Tulisan ini adalah rangkaian dari serial tulisan 'Hikayat Tattoo'. Untuk menyimak selengkapnya, klik di sini.
Kerumitan dan betapa menyiksanya proses pembuatan dan penyembuhan tattoo yang keempat yang kuceritakan di Hikayat Tatto (3) ternyata membuatku harus berhenti sejenak untuk melanjutkan tattooku setahun lamanya. Bukannya jera atau tak bisa ditattoo dengan pertimbangan kesehatan, tapi lebih karena kupikir aku butuh jeda untuk mengembalikan syaraf keberanianku yang mengkerutnya tak sebanding dengan meluap-luapnya nafsu untuk ditattoo.
Ah, jangan ditanya bagaimana rasanya menahan rindu setahun itu…
Ditattoo memang menyakitkan, tapi setahun tidak ditattoo dan selama itu sakitnya lebih benar-benar terasa ketimbang ditattoo sekalipun! Maka, sesudah semuanya berlalu, dengan penuh kegembiraan, sebuah pertanyaan terbit di dalam hatiku, “What’s next? Apa dan bagaimana tattooku selanjutnya?”
Aku merasa berada di persimpangan waktu itu…
Kenyataan yang tersedia adalah setungkai mata kaki hingga betis kaki kananku telah terisi penuh dengan tattoo non-konsep sementara masih ada sebidang kulit di paha yang bisa dirajah tinta. Di satu sisi persimpangan, aku ingin dan bisa saja meneruskan tattooku tanpa konsep, membiarkan Munir, tattoo artistku bermain semaunya dia.
Tapi di sisi lain, aku merasa perlu untuk membuat sebuah ‘gong’, sebuah ending yang menyengat dari rangkaian tattooku sebelum-sebelumnya, tapi aku tetap tak tahu apa!
Tiga bulan pun berjalan dan aku masih terus didera pikiran yang terbalut pertanyaan sederhana “What’s next? Apa dan bagaimana tattooku selanjutnya?”
Hingga suatu sore, aku tercerahkan!
“Aku duwe konsep!” lantangku kepada Munir lewat sambungan telepon sore itu.?Munir hanya tergelak entah apa maksudnya namun barangkali ia berpikir betapa akhirnya aku terikat juga dengan satu hal yang dinamakan konsep.
Kami sepakat bertemu pada suatu hari di bulan September 2004.
Lalu kepada Munir, kusampaikan bahwa konsep besar dari tattooku selanjutnya adalah agama/religi.
Kenapa aku memilih itu?
Simply karena aku berpikir bahwa ‘issue’ agama adalah yang bisa dibilang paling ‘selamanya’ untuk mengimbangi sifat tattoo yang permanen itu. Aku memerlukan sebuah konsep yang tak bisa menjemukan pikiranku hingga kapanpun dan kupikir itu adalah agama, tiada lain! Satu-satunya penyesalan yang melebihi kejemuan akan terjadi jika saja aku berpindah agama atau mendadak jadi tak ingin kenal Tuhan. Namun bagiku, meski aku tak terlalu religius, kedua hal pengecualian itu adalah hal yang paling akan kusesali jika harus terjadi, dan aku benci penyesalan dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak menyesal.
Malam itu kami sepakat untuk terus meruncingkan konsep, menajamkan arah hingga pada akhirnya muncul beberapa ide gambar yang bisa diaplikasikan, disesuaikan dengan tattoo yang sudah ada. Hingga menjelang seperempat malam, gambar tak kunjung ditetapkan dan aku memilih untuk meringkus kertas yang ada dihadapanku untuk kubawa pulang dan kuendapkan terlebih dahulu sebelum menetapkan gambar akhirnya.
Sebagai pengobat rindu, malam itu aku menambah tattooku dari lutut hingga beberapa senti ke atasnya.
Anehnya kali ini tanpa rasa sakit yang menyengat padahal setahun sebelumnya, daerah lutut, seperti halnya daerah mata kaki adalah daerah yang paling menyakitkan untuk ditattoo karena minimnya topangan tulang belulang dan banyaknya urat syaraf yang membebat.
Semula kupikir keanehan itu karena sejuta malaikat mendadak berada dipihakku sejak kutetapkan bahwa tema religi akan menjadi konsep tattooku selanjutnya. Tapi kupikir aku yang terlalu banyak berandai-andai…
horeee kali ini tanpa cerita mengerikan, masih ditunggu kelanjutannya
Sikil lecek ae sek di photoshop habis-habisan wakakaka. Tato bermunculan satu persatu, semenjak hikayat #1. Jangan bilang habis ini nongol lagi di paha atas itu… photoshopan meneh, sok mulus wahahaha.
Mas, setelah gw perhatikan dengan seksama, artistik yah bo ternyata.
Jadi penasaran apakah di atas tatto ke 5 masih ada lanjutannya (jangan2 dilanjut sampe dada hihihihi)
Terus gali inspirasi, Om, menarik untuk dibaca.
akhirnya DV punya konsep… makin menarik saja nehh :-)
*ambil kacang lagi, menanti kelanjutan ceritanya*
kira-kira sampai berapa ya hikayat ini?? Delapan, Sembilan, atau lebih?? :-D
duh ngebayangin ditattoo.. rasa sakitnya gimana tuh.
tapi sisi art-nya memang sip. penuh konsep. n gw jd kepikiran… kapan gw brani punya tattoo.. haha
sejarah tatto yang terukir di permukaan kulit mas donny ternyata demikian panjang dan berliku. salut banget dengan keberanian dan tekadmu, mas don!
Gile Don.
Tattoo nya sampai atas? Tadinya kirain itu lengan, ternyata itu betis dan paha. Kurus benerrr hahaha, makanya aku kira lengan.
Kekee..
Don,
Tampilan blogmu dibuka kok rada aneh (nggak seperti biasanya), walau aku tetap bisa komen.
Wahh ..akhirnya tato nya berkonsep.
Kalau lihat gambar tatomu, berarti akan masih ada cerita tentang Tato lagi.
Jadi konsepnya religi…ini memang akan selalu ada selama zaman masih ada.
tambah serem aja mas :P
dan aku jadi beneran anti di tatoo gara2 baca postinganmu ini :d
Tapi tatto berkonsepnya belom diaplikasikan kan saat itu? Yang no 5 ini kan cuma tatto pengobat rindu bukan?
itu tattoo sepanjang itu? wuih…ngeri mbayangke pas ditato, mas :D
bentar lagi ada YAkuza… :D
hmmm… ok deh, saya baca lagi kelanjutannya
ngalah2in tersandung 5 aja mas…
btw teruskan perjuangannmu…