Hikayat Tattoo (14), Akhirnya…

9 Mei 2013 | Cetusan, Hikayat Tattoo

Tulisan ini adalah rangkaian dari serial tulisan 'Hikayat Tattoo'. Untuk menyimak selengkapnya, klik di sini.

Periode waktu Januari hingga Mei 2007 adalah masa kelam yang kepekatannya tak kan pernah bisa kuceritakan secara mendetail kepada khalayak termasuk di blog ini. Bisa dibilang ‘istana pasir’ ku porak poranda! Semua hal, ketika akhirnya masa itu terlewati, harus kutata ulang baik itu urutannya, cara penyelesaiannya dan membangun semangat untuk melakukannya!

Urusan menyelesaikan tattoo pun pada akhirnya kuletakkan pada prioritas yang tak terlalu penting. Ia berada setelah prioritas penyelesaian studiku kesarjanaanku yang terbengkalai 12 tahun lamanya serta prioritas kedua adalah keputusan apakah aku akan tetap tinggal di Jogja atau pindah ke Australia.

Lalu seperti kata seseorang, “Time will heal, time will tell!” maka sembuh dan pulihlah semuanya seiring berjalannya waktu.?September 2008, tepatnya setahun tiga bulan setelah ‘masa tak menyenangkan itu’ terjadi dan terlewati, aku lulus kuliah! Pada waktu itu aku telah memutuskan bahwa aku hendak pindah ke Sydney dan tiket pun sudah terbeli, 31 Oktober 2008. Dengan rencana pernikahanku pada akhir Oktober 2008 sehingga aku harus stay di Jakarta sejak awal Oktober untuk mempersiapkan semuanya, praktis aku hanya punya waktu kurang dari satu bulan untuk menggarap hal yang belum tertuntaskan, apalagi kalau bukan tattoo di kaki kiriku.

“…. sesuatu yang baru kuselesaikan sore itu, tattoo! Ya, tattoo di kedua sisi luar kakiku yang mengungkapkan kecintaanku kepada Tuhan yang kuimani dalam kerangka agama yang kuyakini.”

Aku lantas menelpon Munir.
Awalnya, kuundang dia untuk ikut acara makan-makan dalam rangka kelulusanku sekaligus perpisahanku dengan kantor lamaku. Acara pun digelar dan ia datang.

“Selamat, Bung! Kapan mangkat?” Munir memelukku.
“Kalau dari Jogja resminya ya akhir September ini, tapi dari Indonesia nanti tanggal 31 Oktober malam!”

“Uwis mantep?”
Aku manggut-manggut. “Tapi ada satu yang bakal bisa bikin mantep lagi, Bung!”

“Apa kuwi?”
“Ngrampungin tattooku!”
“Hahahaha.. atur, Don! Atur!”

Jadwal lalu kami atur. Namun sungguhpun demikian waktu tampak begitu tak bersahabat denganku karena dalam kurun kurang dari empat minggu, ada begitu banyak hal yang perlu kusiap dan selesaikan.

“Kamu libur Lebaran mulai kapan, Nir?” tanyaku via pesan singkat. Hal ini perlu kutanyakan karena pada waktu itu adalah bulan puasa dan pesawatku ke Jakarta adalah tepat pada hari pertama lebaran, 1 Oktober 2008.

“Aku tutup mulai tanggal 30 September, Don! Piye?”
“Waduh… aku berangkat tanggal 1 Oktober 2008! Kamu nggak bisa ya kalau misalnya aku tattoo tanggal 30 September malam gitu?” tanyaku berharap.

Butuh waktu dua hari untukku akhirnya mendapatkan jawaban dari Munir bahwa pada akhirnya ia bisa menattooku pada saat itu dan ketika ia mengirimkan jawabannya, sesungguhnya aku teramat sangat terharu dibuatnya. Kenapa? Karena aku sadar pada akhirnya hal terakhir yang boleh kulakukan ketika aku masih jadi warga Jogja sebelum kepergianku adalah menyelesaikan tattoo Bunda Maria. Kedua, aku baru sadar begitu baiknya Munir yang mengorbankan waktu libur untuk menyambut hari besar agamanya demi menattooku, seorang yang padahal baru dikenalnya lima tahun belakangan, ketika itu!

Ketika hari yang ditentukan tiba, aksesku sebagai ‘orang Jogja’ sebenarnya sudah sangat terbatasi. Hampir semua barang-barang telah ku-packed. Kaos yang belum kumasukkan koper pun tinggal yang kupakai. Semua benar-benar telah akan berakhir dan malam itu, menggunakan motor yang kupinjam dari Chitra, aku melaju ke Toxic Studio Tattoo!

Kira-kira jam lima sore aku telah berada di sana sambil menunggu waktu buka puasa untuk Munir dan keluarga, kami pun ngobrol ngalor-ngidul.

“Hmmm sesudah tattoo ini, kelar semuanya, Nir!” aku menerawang.
Ia tersenyum “Santai wae.. Persahabatan kita tak pernah kelar hanya karena kamu nggak tattoo lagi kan hehehehe”

Ada makna yang begitu dalam dari apa yang diucapkannya tadi. Oh, betapa persahabatan yang indah yang disusun dari sesuatu yang tak dinyana dan bagi sebagian besar orang barangkali dianggap hal yang tak baik, tattoo!

“Sama berakhirnya dengan pengalamanku tinggal di Jogja!” aku masih menerawang.

“Hehehe, tenang Mas Bro! Nanti kamu juga bakal seneng tinggal di Sydney! Jangan terlalu dipikirkan dalam!” hibur Munir.

Percakapan dan permenungan itu mau-tak-mau justru menambah keberanianku untuk menyelesaikan tattoo pada bagian yang paling menyakitkan! Kira-kira satu jam setelah buka puasa, ketika ramai takbir mulai diperdengarkan menyambut hari kemenangan… perlahan tapi pasti, Munir mulai menorehkan tintanya ke bagian yang sebelumnya selalu kuanggap sebagai bagian yang paling menyakitkan!

Waktu terus bergulir dan entah kenapa proses pembuatan tattoo kali itu berjalan cukup senyap. Tak terlalu banyak candaan dari kami berdua. Entah dengan Munir, tapi aku, selain menahan rasa sakit, melewatkan malam terakhir sebagai penduduk Jogja di kota yang sangat kucintai itu adalah sesuatu yang lebih menyakitkan lagi!

Sekitar pukul sembilan malam seluruh tattoo akhirnya terselesaikan.
“Wes! Wes rampung!” seru Munir. Aku merasakan ada sedikit rasa emosional yang kurasakan dari tekanan jarum terakhirnya ke kulitku.?Aku tersenyum. Sebagai seorang sahabat, iapun kupeluk erat. Lama. Dan dengan tergetar, aku mengungkapkan terimakasihku!

“Suwun banget, Dab! Suwunnnnn banget!” tuturku.
“Santai, Mas Bro! Santai.. Jaga diri baik-baik di sana!”

Aku lantas tak memutuskan untuk berlama-lama di situ. Alasan selain ingin memberikan waktu lebih bagi Munir dan keluarganya untuk beristirahat mempersiapkan Lebaran keesokan harinya, aku tak mau larut semakin dalam ke dalam aura yang menurutku justru tak membantuku untuk tegar menghadapi kepindahanku saat itu!

Dengan langkah pincang, aku mengendarai motor keluar dari studionya sementara ramai orang di jalan menyuarakan takbir yang menggetarkan. Usai sudah tattooku yang proses pembuatannya memakan waktu lebih dari dua tahun itu!

Sepulang dari nongkrong terakhir dengan sahabatku Viktor di sebuah coffeeshop yang masih buka hingga menjelang pagi, dalam perjalananku mengendarai motor dari Jogja ke Klaten, ketika suara takbir semakin menggema di langit timur Jogja, perasaan campur aduk begitu kentara dalam hati lalu benak. Rekaman perjalanan hidup di Jogja sejak 1993 hingga saat itu, 2008, mengulas di kepala.

Betapa aku bersyukur dan teramat sangat mensyukuri pernah hidup di kota yang damai dan penuh cinta itu. Teringat dulu alm. Papa mengirimku ke Jogja untuk meraih pendidikan yang lebih baik dan kini, tak hanya ijazah yang sanggup kubuktikan, tapi juga pengalaman kerja yang lebih dari cukup untuk melanjutkan perjuangan di ladang baru bernama Sydney, Australia dan…. sesuatu yang baru kuselesaikan sore itu, tattoo! Ya, tattoo di kedua sisi luar kakiku yang mengungkapkan kecintaanku kepada Tuhan yang kuimani dalam kerangka agama yang kuyakini.

Ah, untung waktu itu aku mengenakan helm tertutup. Jika tidak, aku takut air mata yang tiba-tiba tumpah itu tersapu angin kebelakang…

Sekian catatanku tentang Hikayat Tattoo. Ini bukan akhir, masih ada tattoo lain yang belum kuceritakan detailnya dan.. masih banyak sisa ruang di kulit yang kuyakin akan tetap indah jika kutorehkan tattoo lanjutan di atas permukaannya.

akhirnya...

akhirnya…

Sebarluaskan!

2 Komentar

  1. oo begitu toh bagian atasnya…..

    Balas
  2. tatto memiliki estetika jika dilihat dari luar kaca mata pada umumnya, yg masih dipandang tabu. preman, bringas, sok, dan beragam sebutan minor yg ‘melecehkan’. padahal, tatto memiliki keindahan yg tak sekadar kini menjadi komoditi. tapi peradaban dan budaya bangsa! di tunggu hikayat tatto berikutnya….

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.