Henokh Aldebaran Ngili adalah tokoh kedua puluh dari tujuh puluh Tokoh Alumni SMA Kolese De Britto yang kurencanakan. Henokh, pria kelahiran Jakarta, 26 Mei 1995 ini adalah lulusan SMA Kolese De Britto tahun 2013. Aku mengamatinya sejak lama. Kiprahnya berbeda, ia penggemar wayang dan menjadi dalang sejak berusia 2.5 tahun!
Sudah lama aku menghubunginya untuk membicarakan rencana berbincang tentang pewayangan dan seluk-beluk profesi dalang. Pernah pula bertemu tatap muka dengannya di acara Manuk Pulang Kandang, 27 Desember 2018 silam. Namun baru sempat ngobrol sejak Juni 2019 kemarin.
Perbincangan berjalan hingga dua bulan kemudian, melewati masa-masa menegangkan, Pemilihan Presiden Paguyuban Ikatan Alumni SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Ngobrol dengan Henokh di masa itu kujadikan sebagai cara untuk lebih memandang ?debritto? dari sudut yang lebih kontemplatif dari sekadar seloroh-seloroh seru kampanye dan copras-capres.
Pria yang sedang menunggu proses yudisium untuk jadi sarjana serta menjalankan beberapa pekerjaan sekaligus (barista, staff management hotel dan dalang) ini berbicara panjang lebar tentang dunianya.

Beberapa yang kujadikan intisari, kutuang dalam petikan-petikan di bawah ini?
Henokh, kenapa kamu tertarik pada wayang?

Yang pertama karena perwujudan wayang itu menarik. Stilasi bentuk, dalam wujud wayang apapun, langsung mudah untuk dilihat sebagai wujud makhluk: manusia, hewan, buta dll.
Cerita dan value yang bisa diambil dari sebuah pertunjukan wayang jugamenarik. Di masa kecil cerita-cerita kewiraan membuatku tertarik. Semakin berjalannya waktu, nilai-nilai spiritual, kemanusiaan dan cinta semakin membuat tertarik.
Wayang itu juga jadi gambaran hidup. Ada senang, ada susah, ada hidup dan ada mati. Semua terefleksi dalam wayang.
Lalu kenapa kamu jadi dalang?
Apa aku ki dalang, hahahahaha?
Ya mungkin karena wayang itu fleksible. Ini salah satu caraku untuk berefleksi. Ketika menghadap kelir, aku tidak hanya mendongeng untuk orang lain. Aku diingatkan pada gambaran uripku.
Di situ juga aku bisa berbagi pada orang lain, nilai-nilai luhur yang bisa kuserap. Ketika aku ngobahke wayang dan ‘menghidupkan’ wayang itu, aku bisa juga mengingat poin-poin keutamaan yang mungkin aku juga terkadang lupa akan poin-poin itu..
Alasanmu cukup selfish ya hahaha
Point-nya bukan pada selfish-nya, DV. Bukankah katanya Firman itu juga pedang bermata dua?
Menjadi dalang itu juga mejang Firman. Otomatis ketika kita berbagi soal nilai-nilai keluhuran itu, kita juga sedang mengingatkan diri sendiri. Kalau mau deep down alasan yang lebih selfish sih ada: Aku cinta kok karo wayang. Jenenge wong cinta ki ya kepiye hara.. hahahhaa
Siapa yang memperkenalkan pertama kali dengan wayang, Henokh?
Di awal, ada beberapa orang yang mengenalkan wayang ke diriku. Mama (Wahyu mahatmaningrum), pakdhe (Nuryanto), serta guruku mendalang pertama kali (Budhi Sitepu).
Kamu memandang pekerjaan dalang itu lebih ke spiritual atau duniawi?
Yang pasti ndalang itu bukan jalan utama untuk mencari uang. Aku tidak mengharapkan duit dari ?mayang?, nek ana dhuwite mangga, ora ya uwis
Spiritual, buatku ya. Wayang itu media fleksible untuk siapa pun mendapat insight dari suatu pertunjukan.
Itulah sebabnya kenapa aku sendiri mendisiplinkan diri ketika akan munggah panggung. Dalam hal ini menyiapkan diriku sebaik-baiknya, secara tubuh-jiwa-roh, karena aku membawakan pesan untuk siapapun yang menonton / mendengar.
Insight-insight apa yang kamu pakai dan dapatkan dalam ndhalang?
Insight? Banyak sekali.
Bacaan, pengalaman setiap hari, mendengar, refleksi atas hal-hal besar dan kecil.. Aku tipe orang yang kalau mau munggah panggung selalu prepare naskah dengan sebaik mungkin.
Walau nantinya di atas panggung ada improvisasi sesuai kehendak-Nya, tetapi ada frame supaya ora ‘ngawur’ dan bisa ‘menguji’ apakah itu benar-benar arahan-Nya apa bukan.
Tresna.
Buatku cinta pada wayang itu yang selalu menginspirasiku dan mem-push aku.
Bagaimana dalang itu mendapat uang? Berapa tarip rata-rata sekali manggung?
Jujur, aku ndak selalu menerima uang dari panggungku. Banyak juga pro bono (tanpa imbalan) Ada juga yang sifatnya diaturi (diberi) berupa hasil bumi, atau dibayar dengan hal-hal lain.
Tarip rata-rata, ora ngarani (tidak menyebut angka -jw). Aku belajar keteladanan dalang-dalang sepuh yang ora ngarani dalam berkarya.
Tapi dengan hitungan era kekinian. Hitungannya adalah selama aku tidak rugi..
Kebutuhan suatu pertunjukan kan ada wayang, kothak, kelir, debog, gamelan, sound system.
Kemudian wiyaga dan sindhen, lalu ada transport ke lokasi juga.
Nah ini yang harus dihitung. Kalau aku diminta membawa kawan / crew, mereka harus mendapat upah juga karena bekerja.
Kalau rata-rata cost sekali manggung sampai berapa?
Nah, ini variatif. Beda daerah, beda cost. Tapi let say itung-itungannya kalau professional show untuk area dalam kota itu 15-20 juta. Untuk corporate, harga bisa beda.
Henokh, bicara tentang pewayangan, apakah kamu setuju bahwa wayang itu mulai ditinggalkan?
Tidak menolak tapi juga tidak setuju.
Anak-anak muda seusiaku yang tahu wayang berapa banyak? Orang-orang tua seusia simbahku dan ibuku yang ngerti wayang apa juga masih banyak?
Tapi aku tidak sepenuhnya setuju bahwa wayang itu ditinggalkan ketika melihat jumlah viewer live streaming dalang-dalang superstar yang sekarang beribu-ribu. Belum lagi jumlah like dan subscriber akun-akun pegiat wayang di Youtube. Follower dan like di Instagram, samberan twit tentang Wayang dan banyak lagi.
Malah seharusnya pertanyaannya dibalik, wayang itu ditinggalkan, apa kita yang ketinggalan sama wayang?
Bicara tentang De Britto, bagaimana masa pendidikanmu di sana sehingga karaktermu bisa terbentuk terkait dengan hobi wayang dan ndalang, Henokh?
Wayang St Yohanes De Britto Wayang St Yohanes De Britto Wayang St Yohanes De Britto
De Britto memberi penegasan warna pada karya yang kulakoni. De Britto memberi penegasan secara aplikatif soal kejujuran dan orisinalitas. Bahwa kalau mau jadi dalang ya jadilah yang orisinil. Jangan mencoba menjadi sosok dalang yang lain walau kita ngefans dan terinpsirasi olehnya.
Begitu juga keterbukaan terhadap kritik dan mengolah kritik menjadi sarana untuk memecut diri pribadi.
Value Ad Maiorem Dei Gloriam (AMDG) dan Ad Maiora Natus Sum (AMNS) juga penting. Bahwa proses ‘obah‘ ku itu ada value yang lebih tinggi dari sekedar aku dan kita, tapi luwih gedh? seka kuwi (tapi lebih besar daripada itu -jw).
Henokh, aku dengar kamu dan kawan-kawan sedang mempersiapkan wayang De Britto?
Pada dasarnya kami yang nggarap wayang de Britto ini pengin menghidupkan lakon hidupnya St. Yohanes De Britto.
Ide dasar lalu bergulir melalui diskusi dengan teman dalang-penatah-penyungging (Ki Suluh Juni Arsah & Ki Rudy Wiratama) Lalu sowan ke Bapa Guru kami Ki Dr. Antonius Bambang Suwarno (salah satu dalang wayang popular, dan juga dalang wayang Wahyu).
Dari situ saya bawa ke diskusi dunia maya dengan Koh Christopher Dewa Wardana (penyorek wayang, alumni JB, 2003 kalau saya ndak salah) yang memunculkan saran-saran tambahan.
Oh ya, diskusi juga terjadi dengan rekan-rekan Pametri Budaya Nusantara (Perkumpulan alumni De Britto peminat kebudayaan).
Insight-insight apa yg ditemukan dan digarap sebelum akhirnya mengerucut pada wayang De Britto?
Berangkat dari kita ini teriak-teriak JB, alumni JB, tapi apakah kita benar-benar sudah menggali nilai-nilai kehidupan dan warisan iman St. Yohanes de Britto?
Sejauh apa kita kenal dengan patron kita itu dan bagaimana keseharian kita jika dihadapkan dengan kehidupannya?
De Britto dikenang sebagai salah satu pewaris ajaran Roberto de Nobili, manjing-ajur-ajer dengan sebuah kebudayaan, teologia Trialektik. Lha kita sendiri bagaimana dengan kebudayaan dan nilai-nilai luhur kita? Yang Kristen maupun dari keimanan yang lain, apa juga kenal dengan nilai-nilai luhur dan kebenaran universal yang ada di masyarakat kita jauh sebelum agama-agama dari luar Nusantara masuk?
Lalu rencana wayang debritto itu nanti mau diapain? Diserahkan ke sekolah? Atau diperbanyak? Atau piye?

Diserahkan ke sekolah sambil pelan-pelan nambahi jumlahnya, tidak hanya St. Yohanes De Britto wujud brahmana, tapi juga wujud masa novis sampai tahbisan, masa muda, lalu tokoh-tokoh lain yang mendukung semisal: Jo?o Restaurador, Pedro II, Alfonso VI, Don Salvador, Donna Beatrix, Sancho Manuel, Pater Emanuel Monteyro/Provinsial Portugal, Pater Jendral Gian Paul Oliva, Pater Andre Freire, dan sebagainya).
Penyerahan tokoh utama dilakukan tanggal 19 Agustus. Untuk wayangan singkat fragmen paralitugi. Lalu diberkati dan diserahkan bersama keris Jalak Sangu Tumpeng.
Oh ya, adakah nama tertentu untuk wayang Yohanes De Britto?
Ada. Wiku Arul Anandar. Arul Anandar itu nama yang dipilih De Britto ketika berkarya di area Keuskupan Sivanagai, India.
0 Komentar