
H. Heri Istiyanto adalah tokoh keempat belas dari tujuh puluh Tokoh Alumni SMA Kolese De Britto yang kurencanakan.
Sama halnya dengan Gregorius Sukadi dan Widi Noegroho, Heri Istiyanto adalah alumni SMA Kolese De Britto yang kemudian setelah menyelesaikan studi S1-nya kembali ke kampus, mengabdi sebagai guru.
Pria kelahiran Sleman, 11 September 1982 ini mengampu mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Ia mengemuka di keluarga besar De Britto salah satunya karena ditunjuk sebagai Ketua Umum Lustrum ke-14/Ulang Tahun ke-70 SMA Kolese De Britto Yogyakarta yang puncaknya dihelat pada 19 Agustus 2018 yang lalu.
Secara pribadi, aku mengenal Heri sejak 2005 silam. Saat itu aku dilibatkan dalam pembangunan situs web SMA Kolese De Britto Yogyakarta bersamanya yang mewakili pihak sekolah.
Tahun lalu ia diutus pergi belajar ke Sydney selama beberapa hari dan aku menyempatkan diri bertemu dengannya.
Tepat sehari setelah rangkaian lustrum usai diadakan, aku menghubunginya melalui WhatsApp. Kami bicara tentang banyak hal tapi utamanya tentang lustrum yang sebagaimana acara-acara lain yang melibatkan banyak pihak selalu saja membawa pro dan kontra.
Diskusi berlangsung seru dan mengingat aspek kepatutan, aku memutuskan untuk tak menayangkannya di sini. Berikut petikannya.
[DV] Capeknya masih terasa dari mengurus lustrum kemarin, Mas?
[Heri] Lumayan he he he. Tiga hari nggak pulang, nggak ketemu keluarga (Heri menikah dengan Margareta Erna Mayasari dikaruniai seorang puteri -DV) tapi rasanya puas karena bisa maksimal pelaksanaan kemarin.
Lustrum kemarin itu sebenarnya konsumsi siapa sih, Mas? Sekolah atau alumni?
Keluarga besar De Britto.
Siapa saja itu?
Ya semua. Ya sekolah, yayasan, siswa dan alumni tentunya.
Jadi alumni dilibatkan dalam kepanitiaan?
Iya. Banyak alumni yang terlibat dalam kepanitiaan.
Tapi alumni kan banyak banget. Yang mana yang kemudian kamu pilih?
Yang kami pilih adalah alumni yang mau membantu dan punya waktu.
Tentang visi dan misi acara sendiri, apa sih yang sebenarnya ingin disampaikan De Britto melalui acara lustrum ini?
Sesuai dengan tema, Harmoni dalam keberagaman. Keberagaman yang menjadi hal biasa di De Britto ingin kita gelorakan kembali ke tengah-tengah masyarakat yang seperti kita tahu di sana-sini tampaknya mengalami penurunan nilai-nilai toleransi karena perbedaan.
Dalam prakteknya bagaimana?
Kita mengadakan kenduri bersama warga sekitar kampus tanpa memandang perbedaan yang ada. Kita mengadakan kegiatan bakti sosial kesehatan, pengobatan gratis, bedah rumah, pasar murah. Sebagai wujud peduli pada alam, kami juga mengadakan penanaman bibit tanaman. Ada pula pagelaran wayang kulit yang juga sukses karena banyak masyarakat awam hadir dan bisa menghibur mereka.
Bagaimana dengan peran siswa dalam acara ini?
Siswa kami libatkan secara aktif dalam acara-acara tersebut, menyatu dengan alumni, guru dan masyarakat. Napak tilas yang kami adakan juga memberikan dampak positif pada para siswa untuk menghargai jasa para pendahulu dan supaya tidak melupakan sejarah.
Di acara puncak semalam (19 Agustus 2018 -DV) ada juga kolaborasi beberapa ekstrakurikuler mulai dari musik, sinematografi, karawitan dan tari. Itu kesuksesan yang luar biasa bagi kami.
Total jendral, berapa rupiah yang diperlukan untuk mengongkosi acara besar ini?
Belum ada update karena belum evaluasi secara total tapi kisaran saya sih sekitar 900 (900 juta rupiah -DV)?
Sekarang mari bicara tentang dirimu sendiri, Mas. Kenapa sih dulu memutuskan jadi guru?
Mungkin panggilan jiwa saya ya he he he. Bapak saya dulunya juga guru. Saya sangat senang dengan hal-hal yang berkaitan dengan berbagi, termasuk berbagi ilmu. Apa yang saya miliki bisa digunakan atau bermanfaat untuk orang. Itu poinnya.
Tapi kenapa De Britto?
Siswa-siswa De Britto itu unik, kreatif dan menantang saya untuk memberikan yang terbaik.
Kapan pertama kali ngajar di De Britto?
2004.
Wow. Jadi Anda lulus dari De Britto tahun 2000 dan tahun 2004 sudah kembali ke kampus sebagai guru? Pernah nggak sih merasa canggung bekerja dengan mereka yang dulunya juga jadi gurumu?
Awal-awal sih iya, tapi lama-kelamaan biasa saja dan mulai memahami mereka sebagai rekan kerja.
Mas, kembali ke soal lustrum, aku dengar dari beberapa rekan alumni yang hadir maupun yang tidak hadir, mereka kecewa kenapa setelah acara lomba lari yang disuguhkan adalah pagelaran musik dangdut?He?he?he? Tergantung dari sudut pandang mana melihatnya Mas. Tidak semua orang suka musik dangdut tapi ya ada yang suka.
Tapi Anda tahu tentang hal ini?
Tahu. Tapi bagi saya yang penting jangan sampai hal-hal yang bukan utama (perbedaan pendapat tentang hal ini -DV) seperti ini mengaburkan hal-hal lain yang sebenarnya justru jadi tujuan utama?
Simak video resmi Lustrum yang keren di bawah ini.
0 Komentar