Tulisan ini adalah rangkaian dari serial tulisan 'Hikayat Tattoo'. Untuk menyimak selengkapnya, klik di sini.
Lalu tibalah hari itu, september 2005.
Tepat sebulan sebelum pada akhirnya aku berhenti merokok secara tiba-tiba, aku memulai tattoo journey baru berkonsep Maria.
Butuh waktu tiga bulan sejak konsep diretas. Bukan hanya soal menabung karena ongkos tattoo yang membubung, tapi lebih dari itu aku harus berpikir untuk melonggarkan ikat pinggang keuanganku tak hanya untuk sekali tattoo tapi juga beberapa bulan ke depannya. Kenapa enam bulan ke depan? Belajar dari pengalaman, kuperkirakan aku butuh sekitar enam kali tattoo untuk memenuhi seluruh jengkal kulit kaki kiriku. Jadi, dengan perhitungan sebulan sekali menambah tattoo, maka kuperlukan sekitar enam bulan dengan kondisi keuangan yang tak mencekik leher. Meski gajiku waktu itu sudah bisa dibilang sangat lumayan untuk ukuran orang seusiaku di Jogja, tapi toh itu adalah hitungan untuk orang seusiaku yang tak bertattoo :)
“…sepertinya aku harus mengubah konsep tattooku mengingat rendahnya resistensiku terhadap rasa sakit…”
Pagi sekitar pukul 10, aku sudah berada di studio Munir untuk memulai proses tattoo.?Harus kuakui bahwa studio tattoo yang baru dipindah ini jauh lebih bagus daripada sebelumnya. Mulai dari penataan ruang hingga dekorasi serta yang paling penting adalah faktor higienis yang tampak begitu terjaga memberi jaminan yang sangat bagus kepada client baru mengingat bagaimanapun juga proses pembuatan tattoo serta pirantinya adalah hal yang terkait dengan masalah kesehatan seseorang.
Munir telah membuat gambar jadi untuk sesi tattoo-ku pagi itu.
Sebuah matahari yang dimodifikasi untuk diletakkan pada atas pergelangan mata kakiku. Ukurannya cukup besar dan yang menarik dan memang spesifik kuminta dari Munir gambar tersebut sangat jauh dari persepsi kebanyakan orang tentang matahari itu sendiri.
Kalian mungkin bertanya kenapa aku justru memintanya demikian, alasannya adalah karena bagiku tattoo itu soal pribadi, personal. Bayangkan, kita ini kan selalu takluk pada persepsi-persepsi yang telah beredar di masyarakat tanpa kita mampu menyanggahnya. Taruhlah langit, kita bilang warnanya biru karena mata kita dilatih untuk mengidentifikasi warna langit memang biru! Kalau demikian, apalah bedanya kita dengan banteng yang hanya mampu menyeruduk ketika mata mengidentifikasi warna merah? Atau contoh lain, minum minuman alkohol itu dilarang semata hanya karena tulisan dalam kitab menyerukan demikian. Tapi, bayangkanlah kamu minum alkohol lalu berbuat baik sesudahnya, apakah itu akan terhitung sebagai dosa juga?
“…kita ini kan selalu takluk pada persepsi-persepsi yang telah beredar di masyarakat tanpa kita mampu menyanggahnya.”
Ah, malah ngelantur! Ya pokoknya aku yang juga harus tunduk pada persepsi-persepsi umum selama ini mencoba keluar dengan memberikan persepsi baru terhadap matahari di lahanku pribadi, kulitku sendiri!
Persiapan dilakukan. Jarum dibuka dari kantong sterilnya, tinta-tinta yang akan dipakai dimasukkan ke dalam palet-palet kecil, beberapa dicampurkan satu dengan yang lainnya untuk mendapatkan warna baru yang belum ada dari sananya, mesin berdinamo yang hendak digunakan merajah kulitmu pun dipanasi. “Trrrreetttt…treeetttt!” Ah, suara itu begitu ngangeni! Menyeramkan dan memekakkan telinga memang kedengarannya, tapi entahlah beberapa bulan tak mendengarkannya layaknya kehilangan suara deru mobil dan motor di jalanan.
Munir yang telah mengkopi sketsa gambar matahari itu ke kertas kalkir, segera meletakkannya di atas kulitku lalu dengan menggunakan pelumas, entah apa namanya, tinta yang semula ada di kertas kalkir telah tercetak di atas kulit yang akan digunakannya sebagai pola. Lalu ketika semuanya telah selesai, ia pun bertanya, “Siap?” Ia tersenyum. Senyumnya mengingatkanku pada rasa sakit atas semua tatttooku yang pernah ia buat, tapi namanya juga sudah niat, pantang mundur adalah keharusan!
Aku mengangguk, dan segera sesudahnya iapun memulai proses rajah itu.
Tapi entah kenapa, berbeda dengan proses pembuatan tattoo pertama di kaki kanan, kali ini terasa begitu menyakitkan. Resistensiku terhadap rasa sakit kurasakan sangat buruk pagi itu. Baru sekitar 10 menit, aku telah minta istirahat.
“Kok beda ya, Nir?” tanyaku terheran-heran.
“Hmmm.. semalam tidurmu cukup?”
“Cukup! Berlebihan malah karena aku tahu aku mau tattoo pagi ini!”
“Hmmm… mungkin juga karena ini kaki kiri, Don!”
“Apa hubungannya?”
“Orang yang tidak kidal akan lebih sakit ketika ditattoo kulit tubuh sebelah kirinya.” tukas Munir.
“Kenapa begitu?” tanyaku lagi.
Lalu Munir menjelaskan sesuatu yang masuk akal; orang yang tidak kidal cenderung lebih aktif menggunakan organ tubuh bagian kanan ketimbang kirinya sehingga resistensi sakit ketika ditattoo untuk kulit bagian kiri memang lebih lemah. Benar-tidaknya logika itu, entahlah tapi yang jelas pagi itu aku membuktikan kebenarannya.
Proses yang begitu menyakitkan itu toh akhirnya selesai juga setelah sekitar 2.5 jam berlangsung. Aku lupa berapa kali butuh istirahat untuk meredam rasa sakit, tapi karena semakin sering aku butuh istirahat nyatanya semakin menyakitkan, aku lantas memilih untuk menahan sebisa dan sekuat mungkin.
Satu hal yang kusyukuri, tak ada bagian gambar yang koyak karena ketidaktenanganku dalam menahan rasa sakit, dan tak ada pula rencana tattoo yang harus ditunda, jadi semuanya terlaksana dengan baik.
Sekarang, sebuah gambar yang kusepakati bersama Munir sebagai sebuah matahari telah tertahtakan dengan sempurna.?Waktu telah bergulir lewat tengah hari dan suara adzan dhuhur telah pula berlalu, saatnya untuk pulang. Aku lapar dan sesegera mungkin butuh untuk tidur siang demi mengurangi perih dan lebam yang mulai tampak.
Sebuah taksi kuhentikan dan setelah berpamitan dengan Munir untuk berjumpa bulan depan, aku segera melaju.?Dalam perjalanan pulang, benakku tak berhenti memikirkan rasa sakitku itu tadi. Nyaliku tergetar, sepertinya aku harus mengubah konsep tattooku mengingat rendahnya resistensiku terhadap rasa sakit…
Susah bagi saya membayangkan bagaimana sakitnya dirajah seperti ini.
Segitu aja sakit, apalagi yang di tatto di seluruh tubuh itu. Duh.. ternyata kowe pindah dari rokok ke tatto, Mbak. Biasane kan dari rokok ke permen. :)
coba isih udud, rodo nyante mesthi
keren gambar tattoomu, don. tapi baca bagian pas sakit, ngeri juga. >,<
eudan sakit banget tuh pasti….. ck ck ck… salut don..