Sewaktu maju presentasi tugas penulisan mata kuliah Kewarganegaraan beberapa waktu yang lampau, ada beberapa teman sekelompokku yang mendadak sewot.
“Mas, jangan maju sekarang! Saya belum siap!” begitu pintanya.
Spontan aku jawab “Loh! Lha kemarin kutawari buat kukirim ke email kalian dulu tentang materi yang kubikin, kalian nggak ngumpul alamat email.”
Sejenak mereka terdiam, lalu salah seoorang yang kebetulan sewot (dan kebetulan wanita) itu pun berujar
“Saya ndak punya email, Mas.”
Gedubrak! Aku pun seakan jadi terburai berantakan mendengar kalimatnya.
Aku tahu ini jadi paragraf yang tak penting, tapi aku harus melukiskan betapa alam raya sontak bergerak, terguncang, puting beliung meliuk-liuk mencari mangsa,
lava pijar gunung berapi bagai mesiu menambur tanah.. blar-blar-blar!
Aku sangat kaget dengan pernyataan picik teman itu tadi: tidak punya email? OH NO!
Ngakunya anak IT di masa dimana internet telah lebih kurang sepuluh tahun beredar secara gampang di negara ini, juga sudah begitu banyak free email provider bertaburan,
di saat dimana provider bandiwdth sudah tak terlalu mengencangkan tali-tali keuntungan kok ya masih ada orang yang nggak punya email.
Keterlaluan!
Tapi pada akhirnya presentasi itu pun berjalan lancar karena nyaris semua pertanyaan yang gencar ditanyakan kubabat habis, kujawab tuntas.
Sepulang dari kuliah, aku dan temanku, Febri, yang kebetulan satu kelompok (dan tidak seperti mereka, ia punya email!)
pun mampir ke warung makan karena hari sudah condong ke barat sementara perut masih keroncongan menagih makan siang.
“Aku heran, Feb! Kenapa mereka itu sampai ndak punya alamat email ya?” aku menerawang.
“Ya kamu jangan gitu juga Mas. Mereka berdua itu memang ndak punya ini…” tukas Febri sambil memberi kode menggesek-gesekkan ibu jari pada telunjunya yang menandakan uang.
“Hloh! Ya kamu ndak bisa gitu juga. Itu yang paling nggak kusuka dari mentalitas kita. Sewaktu aktif kuliah di kampus lama akhir 90-an lalu pun aku ndak punya uang.
Papa mamaku bukan orang yang kaya, bahkan aku harus berhenti kuliah dan bekerja ya karena mereka ndak punya uang!”
“Maksudnya, Mas?”
“Maksudku! Jangan sampai karena alasan ndak punya uang lalu kita berhak untuk merasa kekurangan dalam hal apapun. Apalagi soal ini.
Ini kebodohan. Ini kemalasan!
Ini satu bentuk permintaan kompromi yang sangat memuakkan!
Nggak ada kaitannya antara nggak punya email dan nggak punya uang, Feb!”
“Hmmm.. tapi kan mereka ndak punya uang buat ke warnet, Mas.”
“Mereka punya handphone kan? Kenapa mereka bisa beli pulsa? Berapa ongkos sewa warnet satu jam? Apa mbikin email sampai seperempat jam?
Mereka juga bisa kok manfaatin lab internet gratis tis tis di kampus kita tho?
Ini namanya mental kere! Orang kere kalau punya mental kere itu wajar tapi kalau orang yang masih berkecukupan punya mental kere, itu keterlaluan!”
Si Febri terdiam dan demikian pula aku.
“Tapi… nilai mereka tinggi-tinggi lho. IP mereka juga bagus meski nggak punya email. Hehehehe…”
“Aku nggak heran! Aku juga yakin kalau dosen meminta mereka bikin email demi nilai bagus maka mereka juga serta merta akan mbikin.”
“Kok bisa yakin?”
“Iya, aku yakin! Dari pola pikirnya aja keliatan kok bahwa mereka nggak akan melakukan satu hal baru pun kalau tidak disuruh dan kalau tidak ada imbalan. Hidup kok minta imbalan!”
Febri terdiam lagi.
“Orang-orang seperti mereka itu aku yakin nilainya tinggi-tinggi. Mereka lulus juga aku yakin akan cepat, mereka akan memiliki karir yang bagus pula.
Ketika tua mereka pun akan bahagia dengan kekayaan yang mereka dapatkan. Tapi ada satu hal yang akan kurang dari mereka?”
“Apa itu, Mas?”
“Nganu… hmm mereka nggak punya kebanggaan pernah memiliki email tanpa disuruh dosen dan tanpa bersandarkan pada alasan bahwa mereka ndak punya uang untuk ke warnet!”
Si Febri tertawa terbahak-bahak dan aku tersenyum kecut.
Aku merasa seperti berada di dunia yang salah!
Aku tersenyum kecut untuk satu kenyataan yang bahkan tak mereka sadari bahwa hidup mereka itu teramat sangat kecut!
Memuakkan!
beberapa tahun kemudian,”hari gini kok ndak punya blog.” mahasiswa kok ndak punya blog. hehehe…. :D
…semua ditentukan oleh keadaan, bagaimana pun seseorang menghendaki yang lain. Yang digurun pasir takkan menggunakan bahtera, yang di samudera takkan menggunakan onta (Jejak Langkah, 394)
@DM: Setuju! Aku sangat setuju!
Tentu tak pada tempatnya kalau seorang mahasiswa kedokteran lebih mementingkan memiliki sebuah AVOMeter ketimbang alat suntik?
Seorang mahasiswa Elektronik mementingkan Stetoskop ketimbang solder?
Dan seorang anak IT mementingkan sekop dan parang ketimbang EMAIL ?
Saya bicara soal gurun kok Bung, makanya mereka perlu onta!
Jadi ingat, somewhere in 2003
habis dinas di DPS mo balik JKT, karena slese lebih awal mo nyolong2 maen ke JOG naik Bus malam.
dan merasa beruntung karena di sebelah duduk gadis manis nan sejuk dimata.
..Mahasiswi IT (Kampus barumu Dab!, suer!), ngobrol ngalor ngidul, sampai pada titik… ada email?
ada Mas…
http://www.xxxxxx.xx.xx
“Saya tidak protes, juga tidak mengoreksi, demi menjaga keharmonisan suasana serta perasaan dan senyum manis Beliau, yang saat lebih penting buat Saya daripada sebuah jawaban culun”
dan telat banget, karena setelah membaca posting pagi ini Saya baru sempat teringat dan tertawa.
hehe, ndak usah sengit gitu mas :)
Lha hari gini juga masih ada yang nanya alamat emailku dengan pertanyaan : “emailnya berapa ya mas?”
Begitu kujawab dengan : “Wah, ada beberapa tuh. Memang mau sisipkan file yang besar ya pak?”
Dijawabnya dengan garuk2 kepala : “Nggak, nggak. Tapi maksud saya, nomor emailnya berapa ya mas?”
Kini ganti aku yang menggaruk-garuk kepala..
hare gene, ndak punya email, wah, serba repot, mas. bisa jadi masih mengandalkan surat manualnya, mas donny, haks.
Hergene ngak punya email? Waduh asyik, kog masih ada mahasiswa seperti itu ya. Perlu dibuatkan monumen pelestarian buadaya purbakala tu. Maaf, mahasiswa saya, saya wajibkan punya blog, walau banyak yang mengerutu he he
aku masih ingat beberapa mahasiswa yang menjawab “ga punya email bu, karna ga ngerti bikinnya”. oh la la… padahal mereka itu mahasiswa/i tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi IT. kalo pertanyaan itu muncul tahun 93 mungkin aku maklum… tapi itu tahun 2006 yang notabene internet bisa dijajal sejak 1997 di Indonesia!! ya ampun… entah ilmu apa yang mereka dapat selama kuliah…
Email ? Mungkin lebih tepat..hare gene nggak punya blog ?? hi hi
Hehehe, aku juga baru punya email pas taon 2000 kok mas *malu mode on*
Tapi untungnya, aku bukan anak IT, jadi ga bakalan kena amuk sama sampeyan :P
tp kayanya ada untungnya juga deh dia ga punya email don…. ga bakalan kena tepu pemilik2 milis yang ngakunya keren and seleb huahahahaha….uhuuuyyy….
hihihihi hahahahaha… aduuh pagi2 perut gw sakiit niih… ada yg ga mau kalah sama lu naro poto baruu… hahahaha senyumnya…uhuuuyy…kaga kuat gw…..gedubraakkks !!
Aku juga merasa seakan jadi terburai berantakan don membaca postinganmu ini, setahuku kita jaman dulu kala internet masih baru barunya, meski tanpa disuruh atau dapat pelajaran dari kampus, mempunyai sebuah email atau web sendiri adalah sebuah kebanggaan yang sangat luar biasa.
Betapa bangganya dulu aku pasang email dan web meski gratisan di geocities pada kartu namaku.
Lha kok saiki ra duwe email masih bisa bangga :))
Bagaimana dengan handphone Don?
Aku gak ada handphone lho. Sudah 24 tahun, kuliah dan kerja, tanpa handphone. Aneh kah?
@Aley: Aneh? Kamu? Halah apa ya harus dipertanyakan lagi tentang keanehan kamu itu? Huahuahuhau :)
gak semua orang merasa membutuhkan email.
halah, itu mah masalah mentalitas, males maksudnya.
ato mungkin mereka termasuk orang yang takut akan pemberlakuan UU ITE??
hehe, jadi inget, simbahku juga ga punya email:))
Don.. maap… link mu sumber foto itu lhow… merujuk ke http://www.www.benih.net/ … sudahkah benar??
saya pernah punya email… tapi sudah saya jual… (kata sang pejabat) (Courtesy of Thomas Arie) heheheh :p
@Landak: Om, terimakasih masukannya, sudah saya perbaiki, maaf saya mungkin agak terlewat soal ini waktu itu.