Dunia cyber membuatku menguatkan definisi kawan dan membedakannya dari yang sekadar kenalan.
Kawan, bagiku, adalah mereka yang kenal dan pernah bertemu serta ada interaksi langsung yang positif diantara aku dan mereka.?Kenalan adalah mereka yang kenal atau tahu biasanya lewat media online, tapi belum pernah bertemu dan kalaupun bertemu belum tentu bisa cocok; bisa jadi berantem, bisa jadi bercinta! *halah*
Aku awalnya menganggap Hamid Muhammad sebagai kenalan tapi lalu waktu membiarkan kami menjadi kawan.
Ia semula tak kuanggap siapa-siapa. Hanya seorang yang sering berceloteh di Twitter, tinggal di Jogja dan ujug-ujug mem-follow-ku di Twitter.
Kepada Mas Iwan ?Temukonco? Pribadi, kawan yang sudah kuanggap saudara tua, aku bertanya perihal Hamid, ?Sopo tho kuwi, Mas??
?Orang Jogja, Bung!? jawabnya singkat. Lalu ku-follow baliklah dia karena dua hal, ke-jogja-aannya, dan karena Mas Iwan Pribadi mengenalnya. Sesimple itu.
Lalu kami mulai berinteraksi virtual. Lewat lini masa twitter, tepatnya.?Ia ternyata adalah juga pembaca blog ini dan konon, mengenal namaku sejak kasus ?Multiply? mencuat 2011 silam. (Bagi yang ingin membaca soal ?Multiply? silakan klik di sini dan di sini).
Keintimanku dengan Hamid mulai terasa ketika kami sama-sama punya concern yang sama: cara buzzer berjualan yang menurut kami ngotor-ngotori linimasa.
Bagi kami, buzzer harusnya punya cara yang lebih asyik untuk mencari duit dan menyenangkan klien-klien mereka lewat linimasa. Dan bagi kami lagi, ketika ditanya, ?Kenapa kamu sebegitu memprihatinkannya cara menjual jasa buzz-ing di timeline?? harusnya buzzer punya jawaban yang lebih asyik ketimbang ?Kalau nggak suka silakan unfollow!?
Ke-galau-annya tentang buzzer kufasilitasi dengan memberikan ruang menulis di blog ini.?Dalam rubrik Wagen yang memang kukhususkan untuk penulis tamu, Hamid menulis ?Blogger dan Digital Salah Kaprah? yang waktu itu konon cukup memanaskan kuping para buzzer yang membacanya.
Eh ada cerita unik tentang terbitnya tulisan itu.
Sebagai orang yang sangat picky, aku tak serta-merta meloloskan tulisan Hamid. Setelah kubaca draftnya, karena kurasa tata bahasanya masih berantakan, aku mengeditnya.
Setelah kukirim balik kepadanya untuk approval, Hamid berkomentar,??Wah, tulisanku jadi Donny banget! Aku nggak mau! Biar kutulis ulang aja!? ujarnya.
Lalu ia menulis ulang dan hasilnya bisa kalian baca di sini.
Interaksiku dengan Hamid tak berhenti pada soal bicara buzzer saja. Kami juga kerap bicara yang lainnya. Aku menceritakan pengalaman hidupku di Jogja dan Australia, ia juga menceritakan latar belakang keluarganya, kondisi keuangannya, kegalauan-kegalauannya dan keahliannya dalam mengelola server.
Pada saat aku pulang mendadak ke Indonesia karena Papa mertua sakit, Agustus 2013, aku menyempatkan pulang ke Klaten meski lamanya tak lebih dari 24 jam. Dalam kunjungan super singkat itu, pada sebuah makan siang di restaurant di Jl Gejayan, Hamid menemaniku bersama Mas Iwan ?Temukonco? Pribadi beberapa jam lamanya.
Tahun 2014, hubunganku dengan Hamid sempat tak terlalu dekat. Bukan karena bermusuhan, tapi kupikir karena waktu itu suhu politik Indonesia sedang memanas karena PEMILU, aku begitu menggebu mendukung calon presiden yang kupikir pro rakyat (akhirnya kuketahui ia adalah seorang pro hukuman mati setelah ditahtakan sebagai presiden) sedangkan Hamid seolah menarik diri dari riuh rendah waktu itu.
Baru setelah semuanya berakhir, aku menghubungi Hamid lagi untuk meminta bantuannya memigrasi blogku dari provider lama ke yang baru.
Ia menyaguhi permohonanku tanpa syarat. Malah ketika kutanya berapa harus kubayar jasa baiknya itu, dia bilang, ?Santai aja? Paling nanti kalau aku butuh bantuan bayar service pake credit card tolong ditalangi ya Don!?
Aku meng-iya-kan.
Menjelang akhir 2014 aku memutuskan untuk berhenti nge-tweet dan ini berarti interaksiku dengan Hamid juga berkurang.
Meski demikian, aku tetap sekali dua kali bercengkrama dengannya melalui Google Hangout baik itu dalam grup ?Daster tak pernah mengecewakan? yang isinya orang-orang Jogja yang punya selera humor nyeleneh sepertiku dan Hamid maupun dalam jendela-jendela private.
Ada banyak hal yang kami bicarakan dalam jendela private. Tapi kalau boleh aku men-share dua hal kepada kalian maka hal itu adalah:
Pertama, soal theme blognya.
Hamid adalah seorang penulis yang menurutku punya gaya bahasa unik, meletup-letup tapi cerdas. Dengan telaten ia menuliskan opininya di blognya hmd.me.
Nah, suatu waktu, ia berujar di linimasa begini, ?Mimpiku pengen punya blog yang theme-nya dikerjain DV (Donny verdian, aku) dan backendnya dikerjain Lantip (Rony Lantip – kawanku yang lain yang pernah kuwawancarai di sini)??Beberapa waktu sesudahnya, ia mengulangi permintaannya itu melalui jendela private.
?Aku tulung bikinkan theme buat blogku. Yang sekarang biasa banget jhe!? pintanya.
?Yo, mengko kubikinin. Mau yang model kayak apa??
?Yang kekinian? paling yang kayak magazine itu lah?
?OK?
Tapi sayang, hingga kini aku tak pernah menyempatkan diri untuk membuatkannya sebuah theme untuk blognya.
Kedua, soal dompet.
Suatu waktu ia menghampiriku lewat jendela private.
?Don, tolong lihatin dompet ini? Bagus ya??
Aku segera membuka link dan memang dompet yang ditunjuknya bagus. Berkelas.
?Larang (mahal -jw)!? kataku.
?Hehehe, soal dompet aku memang maunya yang classy!? tukasnya.
?Kamu mau jadi dropsite nggak Don kalau aku beli barang ini? Trus nanti kalau kamu balik ke Indonesia tolong dibawain?
?Boleh. Ga papa. Mid!? jawabku.
Aku rupanya gawal membaca ?waskita?. Sebagai seorang teman, dan sebagai sesama Jawa, harusnya aku mampu membaca hal itu sebagai ?Kalau aku tak keberatan, aku akan membelikan dompet itu untukmu, Mid?
Interaksi-interaksiku sesudah dua interaksi itu selain tak bisa kuceritakan di sini, selebihnya berlangsung hanya sepotong-potong.
Pernah aku begitu concern dengan statusnya yang menceritakan bahwa ia perlu bolak-balik ke rumah sakit.
?Kowe lara apa?? tanyaku.
?Paru-paru? basah? jawabnya.
?Hati-hati. Jangan banyak keluar malam tanpa jaket dan kurangi rokok!??Ia hanya menunjukkan emoticon senyum.
Tak ada angin dan jauh dari badai, kemarin siang kuterima kabar yang mengejutkan.?Sepuluh hari berselang setelah aku kehilangan sahabatku, Iwan Santoso, aku kehilangan Hamid Muhammad, kawan yang tadinya hanya kenalan.
Adalah Gie Wahyudi, seorang blogger yang juga kawan dekatku di Indonesia, mengabarkan, ?Mbah, tolong lihat twitter sekarang! Hamid (me) ninggal!?
Aku yang sedang berada di penghujung meeting, kagetnya bukan kepalang setelah melongok pesan di mobile phoneku.
Setelah kembali ke ruang kerjaku, aku segera melongok ke halaman Facebook Hamid. Mendapati apa yang ia tulis beberapa jam sebelum mendadak pingsan di kantor lalu meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit, aku jadi sedikit lega karena Hamid di akhir hidupnya memberikan pesan dahsyat penuh syukur seperti tertuang di bawah ini:

Status terakhir Hamid, dalam Bahasa Indonesia, pesan itu berbunyi, “Hanya bisa bilang, Terima kasih Tuhan!”
Selamat jalan, sugeng tindak, Hamid!
Kamu akan kukenang sebagai orang Jogja yang sejati; punya kompetensi tapi tak berkoar-koar, humoris, idealis dan kritis tapi?jelas bukan seseorang oportunis!
Aku yakin kamu sudah ada di tempat yang tak kan mampu membuatmu mengeluh tentang keadaanmu lagi karena di sana semuanya sudah jauh lebih enak dari semua tempat di dunia yang kau impikan untuk kau singgahi.
Maafkan aku yang tak pernah sempat membuatkan theme untuk blogmu. Aku juga gawal membaca ?waskita? tentang keinginanmu pada dompet itu? tapi setidaknya, semoga tulisan ini adalah usahaku untuk ikut membantu melapangkan jalanmu menuju ke haribaaan Tuhan Yang Maha Asik!
Kamu tak?kan kulupakan, Mid dan suatu waktu nanti, kita akan berasyik-asyikan lagi di sisi dunia yang lainnya.
*hmd adalah salah satu dari sekian akun twitter Hamid Muhammad.
Dompet e wes sempat tak anani kok Don, smg hmd wes ga galau dompet meneh …
*aku mewek*
Ikut dukacita atas meninggalnya hmd.
Tulisan obituari gaya Donny mantap. Saya suka.
Hamid ki kancane akeh nan kok, Mas Don
Pastine kan ya akeh sing ndongakke juga
*Mah dha ngapa je?
Ra papa kok Mid, Nek iki ora mung #jarene sih :|
ealah Mid Mid :(
Aku gak kenal, tapi aku ngraSakne sedih maca iki.