Hancurkan lalu bangun kembali dari awal…

23 Sep 2013 | Cetusan

Aku merasa tak pernah merasa bisa punya kemampuan yang baik dalam belajar hal baru secara terstruktur.

Contoh gampangnya begini.
Aku belajar gitar sejak kelas 4 SD. Almarhum Papa bilang, cara terbaik untuk berlatih gitar dimulai dengan mengerti notasi, angka maupun balok, lalu naik ke kunci (chord) baru kemudian memainkan komposisi lagu.

Tapi, setelah dicoba aku tak pernah bisa melakukan urut-urutan itu dengan baik. Aku lantas melakukan yang sebaliknya. Aku ?pegang? gitar, mendengarkan musik dari kaset (waktu itu) lalu menirukan bagian gitarnya berulang-ulang.

Ketika kudapati suaranya tak sama dan fals, aku lantas mencari informasi kenapa bisa tak sama baik dari buku maupun kawan yang sudah lebih dulu bisa memainkan gitar. Dari sana aku lantas tahu tentang kunci (chord) meski aku bahkan hingga kini tak pernah bisa membaca notasi baik angka maupun balok dengan baik.

Contoh lain yang barangkali lebih mudah dicerna adalah soal belajar bahasa pemrograman.?Sejak kuliah hingga sekarang, caraku mempelajari bahasa pemrograman selalu sama, tak bisa bertahap mulai dari teori lalu praktik, tapi langsung loncat ke praktek dengan terus ?meraba? teori secara acak tak berurutan.

Suatu waktu, di Australia sini, aku mendapat pekerjaan sebagai seorang senior front-end developer.

Seklias info bagi kalian, di posisi itu, tugasku sebenarnya tak perlu menyentuh back-end karena hal itu sudah dikerjakan oleh para back-end developer. Namun, sebagai seorang front-end developer yang baik apalagi bertitel senior hehehe, aku tak boleh tak peduli pada hal-hal yang ada di sekitar area kerjaku termasuk kompleksitas back-end.

Masalahnya adalah, bahasa pemrograman yang dipakai oleh back-end developer di kantor baru itu bukanlah bahasa pemrograman yang sebelumnya kukenal. Sementara untuk belajar, aku tahu diri ketika dihadapkan pada sebuah buku setebal kitab yang ditawarkan kawanku, seorang back-end developer.

Memandangnya saja sudah ?eneg?, apalagi membacanya dan terlebih harus mengerti semuanya! Aku lantas berpikir secara cerdik meski banyak orang mengatakan ini karena aku malas berproses secara ?normal?.

Aku tetap menerima tawaran pinjam buku setebal kitab itu, tapi aku juga meng-copy hasil kerja kawanku tadi tentu seijin dia.?Hasil kerja itu lantas kuduplikasi di komputerku sendiri dan aku langsung melakukan proses terpenting dari belajarku ini yaitu merusak code itu dengan cara menghapus beberapa baris code secara acak lalu menjalankan program.

Hasilnya, tentu error namanya juga dirusak!?Tapi aku bersyukur atas error itu karena itu berarti aku harus pusing dan mencari tahu kenapa bisa error. Mau tak mau aku harus membuka buku meski tak urut tapi langsung menuju ke topik bahasan yang sesuai dengan error yang kudapat.

Kuulangi proses itu berulang-ulang hingga akhirnya otakku mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana bahasa pemrograman itu seharusnya dipelajari dan diimplementasikan.

Ibarat orang membuat gelas keramik, aku bukan tipe orang yang pandai membuatnya langsung dari lempung hingga jadi gelas pada kesempatan pertama, tapi aku butuh waktu untuk membanting satu gelas keramik tak terpakai ke lantai, lalu serpihan-serpihannya kukumpulkan dan coba kusatukan menggunakan pedoman ‘memandang gelas yang masih utuh dan dari situ aku percaya diri untuk mengambil lempung dan membuat gelas kemarik yang kuyakin ratusan kali lebih baik dari yang kucontoh dan kuhancurkan sebelumnya.

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. untung gak bisa develop, jadi cuma bisa memandangi email-email tentang back-end dan front-end bersileweran setiap hari, tp keknya hrs belajar logikanya juga sepertinya supaya lbh smooth jalan projectnya :)

    Balas
  2. Gaya belajar seseorang tentu berbeda dengan yang lainnya. Contohnya dalam sebuah kelas yang terdiri dari sekitar 20-30 mahasiswa, cara mereka untuk menangkap ilmu yang di transfer oleh dosennya berbeda-beda. Ada yang lebih mudah mengerti dengan diberi contoh, ada yang suka dengan teori, ada yang suka belajar dari depan ke belakang dan ada yang dari belakang baru ke depan, ada juga yang secara acak.

    Balas
  3. Hallo DV, apa kabar? Lama sekali tidak jumpa, via blog pun tidak … Terakhir waktu DV bawain oleh0oleh dari Ostrali dan kita ketemu di lift Novotel itu ya? :-)
    Soal cara belajar, saya lebih konvensional. Dari abc, kata, lalu kalimat. Tapi kalau disuruh belajar bahasa pemrograman, ampun deh … saya pilih didenda saja …. hahaha :-D

    Balas
    • Bu Tuti.. iya, it’s been a year bahkan lebih ya di kopdar super singkat kita, di dalam lift Novotel Jogja hahahha.
      Ayo, Bu.. ngeblog lagi!

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.