Hidup dan ketersesatan

2 Nov 2015 | Cetusan

blog_tujuh_0

Aku merefleksikan peringatan tujuh tahun kepindahanku dari Indonesia ke Australia yang jatuh pada 1 November 2015 kemarin dengan melakukan hal sederhana: berkebun.

Tepat pukul sembilan, saat yang sama ketika aku dan Joyce mendarat di Sydney tujuh tahun silam, setelah sarapan setangkup roti tawar plus vegemite yang kucampur nutela serta secangkir teh hijau hangat, aku keluar rumah menuju kebun belakang.

Beberapa peralatan seperti tampak di bawah kuambil dari laci penyimpanan sementara matahari sepagi itu sudah cukup terik meski sengatnya belum sekuat matahari jam dua belas siang.

blog_tujuh

Dalam waktu satu jam berkebun kemarin, aku berusaha keras untuk berkontemplasi tentang apa yang telah kulakukan selama tujuh tahun belakangan dan apa yang bisa kusaripatikan supaya bisa hadir di tulisan di Senin pagi ini.

Tapi apa daya, konsentrasiku sedang tak bisa kubagi untuk merenung. Akar pohon yang harus kutebas kemarin cukup liat nan kuat. Aku harus memutar otak dan mengerahkan otot untuk menaklukkannya.

Beberapa kali bahkan aku harus menyemprotkan air berkali-kali untuk membasahi tanah sekitar akar supaya melunak dan bisa kutebas. Tapi alih-alih strategi itu memudahkanku, semut dan berbagai macam jenis insect lainnya malah keluar dari tanah seolah marah karena siramanku.

Lalu ini yang paling parah?. mungkin karena saking desperate-nya, ujung jari telunjuk kananku harus terantuk batu bata karena tebasan kapak yang kuayun sekuat tenaga meleset beberapa sentimeter dari yang seharusnya.

Kuputuskan untuk berhenti sejenak, beristirahat. Aku perlu memulihkan tenaga dan ketenangan pikir untuk melanjutkannya.

Tiba-tiba, dalam waktu istirahat itu, kutemukan sisi yang bisa kutulis pagi ini.

Aku membayangkan, pada detik yang sama, apa yang dilakukan kawan-kawanku di Indonesia.

Mungkin mereka sedang bersepeda bersama kawan-kawan serombongan menikmati hisapan gas karbon hasil halauan mesin-mesin kendaraan dan sekelumit udara segar. Lalu berhenti di warung nan sederhana di pinggir sawah menikmati semangkuk soto berkuah pekat dengan daging sebesar jempol berbiji-biji dengan sambel super pedas, kerupuk, es teh manis dan obrolan-obrolan seru tapi tak melelahkan, khas Minggu pagi!

Atau mungkin juga mereka sedang berleha-leha di depan tivi bersama anak dan istri menikmati tontonan tv cable ditemani secangkir kopi dan pisang goreng hangat sementara pembantunya mengerjakan hal yang sedang kukerjakan sekarang.

Tapi bisa jadi pula yang terjadi mereka adalah yang sebaliknya yang sedang kulakukan, merenung dan membayangkan betapa enaknya hidup sebagai seorang Donny Verdian di negara maju sehebat Australia?

Kawan, hidup ini wang-sinawang.
Ia memiliki rute hidup sendiri-sendiri dan tak layak diperbandingkan satu dengan rute yang orang lain miliki.

Kesuksesan dan kenyamanan sayangnya bukan alat ukur yang jitu untuk menentukan siapa yang hidup lebih hebat dari siapa. Barangkali kalian terlalu sering menyaksikan Dari Gelanggang ke Gelanggang atau Arena dan Juara lalu memerangkap hidup ke dalam bentuk kompetisi olahraga.

Seolah kita adalah Ben Johnson yang bersaing dengan Carl Lewis dan Lindford Christie di lintasan final sprint 100m Olimpiade Seoul.

Seolah kita merasakan deg-degannya Martina Navratilova yang meski telah sukses menundukkan si ayu, Chris Evert tapi mendadak muncul Steffi Graf yang muda nan melesat.

Bagiku, hidup jauh dari hal-hal seperti itu.?Hidup adalah sebuah ketersesatan dan yang kita perlukan adalah keberanian untuk semakin tersesat. Semakin tersesat, semakin kita fokus pada apa yang harus kita kerjakan dan kita tak kan punya waktu lagi untuk membandingkan apa yang kita punya dengan orang lain miliki.

Menyadari hal itu, kusudahi permenungan tak berguna ini.?Matahari kian tinggi, kuambil lagi alat-alat berkebunku dan menjerumuskan diri ke dalam rerumputan yang tinggi, menyesatkan diri untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang harus kuselesaikan hingga saatnya nanti?

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. Ya, hidup wang-sinawang, kok hidup orang lebih enak dari hidup dhewek.
    Kalo saya hidup tetap disyukuri apapun kondisinya.

    Balas
  2. Betul, menyesap teh botol dingin di tengah teriknya Jakarta itu nikmat sekali hahahaha~

    Balas
  3. yah… begitulah om…
    #spicles

    Balas
  4. Aku pernah di keduanya…. buatku sepedahan di tengah hisapan karbon emosi tidak lebih baik drpd minggu pagi yg biasa kulakukan beberapa bulan lalu: memandikan oma… membuat sarapan pagi untuknya lalu kami berdua duduk minum kopi menikmati kebun…. ditemani Caesar golden retrivet yg berjibaku melawan kanker

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.