumah dapat melihat cahayanya. (lih. Lukas 8:16) Yesus bicara hal itu sebagai kelanjutan dari penjelasan analoginya tentang benih yang ditabur (lih. Lukas 8:10-15)
Lalu apakah pelita itu?
Pelita adalah firman Tuhan? Bisa jadi! Tapi hari ini aku ingin merenungi pelita sebagai akal dan budi. Keduanya diberikan Tuhan kepada kita untuk menjalani hidup di dunia.?
Menutupi pelita dengan tempayan lalu menempatkan di bawah tempat tidur adalah gambaran tentang bagaimana seseorang yang sudah diberi akal dan budi tapi tak mau mempergunakannya sebagai sarana pengambil keputusan hidup.
Hari-hari ini suhu politik di Tanah Air kian panas menjelang Pemilu, 17 April 2019 mendatang.
Wajar sih, namanya juga pesta lima tahunan dan alam demokrasi, masing-masing pihak yang bertarung memang berhak untuk mengajukan diri sebagai yang terbaik sebagai pemimpin maupun wakil rakyat. Namun sayangnya, naiknya suhu politik itu ditingkahi pula oleh hal-hal buruk yang mencederai meriahnya pesta yaitu hoax alias kabar palsu yang sengaja dibuat dan disebarluaskan oleh pihak-pihak tertentu untuk berbagai macam tujuan.
Lalu bagaimana sikap kita sebagai Umat Allah untuk menanggapi maraknya hoax?
Apa yang dikatakan Yesus tentang pelita di atas bisa jadi pedoman bagi kita. Menerima hoax itu manusiawi tapi mempercayai hoax begitu saja apalagi ikut menyebarluaskannya baik sengaja atau tak disengaja adalah seperti halnya menutupi pelita dengan tempayan lalu menempatkan di bawah tempat tidur!
Setiap berita haruslah disaring menggunakan akal dan budi.
Misalnya suatu waktu kita menerima kabar tentang seorang pemimpin yang konon terlibat dalam sebuah organisasi terlarang. Bagaimana menyikapi kabar itu?
Kita perlu melihat latar belakang si pemimpin, apa benar ia dan keluarganya terlibat dalam organisasi tersebut. Lalu katakanlah kamu mendapat bukti bahwa hal itu adalah hoax, ya jangan disebarluaskan!
Ada, semoga bukan bagian dari kita, yang sudah tahu bahwa itu hoax tapi lantas menyebarluaskannya semata karena merasa perlu mendapatkan konfirmasi kebenaran. Orang yang seperti ini sekali lagi adalah orang yang meninggalkan akal dan budinya di bawah tempayan di bawah kasur!
Bagaimana kalau kita membalas hoax tadi dengan membuat pernyataan bahwa pemimpin yang kita sayangi itu memang bukan dari keluarga yang terlibat organisasi terlarang? Bukankah kita diajak untuk menjadi saksi atas hal-hal yang benar, Don?
Kalimat keduamu itu benar bahwa kita memang diajak untuk menjadi saksi atas hal-hal yang benar, tapi apa kepentinganmu untuk membuat pernyataan yang kontra hoax jika sang pemimpin sendiri telah menyatakan berkali-kali bahwa berita itu memang benar-benar hoax?
Selain itu, hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan kontra-hoax adalah imbas yang didapat oleh mereka yang orang tuanya atau kakek-neneknya dulu memang terlibat dalam organisasi terlarang tersebut. Mereka bisa jadi ketar-ketir lagi dan harus membuka kenangan lama atas peristiwa yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad itu! Adakah mereka masih harus menanggung semuanya turun-temurun semata untuk menyemarakkan pesta lima tahunan itu?
Jika jawabanmu adalah ?Ya! Mereka harus!? maka apa bedamu dengan para penghakim dan penghujat sesama yang kerap main tunjuk hidung?
Jika jawabanmu adalah, ?Oh, aku baru tersadar akan hal itu, Don!? Pesanku satu, masuklah ke kamar, longoklah ke bawah kasur dan cari adakah tempayan tertelungkup di situ. Jika iya, bukalah siapa tahu akal dan budimu tertinggal di sana! Segera ambil, nyalakan biar bercahaya lalu pasang di atas kaki dian.
Sydney, 11 Januari 2019
0 Komentar