Hikayat Tattoo (12), gempa!

2 Mei 2013 | Cetusan, Hikayat Tattoo

Tulisan ini adalah rangkaian dari serial tulisan 'Hikayat Tattoo'. Untuk menyimak selengkapnya, klik di sini.

Sekembalinya Joyce ke Australia kira-kira seminggu setelah tattoo Bunda Maria ditambahkan ke kulitku, tak dinyana semangatku untuk melanjutkan proses pengerjaan tattoo meredup lagi!

Padahal, awalnya justru kupikir kedatangannya kuharapkan mampu mem-boost semangatku untuk secepat mungkin menyelesaikan proses pengerjaan tattoo secara keseluruhan yang menurut perhitunganku saat itu tinggal dua kali lagi, ranting pohon anggur di bawah Maria dan gambar awan di bawah matahari yang letaknya di bawah mata kaki.

Saking redupnya semangat, aku bahkan sempat berpikir seandainya aku tak melanjutkan proses itu dan puas dengan hal yang ada saat itu. Tapi hal itu tentu tak mungkin. Aku sudah terlanjur mengonsep keseluruhan tattoo di kaki sebagai satu tema dan ketika ia terpenggal maka tak sempurnalah ia.

Otakku lantas berpikir menyiasati ide. Pasti ada jalan keluar karena ini adalah perkaraku dengan diriku sendiri bukan dengan faktor lain.

Beberapa alternatif ide sempat terpikir tapi pada akhirnya aku memilih begini;
Bulan Juni 2006, menurut rencana Joyce akan datang lagi ke Jogja untuk berlibur. Belajar dari apa yang terjadi pada pembuatan tattoo sebelumnya, aku berasumsi bahwa pada saat itu, semangat untuk bertatoo akan naik lagi. Nah, pada saat itu, aku akan meminta Munir mengerjakan semua proses pembuatan tattooku hingga selesai!

“Bagaimana menurutmu, Nir?” tanyaku pada Munir ketika kuutarakan hal itu lewat telepon.
“Bisa sih… tapi.. uhm, kamu yakin bisa? Nggak sakit? Itu berarti dua tempat dalam waktu yang bersamaan lho!”
Aku tertawa, “Hahaha, pasti bisa lah, kan ada Joyce…”

Hidup lantas berjalan seperti sedia kala dan semakin mendekati Juni 2006, semangat untuk bertattoo kian menjadi dan ah bertemu pacar, siapa tak senang?

Tapi, semesta berkehendak lain. 27 Mei 2006, pagi-pagi benar gempa besar itu terjadi meluluhlantakkan Jogja dan seisinya.

Rencana untuk menambah tattoo pun batal! Joyce tak kuijinkan untuk datang ke kota yang begitu dicintainya itu mengingat Jogja saat itu sedang tidak dalam mood yang baik untuk dijadikan tempat liburan.

Aku merasa tak perlu membatalkan janjian dengan Munir karena kuyakin otomatis rencana itu batal pula. Aku dan dia pasti sama-sama ribetnya untuk membenahi hidup di sana-sini bersama warga Jogja lainnya.

“Semangatnya kupakai dulu buat mberesin semua dan mbantu warga, Hon!” tukasku ke Joyce di telepon beberapa waktu sesudahnya.

Lalu yang kuingat pada serpihan cerita di sekitar itu adalah, dalam sebuah perjalanan untuk turut membantu korban gempa di Bantul, aku yang mengenakan celana pendek disapa seorang anak kecil. “Om, kakinya.. Om, tattoo!” Ia memuji tattooku tapi dengan gusar aku menyembunyikannya. Saat itu aku mulai benar-benar berpikir untuk tak pernah berpikir tentang tattoo lagi… tak lagi!

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. ealah ada hikayat tattoo rupanya. btw kalo di luar negeri, bule-bule sana suka foto narsis memamerkan semua tattoo di badan dgn hanya mengenakan g-string. lo kapan don? #eh

    Balas
  2. Ya namanya bencana, siapapun pasti akan mengalihkan perhatian terlebih dahulu.

    Balas
  3. tentu harus di tunda dulu dong tatoonya. nolong orang dulu jauh lebih penting…. suka nih dengan hikayat tatoonya…

    Balas
  4. aku membayangkan anak itu mengomentari tattoo-mu dengan medok :D

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.