Hikayat Tattoo (13), Chitra

6 Mei 2013 | Cetusan, Hikayat Tattoo

Tulisan ini adalah rangkaian dari serial tulisan 'Hikayat Tattoo'. Untuk menyimak selengkapnya, klik di sini.

Bisa dibilang sepanjang sisa tahun 2006, aku dan kupikir kebanyakan warga Jogja lainnya mengerahkan semua energinya untuk recovery bencana gempa bumi yang terjadi pada pagi 27 Mei 2006.

Banyak rencana baik yang sifatnya personal, komunal maupun organisasi perkantoran yang akhirnya harus dijadwal ulang karena keadaan waktu itu di Jogja memang benar-benar tidak mengijinkan. Untung aku memang telah membatalkan niatku untuk melanjutkan proses pembuatan tattoo sesaat setelah gempa terjadi, so aku tak terlalu kecewa dengan keadaan, which was great!

Aku juga merasa sepertinya akan semakin berhasil menutup rapat-rapat keinginanku untuk melanjutkan proses tattoo salah satunya dengan jalan menyimpan koleksi celana pendekku dan kembali mengenakan celana panjang pada tiap kesempatan. Jalan ini membuatku tak punya waktu banyak untuk melihat koleksi tattoo di tubuhku, paling hanya waktu mandi saja; sesuatu yang tak bisa dihindarkan.

Meski masih ada ganjalan terutama setiap melihat tattoo yang tak terselesaikan di sisi kiri, aku selalu menguatkan hati bahwa tak semua hal di dunia ini harus diselesaikan dan hal itu ternyata jadi obat mujarab kecewaku.

Namun malaikat penjaga semangat tattooku rupanya tak tinggal diam.
Ia memang tahu aku perlu berkonsentrasi pada proses recovery bencana, tapi ketika semua sudah cukup teratasi, ia seperti mengingatkan kembali bahwa ada hal yang belum terselesaikan dan kali ini caranya cukup unik dan tak dinyana!

Pagi itu, malaikat tattoo tertawa terpingkal-pingkal dari atas sana. Ia pandai menggunakan Chitra untuk membuatku bersemangat lagi. Tattoo lagi!

Adalah Chitra, adikku satu-satunya.
Ketika kami sedang berkumpul di Klaten dalam liburan Natal, tiba-tiba ia yang waktu itu masih mahasiswi tingkat akhir, bertanya kepadaku, “Mas, ditattoo itu sakit nggak?”?Aku terkesiap! Sudah terlampau lama aku tak pernah ditanyai, disinggung ataupun menyinggungkan diri dengan urusan tattoo dan kali ini datang dari adikku sendiri.

“Hmmm, ya kamu ingat kan gimana reaksiku tiap ditattoo dulu!” Aku padahal tak ingin mengingat-ingatnya.
“Wah, sakit berarti…”
Hmmm…

“Aku lagi mikir pengen bikin tattoo!” tukasnya. Alisku mengkerut. Inginku melarangnya tapi hal itu tak kulakukan karena aku tahu melarangnya berarti memunculkan egoku karena aku melarang hanya supaya aku tak ingat tattoo lagi.

“Aku pengen tattoo di pundak kanan. Sakit nggak ya?”
Hmmmm…

“Gambarnya kupu-kupu. Aku udah nyari di internet sih kemarin!”
Dan aku tak kuasa lagi untuk tertarik pada topik itu. Aku duduk mendekati Chitra lalu kamipun berdiskusi mulai dari konsep, menceritakan proses, tips dan trik perawatan setelah tattoo dan akhirnya semua itu bermuara pada pertanyaanku, “Jadi, kapan kamu mau tattoo?”

Chitra yang waktu itu sudah bekerja paruh waktu dan berpenghasilan sendiri memilih awal tahun untuk tattoo. Ia segera kuberi nomer telpon Munir untuk mengadakan janjian sendiri.

“Tapi aku mungkin nggak bisa nemenin, Chit!”
“Loh kenapa?”
“Hmmm, aku takut kepingin tattoo lagi!”
“Oh, jadi tattoo di kaki kirimu itu sengaja nggak kamu lanjutin, Mas? Kenapa?”
Aku hanya diam.

* * *

Sekitar tiga minggu kemudian, pada suatu minggu pagi, aku terbangun oleh dering telepon yang kuletakkan tak jauh dari kasur.
“Mas!” Ah, Chitra.
“Ya, Chit?”
“Kamu dicariin Mas Munir?”
“Oh?”
“Kamu nggak mau kemari? Aku lagi mau ditattoo!”

Dan pagi itu aku merasa tak perlu menyeruput kopi untuk membuatku benar-benar ‘bangun’ karena kabar dari Chitra itu sudah membuatku tak sanggup lagi untuk tak loncat dari kasur, cuci muka dan langsung tancap gas ke Toxic studio!

Ketika aku sampai di sana, Chitra sedang ditattoo, ia dan Munir tak kutemukan di ruang tamu studio. Aku segera bergegas masuk ke ruang praktek studio tanpa menghiraukan sekitar yang masih sepi, maklum minggu pagi.

“Hi, Nir!” sapaku.
Munir tertawa menatapku seolah ia tahu bahwa Chitra membuatku benar-benar terbangun dari dua hal, ‘tidurku pagi itu’ dan ‘tidurku dari hilangnya semangat untuk bertattoo’ sementara Chitra masih menutup mulutnya dengan tangan menahan sakit proses tattoo tapi dari mata yang dipicingkannya, aku tahu ia pun tertawa kepadaku.

Aku hanya manggut-manggut, senyum dan akhirnya tak kuat menahan tawa juga.?Tapi aku tak sebegitu lama berada di ruangan itu. Meski Chitra adalah adikku, aku tak tertarik untuk mengikuti proses tattoonya.

Segera aku pamit ke Munir untuk pergi sebentar, “Aku ke ATM dulu trus cari sarapan lalu ke sini lagi!”
“Halah… mau ngapain? Nanti ajalah santai-santai dulu!” sergah Munir.
“Hmmm kamu masih ada janjian tattoo sesudah Chitra, Nir?” tanyaku.

“Enggak! Makanya santai-santai dulu jangan kesusu.. lagipula disitu ada warung rawon enak tinggal telepon mereka antar dan bayarnya pake duitku dulu!”?Aku menggeleng. Aku ke ATM karena pemandangan di studio tattoo milik Munir pagi itu telah membuatku terlecut untuk melanjutkan tattoo saat itu juga. Untuk itulah aku ambil duit untuk membayar pembuatan tattooku selanjutnya yang akhirnya kulakukan tepat setelah Chitra selesai ditattoo.

Pagi itu, malaikat tattoo tertawa terpingkal-pingkal dari atas sana. Ia pandai menggunakan Chitra untuk membuatku bersemangat lagi. Tattoo lagi!

Tanpa direncanakan sebelumnya, tulisan ini ternyata kurilis tepat pada hari ulang tahun Chitra, hari ini, 6 Mei 2013. Happy b’day, Chit!

Sebarluaskan!

3 Komentar

  1. waduhhhh…. Jadi pada tau deh aku punya tattoo…
    Hmmmm makasi ya mas untuk tulisan2mu pas di hari ultahku. Hehehehe..
    Ya wis, kapan tattoo lagi??

    Balas
  2. salut dengan keputusamu tidak melarang chitra.. luar biasa… kagum.

    Balas
  3. ahaaiiii… aku sedang menimbang-nimbang, pengen juga tatto, tapi kayaknya kok nggak kuat nahan sakit. Nanti sajalah kalau rasa inginnya lebih besar daripada bayangan rasa sakitnya.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.